8 | benang merah

1.6K 279 5
                                    

Bermain benar-benar menyenangkan. Selain dapat membuat pelakunya merasa bahagia, mereka juga dapat merilekskan perasaan yang tegang dan kembali tenang.

Itulah yang terjadi pada Jeno. Tak dapat dipungkiri bahwa ia merasa takut sekaligus tidak rela ketika tahu bahwa hari ini ia akan meninggal dengan Sungchan sebagai malaikat yang akan mencabut nyawanya.

Jeno merasa ia masih terlalu dini untuk mati. Sebab, di dunia ini masih ada ratusan bahkan ribuan hal yang belum pernah ia coba karena segala keterbatasannya sebagai manusia. Ia bahkan belum sempat berpacaran dengan seseorang. "Menjalin asmara di usia muda itu sangat menyenangkan, lho"—itu yang acap dikatakan seorang temannya yang mendapat cap sebagai playboy.

Namun pada akhirnya yang bisa dia lakukan hanyalah menerima. Jeno tahu, seberapa keraspun ia meminta supaya Tuhan memberinya satu lagi kesempatan untuknya mengenyam udara semesta, toh pada akhirnya Tuhan-lah yang akan memeluknya. Erat-erat.

Dilihatnya kedua tangannya yang dipenuhi oleh hadiah-hadiah dari para pedagang di pasar. Ada banyak sekali gantungan kunci yang lebih mirip jimat. Lalu ada beberapa camilan dan makanan yang sekarang dibawakan oleh Jaemin yang sedari tadi menggerutu. Habisnya, setiap kali Jaemin ingin bermain dengan Jeno, Sungchan selalu menahannya dengan alasan untuk membiarkan Jeno bersenang-senang tanpa adanya sebuah gangguan.

"Aku tidak tahu kalau pasar ini memang selalu seperti pasar malam," tutur Jeno takjub. Ia membuat gerakan berputar-putar dengan kedua lengannya yang terentang. Menikmati udara dingin pematang yang lengang. Jeno kemudian berhenti tatkala teringat sesuatu. Lantas menoleh ke arah Jaemin. "Jaem, ayo ke rumahmu."

.

.

Desa Jaemin ternyata cukup luas. Setelah dari pasar, ketiganya berjalan beriringan menyusuri jalanan sepanjang pematang sungai, lalu menuju jalan yang agak besar untuk sampai ke permukiman. Di sini juga sama, beberapa orang membuat Jeno merasa seperti seorang selebriti karena terus memperhatikannya seraya berbisik-bisik.

Entah apa yang para penghuni alam ini pikirkan. Ekspresi wajah mereka yang tak seceria para pedagang atau pengunjung di pasar membuat Jeno berpikir mungkin saja mereka tak menyukainya. Tapi, siapa yang peduli? Toh, kelebat dirinya akan segera menghilang dari sini. Sehingga tak ada waktu tersisa baginya untuk merasa dihakimi.

"Kenapa tiba-tiba ingin ke rumahku? Kau malah jadi pusat perhatian, tuh," kata Jaemin—masih tetap berjalan sedikit lebih cepat dari Jeno. "Lagi pula tidak ada yang spesial di sana."

Jeno mengendikkan bahu. "Entahlah." Kemudian merangkul Jaemin dan berjalan menyamai langkahnya. "Tapi, semenjak aku berniat untuk membantumu di sisa usiaku, aku langsung kepikiran tentang rumahmu. Sebab, dulu ibuku kerap berkata; 'Banyak hal yang dimulai dari rumah'. Jadi aku berpikir mungkin kau pun memulai semuanya dari rumahmu."

Jaemin hanya terdiam mendengarkan penuturan yang terbilang masuk akal dari Jeno. Entah bagaimana, namun ia merasakan ada sesuatu di dadanya. Sebuah deguban tak asing yang menderanya dengan cepat seiring langkah mereka yang makin mendekati sebuah bangunan suram.

Pemuda beraroma camelia itu menghentikan langkah, lantas menunjuk ke sebuah bangunan unik berlantai dua dan sebagian besarnya terbuat dari kayu dan bata yang fondasinya merupakan sebuah pohon yang sangat besar. "Itu rumahku, Jeno-ya."

.

.

Satu hal yang paling mengejutkan bagi Jeno—atau bahkan Sungchan—adalah kondisi rumah Jaemin yang sangat rapi. Tak seperti tampilan luarnya yang serba gelap dan suram. Di dalam sini—walaupun hanya bermandikan cahaya remang—namun perabot dan benda-benda lainnya tertata dengan sangat rapi. Hampir tak ada debu ketika Sungchan dengan sengaja menggosokkan telapak tangannya pada bawah meja yang biasanya menjadi tempat berkumpulnya para debu dan kotoran.

[1] Spirited Away 🌼Jaemin Jeno🌼✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang