Wattpad Original
Ada 1 bab gratis lagi

Manic Monday [2]

17.3K 2.5K 36
                                    

Jilly merapikan pakaiannya yang sebenarnya baik-baik saja sebelum dia mulai mengekori Kenzo. Perempuan itu mengenakan kemeja warna ungu muda berlengan pendek, dipadu dengan rok pensil cokelat sepanjang lutut. Tungkai Jilly terasa agak gemetar.

Namun akhirnya Jilly menegakkan bahu dan mengangkat dagu, berusaha keras berjalan dengan tenang. Karena tak ada gunanya jika dia menunjukkan kecemasannya dengan terang-terangan. Hal itu akan memberi Kenzo amunisi untuk memanfaatkan ketakutannya, kan? Apalagi saat itu Jilly bisa merasakan jika belasan pasang mata sedang memandanginya. Dengan sisa rasa percaya diri yang masih mendekam di dadanya, Jilly terus melangkah.

"Tutup pintunya, tolong!" Permintaan itu diucapkan dengan nada datar. Jilly menuruti sebelum akhirnya berdiri di depan Kenzo. Lelaki itu memberi isyarat agar dia duduk. Sekali lagi, Jilly menurut tanpa protes. Kebekuan yang menyiksa melimpahi ruangan itu.

"Kamu tahu kesalahan yang sudah kamu buat di hari pertama menjadi asisten saya?"

Jilly mempertahankan sikap tenangnya. Kenzo mungkin tak gemar bercanda dan biasa bersikap kaku. Namun, terakhir kali Jilly berada di ruangan ini, situasinya tak terlalu mengerikan. Bahkan, dia memiliki nyali untuk mengajukan banyak persyaratan dan tawar-menawar dengan pria itu.

"Saya nggak telat, kalau itu yang Bapak maksud. Jam operasional perusahaan baru akan dimulai kira-kira sepuluh menit lagi," respons Jilly berani setelah mengecek arloji.

"Seharusnya sejak awal saya udah ngasih tau kamu kalau asisten yang saya butuhkan nggak keberatan datang lebih pagi dibanding jam operasional perusahaan," cetus Kenzo dengan memberi tekanan pada tiga kata terakhir. Wajah Jilly terasa panas seketika. Lelaki ini sungguh suka menyindir.

Kenzo mengimbuhi sebelum Jilly sempat bersuara. "Alasannya simpel aja. Karena saya butuh pegawai yang berkomitmen tinggi dan nggak takut untuk bekerja keras. Prinsip saya, jika bisa mulai bekerja lebih pagi, kenapa nggak? Apa ada yang salah dengan efisiensi?"

Jilly menahan napas, cemas dirinya akan mengembuskan api jika nekat melakukannya. Kepalanya terasa pengar oleh kalimat tidak bersahabat yang memojokkan itu. Andai menuruti kata hatinya, Jilly ingin membantah kata-kata Kenzo.

Kendati begitu, Jilly berhasil menahan diri. Dia tidak ingin membuat masalah di hari pertama. Jilly tidak mau dinilai tidak becus bekerja. Meski sebenarnya dia tidak akan memusingkan pendapat Kenzo.

"Maaf, Pak. Saya nggak tahu kalau harus datang lebih pagi." Jilly mengucapkan kalimat itu dengan susah payah. Sebenarnya, dia masih ingin mengucapkan beberapa kalimat untuk membela diri. Namun itu akan memberi kesan bahwa dia tak bisa bekerja dengan profesional. Karena itu, Jilly menahan diri dan hanya berkata, "Saya benar-benar minta maaf."

Kenzo tidak memberi respons selama beberapa detik. "Itu mejamu. Dan map setinggi belasan senti itu harus kamu selesaikan hari ini. Semuanya berkas penilaian puluhan pegawai yang direkomendasikan untuk mendapat promosi. Tolong periksa dan rapikan hingga menjadi lebih ringkas."

Jilly berdiri dari kursi yang didudukinya tanpa mengucapkan kata-kata apa pun. Dia langsung menuju satu-satunya meja yang ada di ruangan itu selain milik Kenzo. Meja itu dipenuhi dengan tumpukan map. Ada sebuah laptop tergeletak di dekat map. Jilly baru saja memasukkan tas ke dalam laci di bagian bawah meja, saat Kenzo menghampirinya. Lelaki itu menyalakan laptop dan membuka sebuah fail.

"Pindahkan berkas penilaiannya ke sini. Setelah selesai, tolong kirim via e-mail. Semua alamatnya ada di sini." Lelaki itu menunjuk ke arah selembar kertas berlaminating yang ditempelkan di atas meja. "Semua laporan harus dikirim dengan surat elektronik, kecuali saya meminta berbeda."

"Oke, Pak. Saya mengerti."

Kenzo meninggalkan Jilly tanpa basa-basi. Lelaki itu kembali ke mejanya dan mulai berkutat dengan pekerjaannya. Jilly duduk dengan tungkai yang gemetar. Dia tidak mengira jika barusan menjadi enam menit paling memalukan dalam hidupnya. Dia memang ceroboh karena tidak tahu bahwa Kenzo adalah salah satu manusia yang datang paling pagi di kantor itu. Namun, jika dipikir lagi, itu sama sekali bukan kesalahan Jilly, kan? Mana dia tahu jika harus datang lebih pagi dibanding biasa? Selama Jilly tak datang terlambat sesuai aturan perusahaan, seharusnya tak ada masalah.

Tugasnya di hari pertama itu tidak terlalu rumit. Hanya saja membutuhkan ketelitian yang tinggi. Jilly bahkan sampai dua kali mencocokkan isi map dengan laporan yang sudah diisinya di laptop. Itu karena dia tidak ingin membuat kesalahan dan memberi izin pada Kenzo untuk mengomelinya lagi.

Alhasil, Jilly melewatkan janjinya dengan Helen. Jam makan siang sudah berlalu nyaris setengah jam tatkala Jilly mulai merasa lapar. Saat dia melirik Kenzo, lelaki itu tampak serius dengan pekerjaannya. Tidak terlihat tanda-tanda jika lelaki itu membutuhkan asupan kalori.

"Maaf Pak, saya udah bisa makan siang, kan? Pekerjaan saya belum selesai. Tapi saya yakin bisa kelar hari ini juga."

Kenzo mengangkat wajah dari laptop dan memandang Jilly. "Kamu kira saya ini bos yang kejam? Silakan istirahat kalau memang udah waktunya."

Jilly menggigit bibir, melawan keinginan untuk mengeluarkan bantahan bagi komentar lelaki itu. Jilly bukan perempuan emosional yang gampang marah karena hal-hal sepele, bahkan di saat PMS. Namun hari ini manusia bernama Kenzo Zachary ini menjadi godaan luar biasa untuk melepaskan kekesalannya kepada dunia.

Tanpa bicara lagi, Jilly meninggalkan mejanya. Tujuan pertamanya adalah mencari Helen. Namun tampaknya yang dicari tidak ada di kubikelnya, begitu juga di kantin belakang. Jilly berniat menelepon temannya dan akhirnya malah mengumpat kesal karena menyadari bahwa baterai ponselnya habis.

Entah sejak kapan ponselnya mati. Jilly tadi terlalu fokus dengan pekerjaannya. Mungkin itulah sebabnya dia tak mendengar suara telepon atau pesan WhatsApp saat berada di lantai empat tadi.

Jilly mendadak kehilangan nafsu makan. Seolah rasa laparnya lenyap begitu saja. Namun perempuan itu tetap memaksakan diri untuk menghabiskan satu porsi nasi rawon. Jilly curiga, bos barunya sudah mereduksi selera makannya. Hari ini memang tak berjalan lancar.

Padahal, jika diingat lagi, saat pertama kali mereka membahas tawaran pekerjaan dari Kenzo, Jilly lumayan cerewet dan berani. Dia tak menutup-nutupi apa yang dirasakannya sebagai ganjalan. Namun hari ini dia kehilangan setengah keberanian karena tiba "terlambat". Alhasil, dirinya dan Kenzo seperti baru saja berkenalan.

Ketika Jilly menyesap es teh manis miliknya, seseorang mendadak mengambil tempat duduk di depannya.

"Halo. Kamu Jilly, kan? Asisten barunya Pak Kenzo? Aku Emil Ibrahim, baru bekerja di sini mulai Senin lalu. Kita satu bagian, lho! Sayangnya tadi kita nggak sempat kenalan. Tapi aku sempat melihatmu waktu baru datang," ucapnya lugas.


Lagu : I Don't Like Mondays (Tori Amos)

God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang