'16

388 47 8
                                    

Jari-jari kurus itu terkepal memukul-mukul punggung dengan paras letih. Malam ini, Hana benar-benar merasa lelah dibandingkan malam-malam sebelumnya. Alih-alih pulang menggunakan  sepatu hak tinggi, dia memilih meninggalkan benda yang menambah penyiksaannya itu di kantor dan menggantinya dengan flat shoes.

Peristiwa siang tadi, masih memenuhi pikiran. Segala macam amarah berkecamuk. Emosi pada diri sendiri, Ares, dan keadaan. Hubungannya dengan Ares di masa lalu memang tidak lama, tetapi Hana sudah besar kepala karena telah merasa tahu semua mengenai laki-laki itu. Dan, hari ini, terbukalah matanya. Dia salah. Dia tidak tahu apa-apa.

"Aku yang banyak bohong, Han."

Ares mengakui kesahalannya sendiri bahkan sebelum Lana menyalahkannya. Karena itu, bolehkan dia marah? Marah karena sudah dibohongi. Meskipun semua telah selesai 6 tahun lalu, dia kembali mengait-ngaitkan statusnya dulu yang dianggap sebagai apa.

Kaki ramping lemasnya akhirnya sampai di depan unit apartemen dan menggesekan kartu untuk membuka pintu. Dahinya berkerut bingung begitu menemukan sepatu hak tinggi yang ia kenali duduk rapi di lemari sepatunya.

"Mariska?!"

"Han! Lo kok gak bilang-bilang gue kalau bude lo datang dari Bandung?!"

Hana melega, menghentikan langkah kakinya yang penuh kewaspadaan begitu menemukan sahabatnya di ruang tengah. Meletakan tas dengan hati-hati pada meja bulat di ruangan itu. Alih-alih menjawab pertanyaan Mariska, netranya seketika fokus pada sederet paperbag di sofa.

"Lo ngapain belanjain Bude gue sebanyak ini? Dalam rangka apa?"

Mariska menegang. "Kata siapa gue belanjain Bude lo?!"

Sementara, Sari yang jelas terlibat masih tak ada suara.

"Terus itu belanjaan siapa? Gak mungkin Bude gue beli semuanya sendiri dong?"

Merasa cukup membiarkan keponakannya penasaran, Sari mengambil sikap. Dia berdiri, membawa Hana duduk pada sofa. "Duduk dulu, Han. Baru pulang kok udah darah tinggi. Biar Bude yang cerita," tuturnya tenang.

"Aku capek banget hari ini lho, Bude. Gak usah ada drama-drama lagi, please."

"Ya udah, makanya kalau capek kalem, Han. Dengerin dulu Bude jelasin. Lagian kayaknya penjelasan Bude Sari kayaknya bakal mengangkat seluruh rasa lelah di badan lo deh," ejek Mariska.

Sari kemudian berisyarat pada Mariska untuk tidak menggoda keponakannya lebih jauh. Lalu, memperbaiki posisi duduknya, meraih tangan Hana dan menggenggamnya. Butuh cara yang benar untuk menceritakan apa yang terjadi hari ini, mengingat tabiat dari keponakannya yang perfectionist.

"Jadi, Han, tadi pagi Bude kasih oleh-oleh kue bolen yang Bude bawa buat kamu ke Nak Ares."

"Bude ...." erang Hana langsung.

"Bude bisa beliin kamu lagi, Hana. Bude kirim dari Ban-"

"Bukan bolennya yang jadi masalah, Bude ...."

Mariska terus menyaksikannya tanpa ikut serta membuka suara.

"Bolen itu gak seberapa sama jasa Nak Ares kemarin lho, Hana. Kalau dia gak bantuin Bude kemarin, Bude bisa dijahatin orang atau bahkan Bude balik lagi ke Bandung dan gak akan sama kamu di sini."

Mariska memangku kaki. "Bener kata Bude Sari, Han. Lo gak bisa nutup mata sama bantuan yang Ares kasih," cicitnya.

Hana menanggapi Mariska dengan ekor mata. Menyorot pada perempuan itu untuk lebih baik menutup mulut.

"Terus? Bude belanja barang-barang sebanyak itu buat apa?" tanya Hana dengan mata yang kembali terarah pada empat buah paperbag yang mencantumkan merk-merk terkenal.

It Is Not Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang