e i g h t

9 1 0
                                    

Keesokan harinya Mahesa muncul di sekolah dengan tulang pipi kebiruan, pelipis dan sudut bibir sobek. Cowok itu seketika menjadi buah bibir SMA Harapan pagi itu. Aura yang menguar di sekitar Mahesa juga terasa nggak bersahabat, cowok itu hanya diam dan nggak terlalu banyak omong kayak biasanya. Gilang dan Adi yang notabene teman sekelas yang juga merangkap teman main nggak mau terlalu mengusik, mereka tau Mahesa lagi mode senggol bacok.

Tapi kesialan menimpa Agung yang merupakan anak kelas sebelah yang bacotnya ngalahin cewek kalo lagi rumpi. Cowok yang terkenal talk more do less itu menghampiri Mahesa yang tengah fokus memainkan game di HP-nya di jam istirahat pertama.

"Sa, kenapa lo?" tanya cowok itu dengan wajah sumringah, menahan tawa. "Kena bogem anak mana?" kejarnya, kemudian tertawa nggak sopan.

Adi dan Gilang udah tahan napas aja melihat kelakuan Agung. Mereka hanya berani melirik tanpa terang-terangan melihat. Ngeri.

"Bacot," sahut Mahesa tanpa mengalihkan pandangannya, namun mampu menghentikan tawa garing cowok plontos itu.

"Ya elah, sensi amet, Sa." Agung masih berusaha mencairkan suasana, karena memang dia lagi ada perlu juga sama Mahesa. Agung bukannya nggak tau Mahesa lagi nggak dalam mood yang baik, tapi demi bisa mendapatkan pundi-pundi duit apa pun akan ia lakukan termasuk menghadapi singa galak di hadapannya ini. "Sa, gue dapet tawaran nih buat ntar malem. Lo main ya? Lumayan duitnya," akhirnya Agung mengutarakan maksudnya.

Mahesa melirik sekilas dengan mata tajamnya, enggan menjawab. Cowok itu memilih untuk fokus ke HP-nya tanpa menghiraukan Agung. Cowok plontos itu nampaknya mulai bisa membaca suasana kalo saat ini bukan waktu yang tepat. Apalagi melihat gelagat Adi dan Gilang yang seperti memberi kode kepada dirinya agar segera pergi, semakin meyakinkan Agung bahwa dia akan dalam masalah jika tetap memaksa Mahesa untuk main malam ini.

Tapi Agung sudah kepalang janji kepada para dewa judi, kalo Mahesa bakal main malam ini. Mana dia udah susah payah meyakinkan orang-orang dan ngumpulin taruhan. Eh, masa iya dia harus membatalkan atau mengganti pemain, yang ada Mahesa lovers ngamuk dan bisa nggak percaya lagi pada dirinya. Dimana lagi dia bisa dapat duit banyak dengan cara instant buat foya-foya kalo nggak dari arena balap yang biasanya dikuasai Mahesa?

"Sa, please lo main ya ntar malem? Gue mohon banget. Mereka udah pada ngumpulin duit," pinta Agung lagi, kali aja luluh.

"Bukan urusan gue," ucap Esa, gamblang.

Agung menggaruk kepala plontosnya panik. Cowok itu berkacak pinggang berusaha mencari cara lain.

"Empat puluh lima persen buat elo deh, Sa. Gue lima persennya aja. Gimana? Ok?" rayu Agung.

Mahesa tetap nggak bergeming.

"Ya udah, empat puluh..."

PRAK!

HP yang semula berada di tangan Mahesa terlempar dengan sangat menyakitkan di lantai kelas. Seisi kelas kontan hening total, membeku di tempat termasuk Agung yang nampak mulai berkeringat dingin.

Mahesa bangkit dari duduknya, ditatapnya Agung malas. "Gue udah pernah bilang sama lo, jangan ganggu gue lagi. Kurang jelas omongan gue?"

Agung terdiam, nggak bisa menjawab. Mahesa masih enggan melepaskan tatapannya, sampai bogemnya hendak melayang tapi seruan Gilang dan Adi menahannya.

"Sa! Jangan, Sa!"

"Pergi!" usir Mahesa dan langsung membuat Agung terbirit-birit keluar kelas tanpa menoleh lagi.

Mahesa menatap HP-nya di lantai kelas dengan gamang, sejenak ia menghela napas kasar. Ditutupnya mata sejenak, kemudian berlalu keluar kelas, entah pergi kemana.

I Wanna Be More Than FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang