6 | malaikat

2.1K 355 103
                                    

Saat Jaemin dan Jeno kembali ke rumah di bukit, langit masih belum berubah. Sehingga membuat Jeno berpikir bahwa jam juga tidak bergerak. Ia berdiri di dekat Jaemin sembari mengulum bibirnya. Ada semacam hal yang mengganggu pikirannya.

"Jaemin."

"Jeno."

Keduanya serentak bungkam. Tanpa sengaja mengucap masing-masing nama di waktu bersamaan membuat rasa canggung segera menginvasi. Jaemin mengusap tengkuknya yang tertutup rambut.

"Kau duluan," katnya.

"Oke," balas Jeno tak acuh. Tak sesuai perkiraan Jaemin yang berpikir bahwa Jeno mungkin akan mengucapkan kata yang sama seperti dirinya, sehingga kemudian percakapan mereka akan bergulir seperti kisah-kisah klasik dua orang yang saling hendak memberi tanya.

Namun meski sudah bersiap menyuarakan pikirannya, Jeno kemudian diselimuti keraguan. Dia menggigit tipis bibir bawahnya, lalu melirik ke arah Jaemin yang hanya bermuka lempeng.

"Ada dua pertanyaan," ucapnya. "Pertama, kenapa kau bisa tinggal di dunia ini? Kedua, ..." Jeno diam sejenak. Lantas melanjutkan, "Tadi, sebelum kita kembali ke duniaku, kau seolah melihat sesuatu yang tidak dapat kulihat. I-itu apa?"

Tiba-tiba Jeno sudah tenggelam dalam antusiasme. Tak dipungkiri, sepertinya akan ada hal menarik yang dapat diketahuinya. Jangan lupakan, Jeno itu penggemar hal gaib.

Jaemin mengetuk-ngetuk pipinya seraya merotasi mata dengan lambat—berlagak berpikir keras. Lalu mengangguk-angguk.

"Aku tidak tahu kenapa bisa sampai di sini."

"Hah? Tidak tahu? Mana mungkin?"

Mata Jaemin berputar kesal. "Bisa tidak sih mendengarkan cerita orang dulu, baru berkomentar?"

"Oke."

Jaemin kemudian melanjutkan ceritanya. "Aku lupa apa yang telah terjadi padaku. Tahu-tahu aku sudah ada di duniamu. Sudah beberapa bulan berlalu aku hanya mengembara tak tentu arah—cuma sesekali aku kembali ke duniaku untuk membeli kebutuhan. Hatiku mengatakan bahwa aku sedang mencari sesuatu di dunia ini. Hatiku juga yang telah menuntunku hingga sampai di tempat ini setelah beberapa kali berpindah-pindah tempat tinggal.

Entahlah, hanya perasaanku saja atau bukan. Yang pasti hatiku seolah berkata bahwa ini adalah persinggahan yang tepat. Itulah mengapa aku bertahan lama di rumah ini sembari menakut-nakuti orang-orang supaya aku bisa tinggal dengan nyaman. Aku lelah pindah tempat tinggal lagi."

Pemuda manusia itu mengangguk-angguk. Sepertinya, kasus Jaemin ini agak rumit juga.

"Ah, lalu untuk pertanyaan ke-dua?" tuntut Jeno.

"Itu bukan hal penting. Hanya serangga jelek yang tidak kusuka."

Gemuruh kecil di langit yang perlahan menggelap membuat Jeno refleks berlari kecil ke teras. Dia melambaikan tangannya supaya Jaemin juga ikut berteduh dengannya. Mereka berdua kemudian saling duduk di lantai. Selagi Jeno berjongkok, Jaemin memilih bersila. Jeno heran karena Jaemin tak takut kotor meskipun hanboknya berwarna putih.

Mereka saling bungkam setelah deras hujan mulai mengguyur. Menikmati pemandangan dari air yang sebagiannya memercik hingga ke tubuh mereka. Jeno terbenam dalam lamunan dengan cepat. Dia suka sekali dengan pemandangan yang dibuat oleh bulir-bulir air hujan. Pemandangan yang selalu membuatnya merasa rindu entah mengapa.

Dengan iringan gemericik air yang intens, memori Jeno bergulir menuju masa lalu. Hari-hari di mana kedua orangtuanya masih ada. Sebenarnya, kedua orangtuanyalah yang telah membuat Jeno mencintai hujan. Sebab, dahulu, setiap hujan menghempas bumi yang mulai kehausan setelah musim panas yang melelahkan, mereka selalu mengajak Jeno berdiri di balkon. Menyapa sang hujan yang membawa hawa dingin dari lantai tinggi dan melihat bagaimana pemandangan di depan bisa begitu menyejukkan.

[1] Spirited Away 🌼Jaemin Jeno🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang