"Anda sudah datang, Detektif Lee?"
"Detektif Lee, katamu?"
Jaemin yang baru saja meletakkan ice americano di meja kerjanya menoleh ke arah ruangan Mark.
"Ada yang salah?"
"Kemarin kita sudah sepakat, bukan?"
"Ini di kantor."
"Lalu?"
"Ayolah, Detektif Lee."
"Kak Mark." Pria yang lebih tua berbicara lebih lirih. "Panggil aku seperti itu lagi. Kau bisa memanggil Lucas dengan akrab, bukan?"
Hening.
"Anda cemburu?"
"Jangan konyol." Mark Lee memutar kedua bola matanya dengan malas. "Aku hanya tidak habis pikir bagaimana bisa kau mengiyakan permintaan Lucas untuk berhenti berbicara formal kepadanya tapi tidak denganku. Apa masalahnya?"
Jauh di kantor polisi, ada seseorang yang tiba-tiba bersin.
"Baiklah." Jaemin mengalah. Toh, tidak ada salahnya bersikap lebih akrab dengan atasannya sekarang. Mark hanya satu tahun lebih tua darinya, tidak seperti atasan-atasan Jaemin sebelumnya yang rata-rata sebaya dengan Siwon atau Yoona. "Kak Mark."
"Bagus."
"Anda- Maksudku, kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya."
"Aku memang datang lebih awal karena aku perlu memeriksa TKP lagi untuk mencari bukti lain." Mark menghela napas sambil mengenakan mantel biru tuanya. "Dan aku tidak menemukan apa-apa. Satu-satunya harapan yang bisa kita andalkan untuk saat ini baru akan datang siang nanti."
"Kak Lucas?"
"Bukan," ucap Mark. "Aku harus keluar sebentar untuk mencari informasi. Selagi aku pergi, bisakah kau mencari latar belakang korban? Aku akan kembali sebelum jam makan siang."
"Tentu."
"Kalau kau sudah mengumpulkan informasinya dan aku belum kembali, kau boleh memeriksa latar belakang orang-orang terdekat korban."
Kini Detektif Mark Lee berada di sebuah tempat minum yang sempit dan bau apek yang lokasinya lumayan jauh dari kantor. Di sudut ruangan, ia bisa melihat pria yang sudah tak sadarkan diri dan dibiarkan begitu saja oleh si pemilik. Bukan pemandangan yang asing bagi Mark, karena beberapa tahun lalu, ia pernah datang kemari untuk menyelidiki suatu kasus.
"Lee?" Suara parau dari seorang perempuan paruh baya terdengar, dan Mark menoleh ke sebuah ruangan yang ditempeli sebuah plakat bertuliskan 'ruang khusus karyawan'. Detektif itu bangkit, meninggalkan bar beserta bir yang tidak ia minum (Mark tidak mau teler selama jam kerja), kemudian mengikuti perempuan itu memasuki ruangan lain.
"Terima kasih sudah mau menemui saya, Nyonya Goo."
"Tidak usah bertele-tele. Jadi, apa maumu?"
"Apakah Anda menerima pelanggan baru pada enam hari yang lalu?"
"Enam hari yang lalu? Aku rasa tidak. Hampir seminggu ini tempat minumku sepi sekali karena kabut tebal, Lee. Memang ada orang yang datang, tapi mereka tinggal tidak jauh dari sini. Kau tentu mengenali mereka saat kau baru saja tiba, bukan?" Anggukan kepala Mark membuat Nyonya Goo melipat kedua tangannya. "Apakah ini soal tetangga kantormu itu?"
"Beritanya sudah sampai ke telinga Anda, ya?"
"Aku cuma tahu kalau ada orang mati dan dia adalah pemilik toko roti itu." Nyonya Goo mendengus. "Tapi, sungguh, tidak ada orang asing yang datang kemari."
"Kalau begitu, beritahu saya kalau Anda melihat seseorang yang mencurigakan."
"Tidak gratis."
Mark cemberut. "Apa lagi yang Anda inginkan, Nyonya Goo? Kita berdua tahu kalau kondisi keuangan Anda yang sesungguhnya tidak se-menyedihkan tempat ini."
"Kau tahu kafe yang tidak jauh dari kantormu itu? Yang menjual roti isi?" Melihat anggukan kepala Mark, Nyonya Goo berkata, "Pergilah ke sana dan suruh cucuku datang ke rumahku nanti malam."
"Kenapa harus saya?"
"Karena aku masih ada urusan dan kau akan melewati kafe itu dalam perjalanan kembali ke kantor," jawab Nyonya Goo dengan enteng. "Pergilah, Lee, dan aku akan membantumu sampai kasus itu ditutup sebagai jaminannya."
Sesuai dengan permintaan—lebih tepatnya perintah—Nyonya Goo, Mark kini berjalan mendekati Johnny Embracing The Moon, kafe yang menjadi tempat andalan Jaemin untuk suntikan kafein dan pengganjal perut setiap paginya. Tanpa Jaemin sadari, Mark memang sering memperhatikan makanan dan minuman yang ia beli, termasuk saat Qian's Bakery masih beroperasi; Jaemin akan membeli ice americano dan almond croissant atau sepotong kue cokelat.
"Selamat datang!" Sapaan familiar tapi ia dengar dari mulut orang yang berbeda menyapa telinga Mark. Detektif itu mengangguk, kemudian mendekati mesin kasir.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"
"Ah, bisakah kau-"
"De- Kak Mark?"
Mark menoleh, mendapati Jaemin tengah duduk di salah satu kursi, sepertinya sedang menunggu pesanan.
"Jaemin? Apa yang kau lakukan di sini?"
"Membeli makan siang, tentu saja. Kau juga 'kan? Kalau begitu, Jisung, bisa kau gabungkan pesananku dengan orang ini?"
"Tentu saja." Barista yang semula menanyai Mark kini tersenyum. "Menu yang sama atau...?"
Mark melirik ke arah menu secara sekilas. "Roti isi dengan ayam pedas dan grapefruit ade, terima kasih."
Sebelum Jisung bisa pergi dari posisinya, Mark buru-buru mencengkeram lengan barista itu, membuat Jaemin yang sedang mengamatinya mengerutkan dahi.
"Ya?"
"Apa di sini ada karyawan yang bernama Goo?"
"Goo?" Jisung mengernyit. "Sepertinya tidak."
"Apakah Nyonya Goo yang menyuruhmu kemari?" tanya seorang pria jangkung yang ujung rambutnya sudah mengenai kerah baju dari arah dapur. Ia menyerahkan satu kotak berisi roti isi, kemudian mengambil secarik kertas dari tangan Jisung. "O, ada pesanan baru lagi, ya?"
Mark mengejapkan matanya. "Apakah kau-"
"Bukan, namaku Johnny Suh." Pria itu tertawa. "Seperti yang Jisung bilang, tidak ada karyawan bernama Goo di sini, tapi aku tahu siapa orang yang dimaksud Nyonya Goo. Kebetulan dia ada di lantai dua, baru saja selesai menemui muridnya—ah, itu dia."
Secara serempak, Mark, Jaemin, dan Jisung menoleh ke arah yang Johnny maksud. Seorang pria dengan rambut berwarna cokelat gelap tengah menuruni tangga sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
"Sayang, aku-" Pria itu terdiam saat ia menyadari kalau tiga orang tengah menatapnya. "Ada apa?"
"Ada orang yang ingin menemuimu."
"Benarkah?" tanya si pria dengan tatapan menyelidik ke arah Johnny. "Siapa?"
"Tuan Goo?" tanya Mark, memastikan identitas pria tersebut. Dalam hitungan detik, wajah kebingungan si pria langsung berubah menjadi kesal.
"Jangan bilang kalau wanita tua itu menyuruhmu datang kemari dan memintaku untuk datang nanti malam."
"Eh, begitulah."
"Ya ampun." Ia berkacak pinggang. "Gayoung yang akan menikah, kenapa aku yang pusing? Omong-omong, namaku bukan Goo. Itu nama keluarga ibuku, dan wanita tua itu tak lain adalah nenekku."
"Pantas saja aku tidak mengerti kenapa Kak Johnny menunjuk ke arah Kak Taeil saat dia mencari orang bernama Goo," bisik Jisung, entah kepada dirinya sendiri atau pada Jaemin dan Mark yang berada tidak jauh darinya. "Namanya 'kan Taeil Moon."
Ah, kini mereka berdua paham dari mana nama kafe itu berasal.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Bullet in the Mist | MarkMin
FanfictionToko roti seharusnya mengeluarkan aroma khas roti-roti yang baru saja keluar dari oven, bukan? Aroma yang tentunya menarik perhatian calon pelanggan untuk mampir lalu memilih roti yang mereka suka sebagai teman minum teh atau kopi. Tapi, toko roti y...