Wattpad Original
Ada 12 bab gratis lagi

The Negotiator [2]

22.8K 3.1K 89
                                    

Jilly mengernyit sebelum menjawab. "Apa kita akan saling melontarkan pertanyaan sampai jam pulang kantor? Memangnya saya nggak boleh nanya alasan Bapak?"

Kenzo nyaris tertawa, tapi dia menahan diri sehingga ekspresinya tetap serius. Perempuan ini cukup bernyali. Mungkin, cuma tadi malam saja Jilly terkesan ketakutan. Itu pun hanya sebentar.

"Saya minta tolong ke Pak Hans untuk meminjamkan salah satu pegawainya karena beliau memang pernah nawarin. Kenapa kamu yang saya pilih? Karena memang cuma kamu yang saya kenal walau lewat insiden. Selain itu, tadi kamu udah bantuin saya menyortir map tanpa diminta. Buat saya, itu sinyal positif bahwa kamu bisa diandalkan dan punya inisiatif. Mudah-mudahan aja saya nggak salah," urainya dengan artikulasi jelas.

Jilly tampak termangu walau cuma dua atau tiga detik saja. Entah kalimat mana yang memberi efek itu pada Jilly. Apakah pujian Kenzo bahwa perempuan itu tampaknya bisa diandalkan dan memiliki inisiatif? Atau ada yang lain?

"Sebelumnya, saya mau bilang makasih karena Bapak punya penilaian positif untuk saya," kata Jilly setelah terdiam beberapa saat. Ucapan perempuan itu tak membuat Kenzo senang karena dia bisa mendengar kata "tapi" yang tak terucapkan.

"Cuma, saya terpaksa minta maaf sebesar-besarnya, Pak. Karena saya nggak bisa ngebantu Bapak. Saya nggak punya pengalaman jadi asisten siapa pun. Kalau saya di sini, berarti harus belajar dari nol lagi. Lagian, saya betah banget di tempat yang sekarang. Saya nggak pernah berencana pindah ke bagian lain."

Ucapan perempuan itu tidak disukai oleh Kenzo. Namun, pria itu menghargai kejujuran Jilly. Kendati begitu, dia belum ingin menyerah. Jilly mungkin cuma membantu merapikan map berisi lamaran pekerjaan. Hal sederhana itu menunjukkan satu hal bagi Kenzo. Bahwa perempuan itu bisa bekerja dengan lumayan efisien.

Mungkin itu penilaian yang terlalu berlebihan. Atau kesimpulan yang diambil terlalu cepat. Entahlah. Dia tak mau memikirkan soal itu saat ini. Kenzo cuma butuh asisten! Titik!

"Apa semua itu alasan sebenarnya? Bukan karena kamu takut jadi asisten saya setelah mendengar gosip-gosip hebat di luar sana?" Kenzo memajukan tubuh. Dia menggeser laptopnya ke kiri agar tak menghalangi pandangan. Kedua tangan Kenzo terlipat di atas meja.

Di depannya, Jilly duduk dengan tenang. Sama sekali tak terlihat terintimidasi atau semacamnya. Perempuan itu malah tersenyum tipis.

"Kenapa harus takut, Pak? Lagian, saya nggak terlalu percaya sama gosip. Sepanjang Bapak bukan seorang kanibal atau pelaku pelecehan seksual, rasanya masih baik-baik saja."

"Sekadar meluruskan, saya bukan kanibal. Apalagi pelaku pelecehan seksual," sergah Kenzo seraya berjengit. Namun kemudian dia tahu, ini saatnya untuk mengabaikan kata-kata Jilly yang sudah pasti dimaksudkan sebagai gurauan itu. Kendati mungkin dengan cara yang aneh. Kenzo menarik napas sebelum kembali bicara.

"Walau kamu bilang nggak terlalu percaya gosip, saya tetap berhak curiga. Pengalaman mengajarkan bahwa gosip kadang jauh lebih dipercaya oleh orang lain."

Yang tak diduga Kenzo, perempuan itu tertawa kecil. Lalu, Jilly menggeleng.

"Bukan, Pak. Sama sekali bukan. Ini nggak ada kaitannya sama gosip." Jilly mengubah posisi duduknya. "Saya betul-betul merasa terhormat karena Bapak—"

Kenzo mengibaskan tangan kiri, membuat Jilly berhenti bicara. Dia tak mau membuang-buang waktu untuk omong kosong panjang tentang betapa Jilly merasa terhormat karena tawarannya. Lelaki itu memutuskan untuk bicara apa adanya.

"Saya cuma butuh asisten sementara. Karena di antara tumpukan map para pelamar di meja itu, salah satunya akan segera jadi asisten saya, menggantikan Hanna. Saya kesulitan menemukan orang yang punya kualitas kayak Hanna. Masalah asisten ini ternyata jadi hambatan yang cukup besar karena beberapa kerjaan saya ikut tertunda."

Kenzo masih menatap Jilly sambil bersandar di kursinya. Lelaki itu baru menyadari bahwa punggungnya terasa pegal.

"Kalau semua lancar, kamu hanya perlu bekerja di sini dan membantu saya selama kurang dari dua bulan. Apa itu terlalu berat? Menurut saya, kamu nggak perlu belajar dari nol. Ini bukan pekerjaan sulit yang butuh pelatihan atau keterampilan khusus. Saya cuma butuh orang yang berkomitmen dan mau bekerja keras."

Lelaki itu baru menyadari bahwa kemampuannya untuk membujuk ternyata sangat parah. Buktinya, Jilly tetap tidak tertarik dengan tawarannya. Perempuan itu bersikeras bahwa dia tak bisa membantu Kenzo walau cuma dua bulan saja.

"Baiklah, saya nggak akan memaksa kalau kamu betul-betul nggak berminat," komentar Kenzo. Dia mengangguk samar pada Jilly, isyarat halus bahwa perbincangan mereka sudah selesai. Kenzo harus meneruskan pekerjaannya.

"Pak, maaf kalau saya bawel. Kira-kira, kapan saya bisa dapat tagihan dari bengkel?" Jilly masih duduk di kursinya dan malah membahas masalah lain.

"Saya, kan, udah bilang, belum punya waktu untuk ngurusin mobil," balas Kenzo, agak kesal. "Apa kamu nggak ngelihat kerjaan saya? Kejadiannya baru tadi malam. Nggak mungkin juga saya langsung ke bengkel, kan? Sedangkan pagi ini saya udah ditunggu banyak kerjaan."

Wajah Jilly tampak memerah. "Saya nggak—"

Kenzo menukas, "Palingan saya baru bisa ke bengkel hari Sabtu atau Minggu. Jadi, soal tagihannya, saya akan kasih info hari Senin. Empat hari lagi tepatnya." Dia menyipitkan mata. "Kenapa, sih, kamu resek banget urusan ini? Kamu takut saya nipu dan menggandakan biaya perbaikan mobil?"

Mata sayu Jilly melebar. "Ya ampun! Bukan gitu, Pak!" sergahnya. "Saya cuma pengin tau total tagihannya supaya bisa ... hmmm ... ngatur keuangan. Karena ada beberapa keperluan lain yang juga harus diurus. Bukan karena curiga Bapak bakal melakukan hal-hal negatif."

Perempuan itu tiba-tiba terdiam. Namun tak lama. Karena setelahnya Jilly kembali menukas, "Jangan salah paham, ya, Pak. Saya nggak minta dikasih keringanan. Saya cuma pengin masalah tagihan-tagihan ini bisa segera dibereskan."

Saat itu, perhatian keduanya teralihkan karena suara ketukan. Setelah Kenzo bersuara, pintu pun terbuka. Ardy masuk dengan sebuah kantong berisi makan siang pesanan Kenzo.

"Taruh di situ aja, Dy," pinta Kenzo seraya menunjuk meja yang biasanya ditempati asisten lelaki itu. Kenzo beranjak dari kursinya untuk membayar makanan yang dibelikan Ardy. Setelah itu, barulah dia kembali duduk.

"Bapak baru beli makanan jam segini? Ini sudah jam dua lewat," komentar Jilly.

"Saya lupa makan karena terlalu sibuk. Soal bengkel, hari Senin saya kabari, ya?" gumamnya pada Jilly. Perempuan itu mengangguk dan melisankan terima kasih sebelum bersiap pergi.

Kenzo nyaris memberi tahu perempuan itu bahwa dia sama sekali tak berniat menagih biaya perbaikan mobilnya. Karena Kenzo memiliki asuransi yang akan menutup semua pengeluaran. Namun mendadak dia terpikirkan satu hal.

"Jilly," panggilnya. Perempuan itu baru berjalan tiga langkah, buru-buru berbalik begitu mendengar suara Kenzo.

"Iya, Pak?"

Kenzo bicara tanpa pikir panjang. Kalimatnya meluncur mulus. "Saya punya tawaran baru untukmu. Kamu jadi asisten saya sampai rekrutmen pegawai baru selesai. Sebagai imbalannya, kamu nggak perlu mengganti biaya perbaikan mobil."

Hening selama beberapa detik. Perempuan itu menatap Kenzo dengan curiga. "Kalau saya menolak?" tukas Jilly dengan suara pelan.

"Masalah tabrakan tadi malam nggak akan selesai begitu aja. Entah ke polisi atau HRD. Silakan pilih."

Di depan Kenzo, wajah Jilly memucat dengan bibir terbuka. Mungkin saking kagetnya karena mendengar ucapan lelaki itu. Kenzo merasa bersalah, tentu saja. Karena memanfaatkan peristiwa tadi malam. Namun, dibunuhnya perasaan itu dengan segera. Dia terpaksa.


Lagu : Choose (Color Me Badd)

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang