Magrib

14 1 0
                                    

Siulan angin dari pekarangan sewaktu magrib selalu berhasil membekukan aliran darahku. Mentransfer tusukan dingin yang tak wajar, menembus sumsum dan tulang. Setengah diriku menyalahkan bapak yang menanam pohon pisang di halaman depan rumah, persis menghadap jendela kamarku. Setelah panen ketiga, tunas-tunas mulai tumbuh di sekelilingnya, menjadi pohon-pohon baru yang membuatku waswas melihat keluar jendela di malam hari.

Lambaian pelepah dan daunnya ketika ditiup angin, membuat bayangan mengerikan di selimut karena tersiram cahaya lampu neon dari bangunan berjarak beberapa meter di depan rumah. Seolah ingin mendekap jiwa dan ragaku ketika aku tertidur.

Pohon nangka di sebelah kiri rumah terkadang membuat suara mengagetkan hingga jantungku ingin jatuh ke perut. Menjatuhkan buahnya yang gagal matang dan setengah busuk secara tiba-tiba dan tak patuh waktu. Kadang di pagi buta, ketika mentari bahkan belum datang menyapa. Kadang tengah malam saat aku sedang lelap-lelapnya tidur dan baru saja menginjakkan kaki ke belantara mimpi.

Otak ini sudah liar berimajinasi bahwa yang jatuh adalah sesosok kepala yang masih meneteskan darah dari bekas penggalan di lehernya. Dengan mata merah menyala yang menyembul dan hampir loncat dari rongganya. Wajah yang koyak dan tak berbentuk itu menari-nari tak tahu diri di pikiranku. Kenapa mesti jatuh pas tengah malam, sih?

Lagi, kenapa juga pemilik tanah sebelah kanan rumah harus mendirikan bangunannya membelakangi rumah ini, hingga halaman belakangnya berbatasan langsung dengan tempat kami menjemur baju? Tembok tua yang membatasi, batanya sudah rapuh dan berlumut. Seakan berbisik kalau ia bisa ambruk kapan saja, tak terkecuali saat aku sedang menjemur pakaian. Apalagi rumah itu sudah kosong selama lima tahun.

Hati siapa tidak senewen ketika sedang mengangkat jemuran, lalu tembok rapuh itu merambatkan getaran dari suara-suara aneh yang bersumber dari baliknya. Suara anak ayam yang terdengar menjelang magrib, ditingkahi gemeresik daun kering yang tak wajar. Melemaskan seluruh sendiku. Membuat nyali ciut layaknya daging yang digoreng terlalu kering.

Belum lagi suara riuh anak kecil berkelakar yang kerap terdengar selepas adzan dzuhur. Hei, jangan lupakan bahwa rumah itu sudah kosong selama lima tahun!

Tak ada pilihan lain bagi kami selain menerima rumah dinas yang tersisa. Jajaran rumah dinas di gang depan sudah penuh terisi oleh keluarga guru-guru yang lebih dulu menempati. Tinggallah ibu, seorang guru yang mendapat jatah rumah dinas paling akhir.

Berada di halaman belakang sebuah sekolah, di mana tanahnya adalah bekas tanah kuburan. Bahkan lima meter ke arah timur laut dari rumah, tepatnya sebelah kanan depan, masih ada dua makam leluhur yang tak dipindahkan ketika sekolah ini dibangun. Bisakah kalian membayangkan disuguhi kedua nisan tanpa nama yang terbalut kain mori putih tiap membuka pintu di pagi hari, yang jaraknya hanya lima meter dari tempat kalian berdiri?

Baiklah. Jika dirunut kembali, kalian masih ingat kan, jika ada gugusan pohon pisang di depan jendela, pohon nangka tak patuh waktu di sebelah kiri rumah, halaman belakang rumah kosong di sebelah kanan, lengkap dengan suara-suara anehnya, ditambah dua batu nisan lima meter ke arah timur laut? Dengan kondisi begitu rupa tak heran jika semua orang enggan menempatkan rumah ini sebagai pilihan.

Karenanya, siulan angin dari pekarangan sewaktu magrib selalu berhasil membekukan aliran darahku. Mentransfer tusukan dingin yang tak wajar, menembus sumsum dan tulang. Apalagi magrib hari ini, ketika ayah dan ibu pergi ke rumah kerabat di kota sebelah dan baru akan pulang esok hari. Inilah salah satu hal yang kubenci dari menjadi anak tunggal.

Aku sedang duduk dengan ketegangan level maksimal ketika ketukan halus dengan ujung jari itu terdengar bersumber dari balik pintu depan. Menurut jadwal shalat yang terpampang di dinding, adzan magrib berkumandang sepuluh menit lagi. Namun pengeras-pengeras suara dari masjid sekitar sudah ramai dengan lantunan Sholawat Tarhim

Siapa yang bertamu hampir magrib begini? Tak bisakah ia mengetuk dengan wajar?
Ketukan halus itu terdengar lagi. Kali ini dengan ritme pendek-pendek, tapi cepat dan tergesa. Aku kesulitan menjelaskan apa yang kurasakan, sebab tubuhku berada di antara lemas dan kaku. Ada logika yang menolak. Jangankan beranjak, sekadar menoleh saja leher ini pun tak mau barang sesenti pun. Sekaligus perasaan cemas, waswas dan khawatir, yang bisa meluruhkan tubuhku ke lantai kapan saja, terlebih ketika sesuatu yang mati-matian kuharap tidak muncul justru nampak di hadapan.

Sampai di satu waktu di mana tubuhku tersentak hebat, menampik udara di kiri kanan karena ketukan itu berubah menjadi gedoran. Gedoran yang tiba-tiba dan aku yakin semut di pinggiran toples gula pun sama kagetnya denganku. Aku ingat telah menyalakan saklar lampu teras sejak jam 4 sore tadi. Namun kenapa sama sekali tak ada bayangan di celah sempit bawah pintu layaknya jika seseorang berdiri di baliknya?

Gedoran itu terus berlanjut. Kali ini diiringi tarian angin magrib yang menelusup dari ventilasi rumah. Menggelitik tengkukku intens. Bulu-bulu di sana rasanya bak dicabut satu per satu, namun tak terasa sakit karena bius dari tusukan dingin angin magrib yang makin lama terasa mencekik.

End

Bangil 140620

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CREEPY STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang