s i x

10 2 0
                                    

Mahesa menghentikan motor sport yang ia gunakan di car port. Melepas helm full facenya, meletakkannya di atas motor dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Ya, hari ini Mahesa mengunjungi rumah orang tuanya. Mama sudah berulang kali menghubunginya, meminta ia untuk pulang, kalo bisa menginap. Kangen katanya, biarpun di rumah Mahesa nggak terlalu banyak omong, sepertinya mama nggak mempermasalahkan hal itu, karena mama hanya ingin melihat anak-anaknya berkumpul di rumah.

"Maaaa," panggil cowok jangkung itu dari pintu depan, berjalan dengan langkah tegap menuju dapur sekaligus halaman belakang. "Mama!" panggilnya lebih nyaring.

"Iya, Esa. Sini, sayang!" sahut mama dari halaman belakang.

Mahesa menghentikan langkah di ambang pintu halaman belakang, dilihatnya sangat mama tengah sibuk mengantur perlengkapan makan di atas meja yang di atur sedemikian rupa di halaman belakang dibantu Bi Purni, asisten rumah tangga yang sudah ada sejak Mahesa masih kecil.

Cowok itu berjalan mendekat, memeluk mama dari belakang, kemudian mengecup pipi ibunya tersebut.

"Dalam rangka apa nih makan malam di kebun?" tanya Mahesa, belum melepaskan pelukkan yang tergantung di pundak mamanya.

Mama tersenyum lebar, ia mendongak menatap anak bungsunya. "Dalam rangka anak-anak mama pada pulang," sahut wanita yang sudah berusia 55 tahun namun tetap terlihat cantik tersebut.

"Termasuk Bang Eja?" Mahesa memastikan.

"Iya, termasuk abang kamu yang gak jelas satu itu." Mama kembali fokus menata meja makan.

"Ada yang bisa aku bantu?" tawar cowok itu.

Mama makin melebarkan senyummya, si bungsu satu ini dari dulu nggak pernah berubah, selalu ringan tangan membantu setiap pekerjaan rumahnya. Makanya mama merasa sangat kehilangan ketika Mahesa meminta ijin untuk tinggal di apartemen, cuma anak itu yang memperhatikannya dengan lebih selama ini. Mahawira dan Mahareja sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, bermanja dengan dirinya sudah bukan bahan rebutan lagi untuk mereka, anak-anaknya ingat pulang aja sudah sangat bersyukur.

Mama memandang Esa yang mulai mengisi air ke dalam gelas tanpa diminta. Sebentar lagi Esa masuk kuliah, lalu bekerja, dia akan menyusul kakak-kakaknya menemukan dunia yang lebih baru. Syukur-syukur kalo dapet kerja masih di kota yang sama, kalo luar kota atau luar negeri, mama nggak bisa ngebayangin bakal serindu apalagi dirinya dengan anak ini.

"Esa, mau kuliah dimana nanti?" tanya mama, ia baru ingat, Esa sudah di tahun terakhir menengah atasnya, beberapa bulan lagi ia akan ujian nasional dan masuk bangku kuliah, tapi sampai saat ini mama belum tau Esa mau kuliah dimana dan ambil jurusan apa.

Mahesa menghentikan kegiatannya. Ia meletakkan teko air yang dipegang, ditatapnya sang mama, ragu.

"Kalo aku ke Bandung boleh nggak, ma?" tanya cowok itu, pada akhirnya.

Mama nggak langsung menjawab. Pikirannya berkecamuk, tapi ia berusaha untuk menyingkirkan pertanyaan-pertanyaan lain terlebih dahulu, ia harus menyikapi ini dengan tenang. Si bungsu sepertinya ingin menciptakan jarak lebih jauh lagi dengan dirinya.

"Emang Esa mau ambil jurusan apa?" tanya mama, mencoba tenang.

"Antara sipil sama arsi sih, ma," sahut cowok berambut agak ikal kecoklatan itu.

"Di UI kan ada itu semua, atau kalo kamu nggak masuk PTN nggak apa-apa juga, masih ada kampus swasta yang lain," ujar mama, enggan menatap Esa.

"Jadi nggak boleh nih aku ke Bandung?" tanya Mahesa, memastikan.

I Wanna Be More Than FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang