Penutup
Sesampai di depan rumah, sudah jam 4.30 sore, aku tidak melihat kendaraan Papa dan Mamaku. Mungkin mereka masih kerja jadi belum pulang. Ngomong-ngomong Mamaku perawat jadi sudah biasa pulang lama.
Aku kemudian mendekati pintu dan hendak masuk kedalam rumah. Tapi yah, hari sial ku tidak berhenti sampai di sekolah saja. Pintu terkunci. Aku sadar akan apa yang kulupakan di jalan tadi. Kunci rumah masih tergantung di samping pintu.
Sial.
Aku ingin mencoba masuk lewat jendela tapi semua jendela terkunci.
Benar-benar sial. Di sekolah apes. Di rumah apes. Gak bisa lebih buruk kah?
Tiba-tiba awan menggelap dan terdengar suara gemuruh. Tidak sampai disitu saja, perlahan hujan mulai turun dan aku, Varo Dian, tidak bisa apa-apa. Hanya bisa pasrah menunggu orangtuaku pulang membukakan pintu rumah di tengah dinginnya hujan.
Kemudian aku ingat kalau aku membawa handphone. Aku mengeluarkan handphoneku dari kantong dan menelpon orangtuaku untuk pulang sebentar membukakan pintu.
Begitulah harapanku. Namun semua itu hancur. Saat aku melihat layar HP ku, yang kulihat hanyalah pantulan wajahku di layar hitamnya. Seperti yang kalian duga. Habis baterai.
Fine.
Aku hanya bisa menunggu.
Tak lama kemudian sebuah mobil hitam muncul dan aku pun langsung tau kalau itu mobil Papa.
Akhirnya. Bisa masuk ke rumah.
Papaku kemudian turun dari mobil lalu menghampiriku sambil bertanya.
"Kenapa gak masuk?" begitulah tanyanya kepadaku.
"Lupa ambil kunci tadi pagi." jawabku.
"Haha... kasian." ejek Papaku.
Semoga Papa juga lupa bawa kunci.
"Gawat." kata Papa.
"Kenapa, Pa?" tanyaku.
"Papa salah bawa kunci."
Aku pun langsung tertawa menghilangkan semua beban pikiran yang kuterima dari sekolah tadi.
Hah... My Father is the best.
Kami pun menunggu di dalam mobil sambil menghangatkan tubuh. Lalu Papa membuka percakapan.
"Jadi gimana sekolahmu?" tanyanya.
"Hah... Yah gitu. Beda kayak sekolah lain." jawabku.
"Sudah dapat temankah?"
"Bisa dibilang iya."
"Kok ragu?'
"Yah gitulah."
Setelah itu Papaku tidak menanyakan hal-hal lainnya. Mungkin dia sadar akan sesuatu karena dia juga pernah mengalami masa-masa sulit di SMA jadi dia tidak mau membebani pikiran anaknya.
Papa pun lalu menelpon Mama untuk membawakan kunci rumah.
"Halo Ma."
"Halo, Pa. Kenapa?"
"Bisa bawakan kunci rumah kah?"
"Gak bawa kunci kah?"
"Iya."
"Ya udah. Aku udah dekat"
"Oh. Okelah."
"Ya. Aku tutup yah."
"Bye."
"Bye."
Telpon ditutup.
"Mama udah dekat rumah katanya." kata Papa selagi memasukan HP nya kedalam kantong.
"Tumben pulang cepat." balasku.
"Coba liat jam."
Aku pun melihat jam tanganku dan waktu sudah menunjukan jam 6 sore.
Jadi tadi aku ketiduran kah diteras rumah?
Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna putih muncul. Benar, itulah Mama. Dia memarkirkan mobilnya di belakang mobil Papa lalu turun dari mobil. Kami pun keluar dari mobil dan mengikuti Mama dari belakang yang memegang kunci rumah.
"Makanya, lain kali jangan lupa bawa kunci." omel Mama kepada kami berdua.
"Yes Ma'am." jawabku dan Papa sambil memberi hormat.
Kami pun tertawa bersama-sama lalu masuk ke dalam rumah. Mama yang melihatku basah karena kehujanan langsung menyuruhku mandi. Wajarlah bagi perawat memperhatikan hal seperti itu.
Setelah mandi aku pun langsung mengganti baju lalu makan bersama-sama dengan orangtuaku.
Well kehidupan seperti ini gak buruk.
"Ngomong-ngomong Va. Udah pinjam buku kah?" tanya Mama.
"Ah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bisakah Aku?
Teen FictionVaro, seorang anak laki-laki SMA. Ditahun keduanya, dia bersama keluarganya baru saja pindah ke kota. Di kota ini dia sudah mendaftar di sebuah sekolah yang bernama SMA S. Mulai dari sini, dia akan menemukan banya teman baru dan menikmati kehidupan...