Wattpad Original
Ada 15 bab gratis lagi

Strange Day [1]

26.9K 3.3K 34
                                    

Kata terakhir yang diucapkan Kenzo membuat Jilly yang hampir merespons dengan nada yang sama ketusnya, terpaksa membatalkan niatnya. Dia paling tak berdaya jika berhadapan dengan permintaan maaf. Ini kelemahannya. Atau bisa disebut kebodohan.

Niat Jilly datang ke ruangan Kenzo adalah untuk mencari tahu jumlah biaya perbaikan mobil yang harus dibayarnya. Dia tak mau menunggu terlalu lama tanpa kejelasan. Jilly ingin ada angka yang bisa didapatnya karena dia harus mengatur keuangan dengan cermat. Ada tagihan mendesak yang harus dibayarnya minggu ini.

Lagi pula, Jilly cuma ingin masalah dengan Kenzo ini segera selesai. Karena dia sungguh cemas jika persoalan ini akan tersebar di kantor. Atau malah menjadi masalah baru yang bisa mengancam pekerjaannya. Itu adalah hal terakhir yang dibutuhkan Jilly saat ini.

"Kamu kenapa, sih? Hari ini rada aneh. Banyak melamun dan gelisah nggak keruan. Kayak sedang mikirin sesuatu," cetus Helen tadi pagi. Perempuan yang sebaya dengannya itu adalah teman terdekat Jilly di kantor. Kubikel mereka bersebelahan. "Ada masalah, ya, Jill?"

Jilly yang tak ingin berbagi tentang insidennya dengan Kenzo tadi malam, walau pada Helen, buru-buru menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma merasa hari ini kelupaan sesuatu. Tapi entah apa," jawabnya, agak tak jelas.

"Aku tuh sering kayak begitu. Kayak ada yang kurang, tapi nggak ingat sama sekali. Kadang, baru ingat setelah beberapa hari," respons Helen.

Jilly lega karena temannya tampak percaya dengan ucapan konyolnya. Setelah itu, dia berusaha bersikap setenang biasa supaya Helen tidak curiga atau mengajukan pertanyaan baru. Karena Jilly tak mau harus berbohong pada temannya. Di sisi lain, dia pun belum siap untuk memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Entah kenapa.

Meski awalnya tak berani menemui Kenzo di ruang kerja lelaki itu yang berada di lantai empat, tapi Jilly akhirnya nekat. Karena dia merasa tak punya pilihan lain. Menunggu tanpa kejelasan adalah hal yang sangat menyiksa. Dia lebih suka segera tahu beban tambahan yang harus ditanggungnya. Sebab, dia melihat masalah ini mirip bom waktu yang bisa meluluhlantakkan dunianya dalam waktu singkat.

"Saya belum sempat ke bengkel. Nanti sajalah kita bahas masalah itu. Sekarang kerjaan saya masih bertumpuk." Kenzo bersuara lagi.

Mungkin lelaki itu keheranan karena Jilly belum meninggalkan ruang kerjanya. Namun tak sampai hati untuk mengusir tamunya. Saat itu, Jilly sedang memikirkan salah satu kalimat yang dilontarkan Kenzo tadi.

"Bapak udah beli makanan? Kalau belum, biar saya beliin," kata Jilly tiba-tiba. "Sekarang udah hampir jam satu. Bisa sakit mag kalau makan nggak teratur."

Kenzo menatap Jilly sambil mengerjap. Lelaki itu jelas-jelas kaget karena ucapan Jilly. "Makasih. Tapi saya masih belum lapar."

Perempuan itu berdiri dengan canggung, memperhatikan Kenzo yang disibukkan dengan pekerjaannya. Ada satu tumpukan tinggi berisi map di meja pria itu. Jilly baru saja hendak pamit saat seseorang memasuki ruangan yang pintunya dibiarkan terbuka. Laki-laki bernama Seno dan sering bertemu Jilly saat makan siang, menyapanya dengan ramah.

"Halo, Jill. Kamu asisten barunya Pak Kenzo, ya?"

"Bukan." Jilly menggeleng. "Aku ada keperluan dikit sama Pak Kenzo."

"Oh." Seno terus melangkah ke arah meja atasannya. Tangan kanan lelaki itu dipenuhi map-map yang lumayan banyak. Seno meletakkan semuanya di atas meja.

"Pak, ini dokumen lamaran yang baru masuk. Semua udah disortir. Yang nggak memenuhi syarat administrasi, udah disingkirkan," beri tahunya.

Kenzo menegakkan tubuh dengan wajah terlihat lelah. Dia melirik tumpukan map yang disatukan oleh semacam pita berwarna abu-abu itu. "Makasih, No," ujarnya sembari mengangguk samar.

Seno membalas dengan gumaman sopan sebelum berbalik untuk meninggalkan ruangan itu. Seno kembali tersenyum ke arah Jilly sebelum berlalu.

"Pak, saya—"

Kata-kata Jilly batal tergenapi karena saat itu suara gedebuk kencang yang menghentikan ucapannya. Dia buru-buru melangkah ke arah meja kerja Kenzo. Lalu, Jilly pun berjongkok dan mulai meraih satu per satu map yang terjatuh ke lantai dan berserakan karena pengikatnya putus.

"Biarin aja berantakan di lantai, nanti saya beresin," sergah Kenzo.

"Nggak apa-apa, Pak," sahut Jilly. "Cuma merapikan ini doang."

Sambil berjongkok, iseng Jilly membuka map teratas yang berisi lamaran pekerjaan untuk posisi di bagian akunting. Ketika dia membuka map kedua, posisi yang diincar oleh si pelamar adalah humas. Map ketiga dan keempat pun berisi lamaran pekerjaan dari calon kandidat untuk posisi lain. Tampaknya semua lamaran dijadikan satu. Tidak dipisah berdasarkan divisi.

Jilly pun mulai memilah-milah map berdasarkan pembagian departemen yang ada di PT Adiraja Ekanusa. Untuk alasan itu, dia pun membutuhkan waktu lebih lama untuk berjongkok di lantai hingga kakinya mulai kesemutan.

"Kamu ngapain di situ? Saya, kan, udah bilang, biarin aja semua mapnya berantakan. Nanti juga saya beresin." Kenzo bersuara lagi. Pria itu menggeser kursi beroda yang didudukinya sehingga bisa leluasa melihat Jilly.

"Udah kelar, kok, Pak," sahut Jilly sembari berdiri. Selama beberapa saat, dia meringis karena kaki yang terasa kebas. Setelah meletakkan map yang disusun dengan posisi selang-seling, Jilly sempat berpegangan pada tepian meja. Kenzo menatap perempuan itu dengan sorot heran. Alisnya terangkat.

"Maaf, Pak. Saya kesemutan," aku Jilly. Saat itu, dia merasa bodoh sekaligus konyol. Inilah buah ketidaksabaran karena nekat mendatangi ruangan Kenzo. Belum lagi naluri ikut campur yang tak sepenuhnya bisa dikendalikan. Jilly malah menyibukkan diri untuk merapikan map-map berserakan di lantai walau sudah dilarang.

"Sejak tadi malam, kamu udah berkali-kali minta maaf. Bahkan untuk sesuatu yang sama sekali bukan kesalahanmu," komentar Kenzo dengan nada datar. Dia menatap map yang baru diletakkan Jilly.

"Ini udah saya pisahin berdasarkan departemennya, Pak," kata Jilly buru-buru. Lalu, entah apa yang mendorongnya hingga mengajukan pertanyaan baru. "Apa semua map yang ini udah disortir, Pak?" Jilly menunjuk tumpukan lain yang lebih tinggi.

Suara Kenzo terdengar pasrah saat menjawab, "Belum sempat saya cek."

"Saya bantu, ya, Pak?" respons Jilly setelah mengecek jam tangannya. "Waktu istirahat saya masih tersisa seperempat jam."

"Kamu mau menyortir map-map ini? Nggak keberatan?" tanyanya, tak percaya.

"Mau, Pak. Tapi saya pindahin semuanya ke meja yang satu lagi," jawab Jilly tanpa bertele-tele. Dia menunjuk ke arah satu meja kosong yang mungkin biasa ditempati oleh asisten Kenzo. Sebelum pria itu merespons, Jilly sudah mulai bekerja. Dia memindahkan tumpukan map dan memilah-milah isinya dengan cekatan.

Jilly memang tidak tahu seberat apa beban pekerjaan yang harus ditanggung Kenzo dan timnya. Namun, melihat tumpukan map yang cukup tinggi dan belum disentuh, serta ekspresi lelah di wajah lelaki itu, Jilly tahu Kenzo membutuhkan pertolongan. Dia mungkin tak bisa berbuat banyak. Namun Jilly yakin bisa sedikit meringankan beban lelaki itu.

Ketika selesai melakukan pekerjaan sukarelanya, Jilly sudah menghabiskan sisa jam istirahatnya. Bahkan, perempuan itu sudah telat lima menit untuk kembali ke ruangannya. Karena itu, dia buru-buru pamit pada Kenzo.

"Pak, berkas lamarannya udah saya pisahin berdasarkan divisi. Saran saya, mungkin sebaiknya dipertimbangkan lamaran pekerjaan via e-mail. Selain hemat kertas, juga lebih praktis." Jilly segera menyadari bahwa dia sudah terlalu banyak bicara. Dia buru-buru berbalik setelah mengangguk pada Kenzo yang menatapnya tanpa bicara.


Lagu : Strange Days (The Struts ft. Robbie Williams)

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang