'17

714 56 30
                                    

"Papanya Sarah?"

Hana menggaruk keningnya sesaat lalu bergerak memperbaiki kesalahan Ares. Tidak. Kepolosan pria itu. "Ya maksudnya Papanya Ares juga dong, Bude. Ngapain pakai ditanya lagi sih Bude ini," kikiknya pura-pura dan Sarah pun sama, sementara Ares melihat Hana dengan penuh tanda tanya.

Selesai mencuci mata, menjelajahi dan memutuskan apa yang harus dibeli untuk diri sendiri dan juga orang lain, waktunya Ares dan Hana melaksanakan kewajiban mereka. Sari, Sarah, dan Galih memipir ke ujung toko dekat pintu. Tampak berbincang-bincang hangat, berbeda dengan kondisi di meja kasir.

"Pembayarannya dipisah ya?"

"Gabung aja, Mbak."

"Pisah, Mbak."

Ares dan Hana dengan tempo dan waktu yang sama memberikan jawaban yang berbeda. Perilaku klise dan kekanak-kanakan mereka berhasil menggalaukan penjaga kasir yang harus melaksanakan pekerjaannya.

"Dipisah aja, Mbak," tegas Hana sekali lagi. Sedangkan, Ares masih terus berusaha. "Sekalian aja, Han," bujuknya.

Hana menghunuskan napasnya kuat-kuat, namun tidak memandang Ares dengan kilatan amarah seperti biasanya. Kejadian di pintu toko yang cukup drama tadi merupakan awal dari sorot keteduhan yang tidak pernah Ares temukan sejak dia bertemu lagi dengan Hana setelah kurang lebih 6 tahun. Sorot mata Hana mulai bisa berkompromi.

"Mbak tau saya datang lebih dulu, 'kan? Jadi transaksi saya gak ada hubungannya sama Mas ini dong, Mbak," kata Hana dengan sorotan mata yang merujam.

"Baik, Mbak."

Penjaga kasir itu pun mulai memindai barcode barang milik Hana terlebih dahulu kemudian mengoperkannya pada pramuniaga yang bertugas untuk membungkus barang rentan pecah itu. Sementara, Hana dan Ares berdiri di atas kaki masing-masing dalam diam. Pura-pura tertarik pada cara kerja pramuniaga yang sangat telaten membungkus barang pecah belah tersebut.

"Kapan Sarah balik ke Singapur?"

Kedua mata mereka kemudian bertemu. Ares terdiam sejenak, memproses dengan baik pertanyaan Hana karena otaknya justru sibuk memindai ekspresi wajah Hana.

"Besok."

"Flight jam berapa?"

"11.45."

Hana berniat mengantarkan Sarah pergi besok, tetapi dia tidak mengatakannya pada Ares. Mengingat ucapan Mbak Laura yang menjuluki Ares si penggila kerja. Hana kemudian kembali menyibukan pandangan untuk mengawasi piringan keramik Sari yang sudah terbungkus kertas cokelat tebal.

"Kamu berubah Hana."

Entah, itu sebuah pernyataan atau pertanyaan yang dijawab secara sepihak oleh Ares. Hana kembali memandang bola mata yang tampak muram. Kosong. Kesepian.

"Kamu gak menatap aku seperti awal pertemuan kita bulan lalu. Kamu gak keliatan marah lagi." Ares mendekat untuk berbisik. "Kalau kamu berubah karena kebenaran yang baru kamu ketahui kemarin, please Han, jangan."

Ares mungkin tampak terlalu percaya diri. Pria itu sudah mematikan rasa malunya karena dia yakin akan tuduhan dan prediksinya karena dia ingin menegaskan bahwa keibaan bukan sesuatu yang dia cari dari orang lain. Satu sisi Hana kalau dia dipojokan dengan persoalan ini, bibirnya terkatup rapat. Dibekap oleh hati yang tidak bisa memahami perasaan yang mengambang.

"Res, we're done six years ago. Gue memang belum dapat jawaban sebagai alasan lo menghilang begitu aja hari itu bahkan gak pernah muncul lagi sampai hari kelulusan. Tapi ada satu hal yang jelas merupakan kesalahan gue. Gue gak tau apa-apa mengenai bokap lo sampai saat kemarin Galih bocorin semuanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 17, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

It Is Not Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang