3. Pengaruh Pelet

535 12 0
                                    


"Aakh!"

Aku terbangun dengan keringat membasahi sekujur badan. Mengusap peluh di wajah dengan napas yang masih memburu. Kulihat Mas Singgih masih lelap dengan mimpinya.

'Syukurlah, hanya mimpi. Tapi kenapa cekikan di leher tadi terasa sangat nyata?' Kukibaskan tangan untuk menghalau pikiran negatif.

Kuraih ponsel di atas nakas untuk melihat jam. Waktu menunjuk di angka tiga lewat. Aku beranjak hendak keluar kamar, tapi urung kulakukan saat mengingat mimpi tadi. Mengerikan jika itu benar-benar nyata terjadi.

Kuusap tengkuk yang mendadak merinding. Kenapa aku merasakan hawa di rumah ini seolah dilingkupi aura negatif? Bertahun-tahun aku menempati rumah ini tapi tak pernah terjadi hal-hal yang aneh.

Sebenarnya ada apa denganku, kenapa aku seperti tidak mengenali diri sendiri?

Kutatap Mas Singgih yang masih pulas. Kenapa laki-laki itu kembali berada di sini? Bukankah seharusnya dia sudah pergi saat beberapa hari lalu kuusir?

Dia sudah berhianat, tapi kenapa aku masih mau menerimanya? Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalaku. Aku duduk dengan kedua tangan memeluk lutut. Menarik rambut dengan jemari, mencoba untuk mengingat apa yang terjadi padaku.

"Sayang ...."

Aku menoleh ke samping, dimana Mas Singgih berbaring.

"Kenapa? Hemm ... apa kau mimpi buruk?" tanyanya dengan suara serak, lalu menyeret tubuhnya duduk di sisiku.

Aku menatapnya beberapa detik, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Nihil. Justru yang kudapat dentum jantung ini bergemuruh riuh seperti saat pertama kali aku jatuh cinta padanya.

'Cinta ...?'

"Hei ... apa yang kau pikirkan, Sayang?" Dia bergeser lalu meraih jemariku.

Aku masih bergeming. Ragaku ada di sini, tapi jiwa ini entah melayang kemana?

"Kemarilah, Mas peluk biar kamu merasa nyaman." Tangan kirinya merengkuh bahuku sedang tangan kanan masih menggenggam jemariku.

Aku menurut saja apa katanya. Melabuhkan kepala di dada bidangnya. Aku seperti terbius, tak pernah mampu menolak setiap keinginannya.

"Tidurlah, ini masih sangat pagi," ucapnya sambil mengusap lenganku lembut. Perlahan mata ini mulai meredup, selanjutnya jiwa lelah ini kembali lelap.

****

"A--ye--sha ...."

Aku terhenyak, hingga Mas Singgih ikut terbangun karena gerakanku. Tubuhnya menggeliat, meregangkan otot yang mungkin pegal karena tidur dalam posisi duduk dan memelukku.

"Sayang, ada apa?" tanya Mas Singgih sembari menutup mulutnya yang tengah menguap. "Kau ... terlihat pucat."

"Em, i–itu, Mas—"

Belum selesai menjawab, Mas Singgih meraih bahu lalu memutar tubuhku agar menghadap padanya, kemudian mendongakkan wajahku hingga kami bertatapan. Sinar mata lelaki ini ... tiba-tiba saja seperti menghipnotisku.

"Jika ada yang mengganggu pikiranmu, ceritakanlah. Barangkali Mas bisa membantu. Hm?"

"A--aku merasa ada yang aneh dengan hubungan kita, Mas."

"Aneh? Aneh bagaimana?"

"Entah ... a--ku sendiri juga bingung," jawabku sambil menunduk.

"Ssst ... sudah, jangan terlalu di pikirkan. Mungkin kamu hanya butuh suasana baru agar otakmu lebih fresh." Dikecupnya bibir ini lembut. Aku pun hanya bisa pasrah saat lagi-lagi dia memintaku untuk melayaninya.

Guna-Guna Suami KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang