"Kalau Bapak izinkan, saya pengin 'meminjam' Jilly jadi asisten saya untuk sementara. Karena saat ini saya betul-betul kewalahan untuk urusan kerjaan," aku Kenzo terus terang. Keputusan yang dibuatnya untuk datang ke ruang kerja Hans mungkin karena dorongan impulsif setelah apa yang dilakukan Jilly tadi.
Alis Hans terangkat, menciptakan gurat halus di kening pria itu. Tak ada yang menyalahkan Hans jika dia merasa kaget setelah mendengar kata-kata salah satu bawahannya itu. Kenzo sendiri pun tak pernah mengira dia akan mengajukan permintaan itu. Tidak dalam seribu tahun, terutama jika mengingat cara perkenalannya dengan Jilly.
"Kamu pengin Jilly jadi asistenmu? Apa perkenalan kalian tadi malam betul-betul meninggalkan kesan yang mendalam?" tanya Hans, setengah bercanda.
Kenzo tersenyum. Dia tak suka berbasa-basi. Bicara apa adanya dan langsung ke tujuan adalah pilihan terbaik yang menghemat banyak waktu dan energi. Karena itu, dia pun mengajukan alasan dari permintaannya. Tentunya dengan kalimat-kalimat netral.
"Bapak, kan, tau kalau beban kerja bagian personalia dan umum lagi tinggi-tingginya. Apalagi kami juga harus menyiapkan proses rekrutmen karyawan baru. Belum lagi demosi dan mutasi yang juga harus dilakukan bersamaan. Semuanya butuh penanganan segera.
"Sementara di sisi lain, saat ini saya nggak punya asisten. Padahal saya betul-betul butuh tenaga bantuan, Pak. Di sisi lain, saya nggak mungkin menarik pegawai lain untuk membantu saya. Semuanya udah punya banyak kerjaan. Dan karena Bapak pernah bilang nggak akan keberatan 'meminjamkan' pegawai di sini, saya beranikan diri minta bantuan Bapak," urainya.
Hans mendengarkan dengan serius. "Kenapa Jilly?" tanyanya lagi.
Kenzo tak berniat menceritakan apa yang dilakukan Jilly di ruang kerjanya tadi. Karena pria itu tak mau malah menimbulkan masalah baru meski dia yakin Hans takkan meributkan hal itu. Tadi, saat berada di ruangannya dan memutuskan meminta Jilly menjadi asistennya, Kenzo sudah memikirkan alasan lain.
"Ada alasannya, sih, Pak. Tadi saya nggak sengaja mendengar obrolan saat di lift. Ada yang membahas tentang beberapa pegawai berprestasi dan sebaliknya. Nah, nama Jilly disebut-sebut sebagai salah satu bawahan Bapak yang kompeten. Karena saya sudah mengenal Jilly secara nggak sengaja tadi malam, walau caranya mungkin agak dramatis, saya serius mempertimbangkan untuk minta bantuan dia."
Kenzo nyaris meringis karena dustanya sendiri. Juga karena kontrasnya kata-kata Kenzo dengan opininya tentang Jilly tadi malam. Dia juga tak yakin jika alasannya akan dinilai Hans cukup kuat untuk meminta Jilly pindah ke lantai empat walau hanya sementara.
Lima belas jam silam dia masih menilai Jilly sebagai orang yang ceroboh. Namun, melihat apa yang dilakukan perempuan itu tadi, meski bukan sesuatu yang spektakuler, Kenzo berubah pikiran. Paling tidak, dia tahu bahwa Jilly punya inisiatif dan tak sekadar menunggu perintah saja. Perempuan itu juga ringan tangan. Mirip seperti Hanna. Hal-hal seperti itu adalah kualitas yang dibutuhkan oleh Kenzo dari asistennya.
Mata Hans menyipit. "Ini nggak ada kaitannya dengan insiden tadi malam, kan? Kamu nggak berniat untuk menyusahkan Jilly, kan?" tanyanya dengan nada serius.
Kenzo menjawab tanpa pikir panjang, "Astaga, tentu aja tidak, Pak! Terpikir pun nggak pernah. Saya cuma butuh bantuan supaya kerjaan jangan sampai keteteran terus."
Hans tampak berpikir sejenak. "Saya nggak bisa ngasih keputusan sekarang, Ken. Saya harus tanya ke orangnya dulu. Kalau Jilly memang mau, dia akan jadi asistenmu mulai hari Senin depan. Tapi kalau Jilly menolak, saya nggak bisa memaksa. Gimana?"
Kenzo terpaksa setuju. Dia tak memiliki pilihan lain. "Oke, Pak."
"Tapi, saya tetap punya kewajiban untuk mengingatkan kamu. Jangan sampai insiden kalian tadi malam merembet ke masalah kerjaan," imbuh Hans.
"Nggak akan, Pak," janji Kenzo. "Saya nggak akan mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan."
Setelah itu, Kenzo pun pamit dan segera meninggalkan ruang kerja Hans. Dia benar-benar berharap segera mendapat bantuan yang dibutuhkan. Belakangan ini Kenzo memang benar-benar kelelahan sekaligus kewalahan. Kadang dia berharap Hanna tak pernah pindah dan tetap bekerja sebagai asistennya. Sebab, Hanna sungguh bisa diandalkan.
Dalam perjalanan menuju lantai empat, barulah lelaki itu menyadari bahwa perutnya terasa lapar. Di dalam lift, Kenzo mengetikkan pesan via WhatsApp yang ditujukan pada salah satu pesuruh kantor bernama Ardy.
"Dy, bisa tolong beliin makan siang untuk saya?"
Balasan dari Ardy datang dalam hitungan detik. "Bisa, Pak. Mau makan apa?"
"Nasi tim ayam aja."
"Siap, Pak." Itu balasan dari Ardy.
Begitu memasuki ruang kerjanya, kepala Kenzo mendadak berdenyut. Map-map yang sudah disusun Jilly tadi sama sekali belum sempat disentuh. Padahal, Kenzo harus melihat semua lamaran yang masuk sebelum berdiskusi dengan bawahannya. Belum lagi pekerjaan lain yang harus dituntaskan.
"Andai ada tongkat sihir yang bisa bikin semua pekerjaanku selesai, alangkah bagusnya!" Kenzo bicara pada dirinya sendiri.
Sebenarnya, tak ada keharusan bagi Kenzo untuk meneliti semua lamaran yang masuk lebih dulu. Biasanya, setelah mengeliminasi para pelamar yang tak memenuhi syarat administrasi, divisi personalia akan berbagi tugas untuk memilih pelamar yang akan mengikuti tes. Namun, Kenzo menetapkan aturan sendiri. Dia ingin melihat semua berkas pelamar terlebih dahulu dan memastikan tak ada kekeliruan.
Artinya lagi, hal itu menjadi tambahan pekerjaan bagi Kenzo. Akan tetapi, dia tidak keberatan. Sepanjang lelaki itu bisa memastikan bahwa divisinya memilih pelamar-pelamar terbaik untuk ditempatkan di semua posisi yang lowong.
Kenzo baru saja duduk saat ponselnya berdering. Ditatapnya nama yang terpampang di layar dengan perasaan hampa. Tampaknya Karin belum putus asa. Perempuan itu mengira perbincangan mereka tadi malam belum final. Kenzo menaruh gawainya di atas meja tanpa berniat menjawab panggilan itu.
"Selamat siang, Pak. Bisa saya minta waktunya sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan sama Bapak."
Kenzo tak mendengar suara ketukan. Makanya dia kaget melihat Jilly sudah berdiri di ambang pintu yang tadi memang sengaja dibiarkan terbuka.
"Silakan masuk," pinta Kenzo sembari memberi isyarat dengan tangan kanannya. Lelaki itu sudah bisa menebak apa yang ingin dibahas perempuan itu. Karenanya, dia mengimbuhi, "Tolong tutup aja pintunya."
Jilly menurut. Setelah menutup pintu, perempuan itu berderap dengan langkah-langkah panjang. Hingga beberapa saat kemudian, Jilly sudah berdiri di depan Kenzo. Jilly menarik kursi di depan pria itu setelah dipersilakan untuk duduk.
"Apakah tawaran saya kamu terima?" tanya Kenzo tanpa basa-basi. "Supaya kerjaan saya yang bertumpuk ini bisa segera beres." Dia merentangkan kedua tangan ke samping.
"Kalau boleh tau, kenapa Bapak minta saya jadi asisten sementara?"
"Kalau boleh tau juga, kenapa kamu nggak langsung aja menjawab pertanyaan saya?" Kenzo balik bertanya. "Itu akan lebih praktis dan menyingkat waktu."
Lagu : Dilemma (Nelly ft. Kelly Rowland)
KAMU SEDANG MEMBACA
God Gave Me You [The Wattys 2022 Winner]
General FictionSetelah lamarannya ditolak sang kekasih, mobil Kenzo ditabrak oleh perempuan bernama Jilly. Tadinya Kenzo tak ingin memperpanjang perkara, tapi insiden itu malah membawa mereka berdua ke situasi yang tak terduga. *** Dalam satu hari, dua peristiwa t...
Wattpad Original
Ada 13 bab gratis lagi