9 | memori yang hilang

1.9K 293 50
                                    

//

//

"Kepaya~ pundak ~ lucut-kaki~ lucut-kaki~ ....."

Balita berusia empat tahun itu berjalan dengan gerakan-gerakan tangan yang lucu melintasi beberapa bebatuan dan ranting-ranting kayu basah serta ilalang rendah seolah tanpa beban. Di hutan yang penuh dengan pepohonan dan tumbuhan liar ini dia datang sendirian.

Balita laki-laki itu terus berjalan sembari bernyanyi riang—sama sekali tak menyadari bahwasanya dirinya sudah berjalan terlalu dalam. Hutan tidak begitu terang meskipun pada dasarnya langit masihlah cerah. Kanopi-kanopi alami yang terbentuk di atas sana seolah menjadi payung yang menghalangi sinar mentari.

Kerikil berukuran sedang, rerumputan basah dan ranting-ranting yang bertumpuk. Balita itu melewati semuanya dengan riang. Tak ada yang bisa melukai kakinya selama sepatu karet tebal itu masih terpasang erat di telapaknya. Sampai pada akhirnya dirinya tanpa sengaja menginjak sesuatu yang lembut dan berbulu.

"GRAAHH!"

Dengus napas kencang itu seketika membuat balita tersebut terjatuh terduduk. Kedua mata lucunya mengedip-ngedip sebentar sebelum kemudian tertawa renyah melihat sebuah moncong besar dengan dua lubang hidung seukuran buah kelapa.

Anak itu tak menyadari makhluk apa yang ada di hadapannya sehingga ia dengan berani mengelus moncong dingin tersebut. Elusan yang mirip dengan gelitikan itu membuat makhluk besar yang mana merupakan seekor rubah raksasa berwarna putih itu bersin-bersin. Suara bersin yang besar itu mirip dengan suara knalpot mobil yang usang. Balita itu terus tertawa mendengarnya karena merasa itu lucu.

"Grrrrr."

Sambil berusaha bangkit, balita berpakaian ala petualang itu mengucap kata dengan aksen cadelnya. "Hayo, ucing!" sapanya mengira rubah itu sebagai kucing.

Anak itu memperhatikan dengan takjub sebuah garis berwarna jingga yang ada di dekat mata rubah tersebut. Sementara si rubah raksasa memandangnya nyalang dengan gigi-gigi yang terekspos sempurna seiring dengan geraman rendah mengerikannya.

Untuk orang biasa, rubah seperti itu tentu akan membuat mereka terkencing-kencing ketika melihatnya. Bukan saja ukurannya yang tidak biasa, namun jumlah ekor yang dimilikinya ternyata lebih dari satu.

Jumlahnya ada sembilan ekor.

Gumiho, adalah dirinya.

Siluman rubah itu memperhatikan manusia kecil di depannya dengan saksama. Rasa kesal di dada yang muncul ketika anak kecil itu mengganggu tidurnya yang lelap membuatnya jadi tak bisa mengabaikan begitu saja sosok menggemaskan tersebut.

Di antara gigi-giginya yang tajam, mengalir liur-liur lengket yang hampir menetes di bibir bawahnya. Gumiho itu kelaparan. Dilihatnya dengan mata sewarna api anak yang kini malah berputar-putar memperagakan sebuah gerakan tari yang tidak diketahuinya.

Semakin lama ia memperhatikan anak kecil itu, semakin ia merasakan rasa lapar yang teramat. Bau dari jiwa seorang manusia selalu menggugah selera dan membuatnya ingin segera melahapnya.

Namun, meskipun sedari tadi punggungnya tak ia tegakkan karena mempertahankan moncongnya supaya tetap berada di dekat bau lezat mangsanya, gumiho itu tak kunjung menyerangnya. Ia malah terus-menerus memperhatikan sosok yang seharusnya menjadi buruannya itu dengan ekor-ekor yang mengibas-ibas.

Sejurus kemudian, ia mengangkat kedua kaki depannya ke samping kepala dan mengaum dengan kencang dengan maksud untuk menakuti anak itu. Namun apa yang dia dapat sungguh di luar nalar. Balita itu malah tertawa-tawa renyah melihatnya. Bahkan ia juga mengangkat kedua tangannya ke samping kepala dan mengaum seperti gumiho di depannya. Menirunya. Tentu saja itu malah kelihatan sangat imut.

[1] Spirited Away 🌼Jaemin Jeno🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang