7. Teror Bunga Melati

249 9 0
                                    


"Dek ...! Sayang, ka--kamu di sini?"

"Iya, Mas." Aku tersenyum sambil melangkah mendekatinya.

"Mas lagi serius telpon, jadi aku nunggu sampai Mas selesai," lanjutku sambil meletakkan kantung plastik di atas meja.

"Kamu dengar pembicaraanku tadi?" Ada kecemasan di sorot mata Mas Singgih. Aku menatapnya beberapa detik kemudian menjatuhkan tubuh di kursi.

"Sedikit. Emang telpon siapa, Mas?" jawab dan tanyaku balik.

"Ooh, itu orang yang sering bantu usaha Mas," jawabnya. Tatapan mata Mas Singgih beralih ke kantung kresek di meja. "Kamu bawa apa?"

"Ini, Mas, tadi aku sekalian beli makanan buat makan siang." Aku berjalan ke dapur untuk mengambil piring dan sendok, setelah mengeluarkan makanan yang kubeli tadi.

"Maafin aku ya, Mas," ucapku disela-sela aktifitas makan.

"Untuk ...?"

"Melati yang kubuang."

"Sudah, gak apa-apa."

"Mas udah gak marah, 'kan?"

"Nggak, Sayang."

Aku tersenyum lega. Segera kuhabiskan sisa makanan di piring, begitu juga dengan Mas Singgih yang makannya sangat lahap.

Usai membersihkan piring kotor bekas kami makan, aku dan Mas Singgih duduk di sofa ruangannya. Dengan jarak sedekat, ini tercium aroma tubuhnya, mengusik naluri kerinduan dalam diri. Entah kenapa, aku merasakan cinta dan rindu ini semakin menggebu.

"Kamu masih mau di sini?" tanya Mas Singgih sambil menoleh kepadaku.

"Apa aku mengganggu?" tanyaku balik.

"Ooh, nggak sih, cuma sebentar lagi Mas ada janji sama seseorang."

"Mas mau pergi?"

"Iya ...."

"Ya udah, aku balik lagi ke butik." Aku berdiri hendak pergi dari ruangan Mas Singgih.

"Dek, Sayang ... Mas bukan mau ngusir, cuma---"

"Gak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok," jawabku sambil mengulas senyum manis.

"Kalau gitu, biar Mas anter ke bawah." Tangannya langsung melingkar di pinggangku.

Sampai di lantai bawah Mas Singgih masih merangkul mesra pinggangku. Menyapa para karyawan toko dengan senyum, aku terus melangkah keluar menuju mobil. Tak kupedulikan tatapan penuh tanya dari mereka.

****

"Bu Ayesha ...!"

"Pak Wildan ...?"

"Maaf, mengganggu waktu Ibu," ucapnya.

"Ada apa, Pak?"

"Bisa kita bicara di ruangan Ibu?"

" Ah ya ... mari, Pak," ajakku sambil melangkah mendahuluinya.

"Jadi, ada perlu apa Pak Wildan menemui saya?" tanyaku saat kami sudah duduk di sofa ruanganku.

"Sebelumnya saya meminta maaf, jika pertanyaan saya ini lancang." Pak Wildan menjeda kalimatnya sejenak. "Eumm, apa Bu Ayesha tidak jadi menggugat cerai Pak Singgih?"

Aku mengernyitkan kening, "Saya menggugat cerai suami saya?"

"I--iya, Bu. Waktu itu Bu Ayesha sendiri yang menghubungi saya untuk mengurus perceraian Ibu dengan Pak Singgih."

"Ta-tapi kenapa saya menggugat cerai suami saya, Pak? Saya sangat mencintainya."

"Karena Ibu memergoki Pak Singgih berselingkuh dengan karyawan bagian kasir. Apa Ibu lupa?"

Guna-Guna Suami KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang