4 | tersesat

3.2K 453 20
                                    

Kemarin, saat Jeno berpikir ia baru saja mendatangi rumah kosong di bukit dan bertemu seorang pemuda tampan bernama Jaemin yang mengaku sebagai gumiho, tiba-tiba dirinya terbangun di teras rumah neneknya. Tergeletak dipandangi oleh Yebin yang baru pulang sekolah.

Kini Jeno masih duduk di kasur lantainya, memikirkan apa yang kemarin terjadi.

"Kemarin aku sudah ke sana belum, sih?" gumamnya. Ia menjatuhkan punggung, lipatan kakinya ia peluk sembari miring ke kiri. "Masa sih cuma mimpi?"

Ia frustrasi. Terang saja, siapa yang tidak bakal kebingungan jika dihadapkan dengan situasi semacam ini? Jeno sudah sering mengalami rasa bingung setelah sadar dari tidur siangnya yang terlalu lama ketika masih kecil. Tapi ini? Percakapannya dengan Jaemin kemarin terasa begitu nyata. Bahkan wangi camelia yang menguar dari tubuh gumiho itu pun juga masih bersisa di benaknya.

Namun Jeno enggan memaksakan arah pikirannya. Lagi pula, jika dipikir secara logis, makhluk seperti gumiho tidak mungkin ada. Dan meskipun pemuda manis itu sangat menyukai hal gaib, namun ia sadar, yang seperti itu adalah nol persen dibanding dengan dunia nyata yang ditempatinya. Jadi Jeno mulai mengangguk dalam keraguan. Yah, mungkin memang benar itu mimpi.

.

.

Ada satu hal yang terus mengusik benak Jeno semenjak ia sampai di desa neneknya. Satu hal yang hingga kini seolah menghantuinya. Ia tak tahu apa, namun sejak beberapa hari lalu ia selalu merasa seperti seseorang tengah mengawasinya.

Jeno tahu, terlalu was-was itu tidak baik dan hanya akan membuat hatinya tidak tenang. Hanya saja kepekaannya serasa memang benar-benar menyadari sesuatu. Namun tiap kali ia melingak-lingukkan kepala dan menatap intens ke berbagai sudut, hal yang dapat ditemuinya hanyalah embus angin pelan yang mencurigakan atau sekadar kekosongan yang terasa dingin.

Ia tidak tahu. Tapi lama-kelamaan itu terasa menyeramkan.

Diliriknya jam dinding berkarakter keropi yang tergeletak di dekatnya karena kemarin baru saja jatuh akibat dinding yang ditancapi paku tiba-tiba rusak kecil. Sudah jam sembilan. Sarapan yang ia lakukan bersama yang lainnya sudah selesai dua jam lalu dan kini rumah sudah kosong.

Sangat sepi—batin Jeno gundah.

Ia uring-uringan di kasur. Berpikir hari ini harus ke mana lagi ia pergi. Tidak mungkin ke rumah tetangga—tahu sendiri kan ia sangat pemalu—atau ke pasar untuk menemani neneknya berdagang.

Huft! Helaan napasnya terdengar keras.

Sebenarnya bukan tanpa alasan mengapa ia selalu ingin pergi ke luar. Selain karena supaya ia sehat dan asmanya sembuh, Jeno juga agak takut bila sendirian di rumah neneknya. Memang belum dipastikan, akan tetapi Jeno merasa ada sesuatu di rumah ini. Bahkan sekarang pun ia merasa sepasang mata tengah mengawasinya dari sudut entah yang mana.

Tubuhnya tiba-tiba merinding. Jeno segera bangun dan merapikan tempat tidurnya.

"Aku jalan-jalan salahlah."

.

.

Tarik napas .... hembuskan.

Tarik napas .... hembuskan.

Tarik napas .... hembuskan.

Sepasan obsidian itu berbinar tatkala berkas mentari menyapa permukaannya. Memperindah pendar yang biasanya sudah indah dengan sendirinya. Di halaman rumah neneknya, Jeno merenggangkan tubuhnya. Bunyi "kretek-kretek" yang memuaskan membuat bibir merah jambunya mengembang.

Jeno memajukan kedua tangannya, memandangi dengan pandangan terkagum kedua telapak tangannya yang perlahan mengepal. "Aku sudah sehat!" serunya.

Memang sangat membahagiakan baginya mendapati staminanya seolah naik berkali-kali lipat. Belum pernah dalam hidupnya ia sesehat ini sebelumnya. Mungkin memang polusilah penyebabnya dan Jeno bersyukur sekarang hanya udara jernih nan segar yang menyapa paru-parunya.

[1] Spirited Away 🌼Jaemin Jeno🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang