Warmth in the Autumn Breeze

1.2K 249 7
                                    

"Aku pergi dulu," ucap Mark saat Jaemin sedang membaca beberapa berkas. Pria berambut pirang itu mendongak, menemukan si detektif berpakaian lebih formal daripada biasanya. Melirik ke arah sticky notes yang ada di monitor komputernya, Jaemin baru ingat kalau hari ini Mark akan menemui beberapa orang terkait menghilangnya Yuri Kwon.

"Mantel."

Kedua mata Mark mengerjap. "Apa?"

"Bawalah mantel, Detektif Lee. Anda bisa saja pulang lebih larut dari biasanya, dan kita berdua tahu angin musim gugur akhir-akhir ini terasa lebih dingin."

"Ah, tentu."

Jaemin hanya melambaikan tangan dan kembali fokus pada berkas yang ada di hadapannya, tidak memperhatikan bagaimana Mark kembali ke ruang kerja pribadinya dengan kikuk.





Jaemin yang baru saja kembali dari tempat kerja terkejut bukan main saat ia melihat seorang pria yang bukan ayahnya sedang merangkul sang ibu di dapur. Menutup pintu rumah dengan keras, Jaemin berhasil mendapatkan atensi dua orang yang kini melemparkan senyum kepadanya.

"Sedang apa kau di sini?"

"Ini rumahku juga, bodoh." Youngheum alias Ten menjawab tanpa melepaskan rangkulannya dari pundak Yoona. "Mandilah, Ayah sebentar lagi pulang."

Si anak bungsu masih melemparkan tatapan menyelidik saat ia berjalan menuju kamarnya, namun pada akhirnya ia mengalah dan memilih untuk mandi sebelum sang ayah pulang.

Saat Jaemin sudah menghilang ke dalam kamar, Yoona menghela napas panjang kemudian mencubit hidung mancung pria yang ada di sebelahnya.

"Apa kau tidak memberitahu adikmu kalau kau pulang lebih awal?"

Seringai jahil yang Ten berikan kepadanya sudah cukup bagi Yoona untuk memutar kedua bola matanya dengan malas. Jaemin bukanlah orang yang suka mendapatkan sebuah kejutan, apalagi menyangkut Ten yang jarang sekali pulang ke rumah semenjak ia beserta adik kelasnya saat SMA, Lalisa Manoban, memutuskan untuk melancong ke beberapa negara dan membidik momen-momen menarik sekaligus mempelajari budayanya.


"Jadi, kau pulang lebih awal karena Lisa berniat untuk melamar kekasihnya?" Pertanyaan Siwon dijawab dengan anggukan kepala putra sulungnya. Sejak awal, Ten maupun Lisa memang tidak berniat untuk 'bekerja' di Bali dalam waktu berbulan-bulan, seperti apa yang mereka lakukan di Selandia Baru sebelumnya. Rencana palsu itu sengaja mereka buat supaya Minnie, kekasih Lisa, tidak curiga saat dua fotografer itu diam-diam berangkat ke Bangkok setelah menyelesaikan pekerjaan mereka di Pulau Dewata guna meminta restu pada keluarga Minnie sebelum Lisa melamarnya. "Kapan Lisa akan melakukannya? Malam ini?"

"Iya. Kalau aku tidak salah dengar, dia akan melamar Minnie di restoran yang lokasinya tidak jauh dari tempat Ayah bekerja itu," jawab Ten sambil menyikut lengan Jaemin supaya adiknya itu berbagi selimut.

"Ah, itu pilihan yang bagus," timpal Yoona sambil menganggukkan kepalanya, menyetujui keputusan Lalisa. "Dan kau, Tuan Muda Choi, bagaimana dengan kehidupan asmaramu?"

"Soal itu..." Ten berhasil mendapatkan atensi tiga anggota keluarga yang lain secepat kilat, dan itu membuatnya merasa sedikit takut. "Aku sudah memiliki kekasih."

Kedua mata Jaemin membulat. Siwon dan Yoona hanya menatap putra pertamanya dengan salah satu alis terangkat.

"Benarkah?"

Ten menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Kalian ingat Jeffrey Jung, bukan?"

Sekarang, giliran orang tuanya yang terbelalak. Kenapa mereka semua bersikap sedramatis ini?

"Siapa yang pertama kali mengutarakan perasaannya?" bisik Jaemin tiba-tiba.

"Apa?"

"Ayolah, kau sudah paham dengan pertanyaanku barusan, Kak. Jadi... siapa?"

"Uh-" Ten mencuri pandang ke arah kedua orang tuanya yang kini menatap Ten dengan penuh minat. "Jeffrey."

"Ha!" Siwon memekik sambil menepuk pahanya sendiri, membuat Ten benar-benar terkejut.

"Kenapa kau mengecewakan ibumu, Nak?" desah Yoona sambil menekan pelipisnya.

"Eh?" Ten mengerjapkan matanya, tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia lihat dan dengar.

"Ayah dan Ibu bertaruh soal siapa yang lebih dulu menyatakan perasaannya di antara kalian." Saat Ten membuka mulut untuk menanyakan dari mana mereka tahu soal kedekatannya dengan Jeffrey, Jaemin buru-buru menjelaskan. "Kak Lisa."

Dasar anak setan.





Jauh di Distrik Mapo, Mark bisa mendengar tepuk tangan beberapa pengunjung dari arah sebuah restoran. Netranya menangkap seorang wanita yang merengkuh wajah kekasihnya sebelum mereka berciuman, dan cincin dengan batu safir yang tersemat di jari manis wanita satunya tidak luput dari pandangan Mark.

Ah, betapa manisnya.

Angin musim gugur kembali berhembus, dan secara refleks Mark merapatkan mantel berwarna cokelat yang tengah ia kenakan. Dalam hati, ia berterima kasih pada Jaemin yang sudah mengingatkannya untuk membawa mantel siang tadi.

A Bullet in the Mist | MarkMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang