n i n e

9 1 0
                                    

Mahesa terdiam sejenak diambang pintu ruang BK ketika didapatinya Mahawira, abang tertuanya, duduk di sofa ruang kerja Pak Danu tersebut. Lelaki 28 tahun itu sedang sibuk mengutak-atik HP-nya ketika dilihatnya orang yang menyebabkan dirinya harus datang ke sekolah sudah muncul. Wira menyimpan HP-nya dan memandang serius ke arah Pak Danu, mengabaikan Mahesa yang duduk di sofa sebelahnya.

"Ketemu dimana, pak?" tanya Wira.

"Sedang merokok di lantai tiga gedung lama," sahut Pak Danu.

Wira melirik Esa sejenak, terdengar helaan napasnya pelan. "Maafkan kelakukan adik saya, pak. Saya akan lebih keras lagi dalam mengaturnya," kata Wira, tegas.

Pak Danu tersenyum kecil. "Nggak harus dengan kekerasan, pak. Karena untuk kasus Mahesa ini, makin keras dididik, makin keras ia melawan. Mahesa nggak butuh kekerasan, pak. Saya sampai sekarang masih menunggu Mahesa untuk bisa bercerita tentang masalah yang dia hadapi, " terang Pak Danu.

Mahesa menunduk dalam. Bukan untuk menyesali perbuatannya, tapi menekan egonya untuk menyahuti omongan Pak Danu. Bahwa gurunya itu nggak akan bisa mengerti masalahnya, nggak akan bisa memposisikan dirinya berada dikeadaan Esa sekarang.

"Kamu dengar itu, Esa? Kalo kamu nggak bisa cerita ke abang atau ke Eja, kamu bisa cerita ke Pak Danu masalah kamu. Jangan  berulah terus, jangan bolos mulu. Kamu tuh udah kelas 12," cecar Wira kepada adik bungsunya. "Inget bentar lagi ujian, kamu serius dikitlah kali ini. Abang nggak mau masa depan kamu kehambat cuma karena ulah nggak jelas kamu kayak gini."

"Kamu kira kamu keren dengan bolos terus tapi nilai kamu tetap bagus? Nggak, Esa. Buat abang itu sama sekali nggak keren. Kamu kekanak-kanakan kalo masih nganggep hal kayak gini sepele." Wira udah nggak tau bagaimana cara menghadapi adiknya yang satu ini.

Analisa Wira, nakalnya Esa ini mengkhawatirkan. Nggak kayak nakalnya Eja yang memang karena puber. Bukan ingin terlihat unggul atau keren. Esa ini tenang namun menghanyutkan. Dia diam namun memporakporandakan. Dia bergerak dengan tenang namun mematikan. Bukan kah itu lebih bahaya ketimbang kenakalan spontan?

Wira sudah berusaha melakukan pendekatan ala dirinya, namun Esa seolah menutup diri. Eja juga melakukan hal yang sama, mendekati si bungsu dengan caranya, namun hasilnya nihil. Esa tetap dengan perannya, bungsu kesayangan mama tapi pembuat onar di mata abang-abangnya.

Ya, Mahawira dan Mahareja sepakat menutupi kenakalan si bungsu dari mata sang mama, agar mama mereka nggak khawatir berlebihan. Mama bisa sangat over protektif jika menyangkut Mahesa. Wira nggak mau Esa jadi nggak nyaman dan malah lepas dari pantauan mereka.

*

Setelah satu jam di ruangan Pak Danu yang penuh petuah memuakkan dan hukuman yang akhirnya dijatuhkan untuk Mahesa, dua bersaudara itu keluar dari ruang Pak Danu dengan kebisuan di antara mereka.

Mahesa hendak kembali ke kelas, namun tanggung, sebentar lagi bel pulang berbunyi. Ia mau ke kantin mengisi perut tapi Mahawira sepertinya nggak semudah itu melepas dirinya pergi.

"Kamu berantem dimana?"

"Club," sahut Mahesa singkat. Mereka berada di koridor nggak jauh dari ruang BK.

"Wah, untung masih hidup kamu, nggak dipukulin sampe mati." Mulut Wira memang kadang kejam, mirip papa.

"Bagus dong kalo aku mati."

PLAK!

"Nyaut lagi kamu!" suara Wira meninggi.

Mahesa meringis kecil menerima tamparan yang mengenai sudut bibirnya yang sobek. Ingin memaki tapi ini abangnya sendiri, yang ada dia yang dihabisi Wira di sini. Tapi bukan Mahesa namanya kalo diam gitu aja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

I Wanna Be More Than FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang