2 | berputar di kepala

4.1K 578 48
                                    

Jeno masih saja kepikiran tentang rumah yang pagi tadi dilihatnya. Ia uring-uringan. Berguling ke kanan dan ke kiri sembari memeluk lututnya. Bibinya—yang baru selesai memasak makan malam—segera mencubit pipi gembul keponakannya, sementara anak perempuannya yang masih balita bersembunyi di balik tubuhnya malu-malu.

"Jangan berguling-guling seperti itu, nanti tubuhmu kotor," kata Bibi.

Pemuda pucat itu segera bangun. Mata sayunya masih setengah terpejam dan bibirnya membuka untuk menguap.

"Hari ini Bibi masak samgyetang—"

"Samgyetang?!" mata Jeno tiba-tiba terbelalak. Makanan kesukaannya baru saja disebut dan dia tidak pernah seantusias ini selama beberapa bulan terakhir. Salahkan gaji dari kerja paruh waktunya yang sangat mepet sehingga ia bahkan hanya bisa makan telur satu minggu sekali.

Bibinya mengangguk. "Iya. Makanya, ayo cepat ke ruang makan atau Yebin akan memakan bagianmu."

"Ba~ik."

.

.

Suasanya yang begitu dirindukan oleh Jeno. Semenjak kedua orangtuanya meninggal saat ia masih duduk di bangku kelas 3 SMP, ia sudah harus hidup sendiri, mencukupi kebutuhannya sendiri dan menjaga dirinya sendiri di tengah kerasnya kehidupan di ibukota.

Jeno bukan anak yang terlalu rajin atau pun mandiri kala itu. Ia—yang mana adalah anak tunggal—nyatanya sangat kewalahan dengan kehidupan baru yang menanti untuk memeluknya. Padahal waktu kedua orangtuanya masih ada ia tidak tahu apa-apa selain sekolah yang benar dan makan teratur. Sementara sepeninggalan orangtuanya, sepi perlahan mulai menghadang langkahnya.

Kini, suasana di rumah nenek dan bibinya terasa begitu familiar. Ini membuatnya teringat akan masa lalu. Kebahagiaan tentang bagaimana sebuah keluarga berbentuk. Bibinya mungkin memang tidak memiliki suami lagi atau kakeknya yang telah meninggal sepuluh tahun lalu sehingga neneknya menjanda begitu lama. Namun, harum kebersamaan tidak menguap dari rumah ini.

"Woah, ini enak sekali!" Jeno bahkan baru saja menyeruput kuah gingsengnya saat menyerukan pujiannya, membuat neneknya memukul ringan lengannya.

"Turunkan tanganmu, Jeno-ya. Tidak sopan makan di meja makan dengan siku di atas meja," ujar neneknya memberi nasihat. Jeno menurut. Ia segera menurunkan lengannya dan kembali menyantap makanannya.

Sementara ia asyik meniup ayamnya yang masih panas, Yebin memperhatikan dirinya dari tempat duduk. Bocah itu agak aneh. Semenjak Jeno di sini Yebin acap memandangi Jeno entah itu dari dekat maupun kejauhan. Sebenarnya tidak mengapa dipandangi seperti itu. Wajar karena Yebin masihlah balita umur empat tahun. Namun, yang Jeno kadang merasa risih adalah Yebin yang terkadang ketakutan tidak jelas melihatnya.

"Hari ini bagaimana? Apa asmamu kambuh?" tanya bibinya.

Jeno menggeleng cepat. "Tidak," jawabnya. "Semenjak datang ke sini asmaku sama sekali tidak kambuh."

"Ah, syukurlah kalau begitu," nenek Jeno tersenyum di antara keriput yang menginvasi wajahnya. "Setelah makan kau harus beristirahat, ya."

"Baik."

Mumpung semuanya berkumpul di meja makan. Jeno ingin bertanya sesuatu namun tidak tahu harus memulai dari mana. Untungnya, bibinya memulai kembali obrolan yang tadi terhenti.

"Jeno-ya, kau belum bertemu tetangga, ya?" tanya bibinya.

Malu-malu Jeno menggeleng. "B-belum, Bi."

"Ah, kau ini, sifat pemalumu belum juga berubah." Saat ibunya berkata demikian, Yebin masih terus memandangi Jeno. Wajahnya antara merasa takut dan penasaran dalam satu waktu. "Pantas saja saat Bibi tanya, tak ada satu pun yang mengetahuimu, padahal setiap hari kau selalu pergi jalan-jalan."

Sebenarnya lumayan wajar jika Jeno tidak bertemu dengan para tetangga. Sebab, hampir mirip dengan rumah tunggal di atas bukit, rumah neneknya juga lumayan jauh dari rumah-rumah lain meskipun ini bukan bukit. Lahan neneknya lumayan luas. Selain itu jalan tanah yang terbentang juga semakin menjadi pembatas.

Ada pikiran yang terlintas di benak Jeno, namun ia ragu apakah ia harus mengutarakannya atau tidak. Kalau diutarakan nanti kelihatan sekali ia terlalu peduli, namun kalau ditahan ia khawatir akan mati penasaran. Tapi syukurlah, di saat seperti itu neneknya mengeluarkan suara yang membuatnya bisa tersenyum senang.

"Hayo, mau tanya apa?"

"E-eh, Nenek tahu?"

"Jelas. Nenek mana yang tidak bisa memahami ekspresi wajah cucunya sendiri," neneknya terkekeh. "Ya sudah tanyakan. Kau boleh bertanya sebanyak atau serumit apa pun, Jeno-ya. Selain matematika, Nenek pasti bisa menjawab semuanya. Hehehe."

Jeno mengangguk semangat. Wajahnya jadi makin nampak seperti anak anjing kalau seperti ini.

"Nek, apa Nenek tahu soal rumah di bukit itu?" suara Jeno sedikit meninggi karena terlalu antusias. Entahlah, dari dulu kalau soal cerita horor ia adalah yang nomor satu.

Dahi neneknya yang keriput itu mengerut. "Kau tahu?"

Jeno mengangguk. "Tadi aku jalan-jalan sampai ke sana, tapi sepertinya rumah itu kosong." Hati-hati, Jeno tidak ingin nenek maupun bibinya tahu kalau ia mendengar 'sesuatu' dari obrolan tetangganya.

"Eum, itu memang rumah kosong, sih," kata neneknya. "Sudah lama sekali. Kau pasti lihat ada bagian rumah yang lapuk atau roboh—"

"Pintunya! Aku tadi lihat pintunya roboh sebelum akhirnya berlari pulang."

Nenek dan bibi Jeno saling berpandangan. Dari air muka mereka terlihat sekali bahwa keduanya sedang kebingungan.

"Roboh?" bibinya memiringkan kepala. Jeno mengangguk polos. "Tapi pintu itu baru saja dibenahi keponakannya beberapa waktu lalu."

"Hantu." Ini suara Yebin. Bocah berpipi gembul itu meletakkan sendok kayunya, lantas menunjuk Jeno dengan telunjuk mungilnya.

"H-hantu? Jadi benar di sana ada hantu?" bukannya ketakutan, Jeno malah makin antusias.

"Hantu! Hantu! Hantu!" seru Yebin.

"Jangan bilang kau tertarik dengan rumah itu," nenek Jeno mendelik. Tak percaya dengan reaksi aneh dari cucunya tersebut.

"T-tentu saja tidak," bohong Jeno sembari menggaruk tengkuk.

.

.

Timing yang tepat! Neneknya sedang pergi ke pasar sementara bibinya mengantar Yebin sekolah. Jeno jadi bisa berjalan-jalan lagi setelah semalam neneknya melarangnya keluar hari ini karena khawatir akan terjadi hal buruk menimpanya. Apapun itu, bagi Jeno, neneknya hanya agak berlebihan saja.

Dilihatnya pintu rumah yang kembali utuh itu. Ia menyeringai. 'Jadi benar ya ada hantu,' batinnya semringah. Ia masih berjongkok di balik pohon besar yang kemarin juga digunakannya untuk bersembunyi, mengamati dengan saksama. Sampai akhirnya ia mengangguk dan memantapkan diri untuk berdiri dan melangkah menuju rumah tersebut.

Jeno merasakan semakin dekat ia dengan rumah itu maka udara jadi makin dingin. Ia mengusap-usap lengannya yang telanjang, berjalan lebih cepat. Dilihat-lihat, rumah yang tak seberapa besar ini jadi makin nampak suram jika dilihat dari dekat. Baunya juga tidak enak. Antara bau jamur di kayu yang lapuk atau bau bangkai hewan yang terselip entah di mana.

Sejenak pemuda itu berdiam diri di depan pintu. Kalau memang tempat ini berhantu, setidaknya ia pasti sudah diganggu sejak di momen ini. Namun sekarang sepertinya si hantu masih menahan diri. Jadi, Jeno berinisiatif untuk mengetuk lebih dulu.

'Siapa tahu pintunya tiba-tiba roboh lagi,' batinnya.

Tok tok tok

Tidak terjadi apa-apa.

Tok tok to—

Kriet.

"Sia—"

Tubuh Jeno membeku. Matanya juga membelalak. Sosok pemuda yang baru saja membuka pintu itu juga menghentikan suaranya. Hawa dingin mulai menyelimuti mereka sehingga kulit Jeno seketika meremang.

"H-hantu!"

Tbc



Jesy🐋

[1] Spirited Away 🌼Jaemin Jeno🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang