The Castel 10

157 34 2
                                    

Pertanyaan beruntun mengalir, membuat si lawan bicara terkekeh tanpa henti. Jemari bermain-main pada anak rambut Bai Li yang terlihat bergerak terkena kipas. Ya, mereka tengah duduk di sisi lain pada kamar, tempat sang penyihir kecil sering bercengkerama dengan kesendirian.

Melihat pada seluruh ruangan dengan lukisan kastil tua di permukaan dinding, Ji Chong merapatkan pelukan, menyandarkan kepala pada dada bidang si empunya paras tampan, pewaris terakhir kastil, seorang pangeran muda dengan masa lalu tanpa jejak.

Ji Chong tersenyum-senyum, menengadah sembari mengerling, menggoda sang pangeran agar menghentikan tanya yang membuat telinga si pemilik netra kecokelatan terasa penuh. Ia menyentil jakun Bai Li berulang, memberi sedikit cubitan hingga pekikan tertahan terdengar setelahnya.

"Hentikan, A-Chong! Aku sedang tidak bercanda! Bagaimana mungkin kamu masih mengingatku?! Lalu, apa itu tadi? Tuan? Sejak kapan?!" Bai Li menyingkirkan tangan Ji Chong, mengunci pada belakang tubuh pemuda itu, mendesak hingga terlentang pada permukaan lantai.

Nakal! Si pemilik paras manis memajukan bibir, menggerak-gerakkan hingga membuat Bai Li gemas. Pemuda itu melepaskan cengkeraman, menyangga tubuh dengan lengan kanan seraya mendesah kasar.

Ji Chong menutup bibir, menyingkirkan tangan Bai Li yang memeluk tubuh, memberi jarak seraya duduk. Ji Chong memandangi wajah sang pemilik kastil terus-menerus, seolah tidak merasa bosan. setiap lekuk pada wajah, ia telisik dengan saksama.

"Pangeran Bai, berapa usia Anda?" Ji Chong berdiri, menuju dinding yang tepat berada di hadapan, menyentuh permukaan dengan jari telunjuk hingga pendar a rai terlihat serupa pintu.

"Kemarilah." Ji Chong melambaikan tangan, telapak tangan menengadah seraya menerima uluran tangan Bai Li yang tengah mengernyit. Sang pangeran mencoba memahami, berpikir cepat hingga tidak menyadari jika kaki sudah berpindah pijakan.

Kamar berukuran luas yang langsung menembus kastil istana ketika a rai membuka selubung waktu yang menjadi penghubung antar ruangan. Bai Li melepas genggaman, mengedarkan pandangan, melihat kembali ke arah Ji Chong, lalu menuju sisi ranjang yang terlihat bersih. Pembaringan hangat dan selalu sepi ketika tidak ada satu orang pun yang bisa menjadi teman Bai Li ketika penat merajai. Ruangan serba putih dan dihiasi dengan lukisan bambu.

"Kamarku?" Bai Li menunjuk hidung.

Ji Chong mengangguk mantap seraya bersedekap. "Tentu saja. Memangnya milikku?"

Si pemilik paras manis menutup a Rai. Selubung waktu, pun menghilang setelahnya. Ia mendekati Bai Li yang masih mengedarkan pandangan. Menolak percaya, tetapi kenyataan membuat pemuda tampan itu enggan mengelak. Embusan napas lelah menggiring Bai Li pada tepian pembaringan, merebahkan tubuh penat ketika tidak juga memahami makna kalimat tanya dan tujuan Ji Chong mengajak pemuda itu kembali ke kastil.

"Lelucon?" Bai Li menutup mata dengan lengan.

"Tidak seperti itu. Kita bahkan sudah terhubung sejak kutukan turun generasi mulai menjadi momok keluargamu, Pangeran Bai." Ji Chong menghamburkan diri pada tubuh si empunya paras tampan. Ia selalu melekat seperti cicak, dan mengendus serupa anak kucing.

"Aku diam-diam mengunjungimu ketika netramu telah terpejam." Ia memeluk tubuh kokoh sang pangeran yang enggan bergeming.

"Tidakkah kamu bertanya, kenapa kutukan berada di tubuh Xiao Yan dan tidak di tubuhmu padahal kamu adalah pewaris yang sah? Paman Huang yang tiba-tiba menyerang kediaman keluarga Ji? Lukisan sakura tampak hidup? Tidakkah kamu berpikir bagaimana semua itu berhubungan?"

Ji Chong menyingkirkan lengan dari netra sang pangeran, menekan siku pada pembaringan seraya memaksa si empunya netra elang untuk melihat ke arahnya. Senyum getir tiba-tiba tampak, sang penyihir kecil mencium bibir sang pangeran seraya menitikkan air mata.

Rindu, pesakitan, kebahagiaan, semua mengelilingi hingga Bai Li memeluk tubuh bergetar itu dengan erat. Pemuda itu menangis, terus menumpahkan rasa sesak seolah-olah tidak bertemu selama beberapa masa.

Bai Li membiarkan, tidak ingin mengusik, mengusap punggung sempit itu secara berulang. Sanubari terasa pilu ketika mendengar suara tangis bersama duka yang tidak mampu terbaca. Sang pangeran melepas pelukan perlahan, mengusap air mata pemuda pemuda manis yang membuat jejak pada pipi.

Selubung kesedihan tiba-tiba menguasai hingga sebuah kalimat panjang membuat Bai Li tertegun bersama pesakitan sanubari yang tiba-tiba naik ke permukaan.

Kenyataan tentang kelahiran, tentang persengkokolan, tentang pelenyapan. Pernikahan dan perjanjian leluhur sihir yang dibatalkan sepihak, membuat Paman Huang mengamuk hingga menjatuhkan kutukan turun generasi.

"Ibuku?" Bai Li mendudukkan diri, menarik bahu si pemuda manis, menatap penuh tanya pada netra Ji Chong yang terlihat sembab. Sang pangeran mengeraskan rahang, meluruskan pikiran ketika amarah mulai menjadi pemenang.

"Aku bukan putra sang raja?!" Bai Li mengusap wajah kasar, menghindari tatapan Ji Chong yang masih menangis. Penyihir kecil itu menarik Bai Li dalam pelukan. Sakit, sudah pasti. Seorang pewaris tahta, tetapi memiliki darah lumpur dalam hidupnya.

Hantaman kenyataan, meremukkan nyaris menghancurkan. Bai Li berteriak hingga membuat dengungan pada pendengaran. Ji Chong mengeratkan pelukan, kian erat hingga ia sendiri, pun kesulitan untuk bernapas. Satu fakta terungkap dan masih menyisakan beberapa hal yang lainnya.

Bai Li merasa muak. Belum cukupkah keluarga kerajaan memperalat pemuda itu hingga serupa budak tanpa upah, memperlakukan pangeran tidak lebih baik dari seorang bawahan? Memeras pemikiran, menggunakan sebagai perantara transaksi untuk memperluas kekuasaan, gelar putra mahkota hanya omong-kosong. Karena pada kenyataannya, Xiao Yan yang selalu mendapatkan hak lebih. Apakah Air mata sang ibu hanya sebuah kepalsuan?

"Nyonya tidak berbohong tentang semua penderitaan yang ia alami, Tuanku. Beliau menitipkan kehidupan yang ia miliki untuk melihatmu tumbuh walaupun harus menahan pesakitan ketika sang raja tidak satu kali pun mau menggendongmu dalam pelukan." Ji Chong menarik tubuh sang pangeran hingga keduanya berhadapan.

"Aku tetap menghormatimu sebagai tuanku, tidak peduli dari mana darah yang mengalir dalam tubuhmu. Aku pun tidak lebih baik ketika harus menjadi pengantin semalam untuk menghilangkan kutukan dan berakhir dengan kehilangan semua ingatan yang aku punya."

Larut dalam kesedihan tidak akan mengubah banyak hal. Bai Li mendesah pasrah, menetralkan amarah yang nyaris menyakiti Ji Chong. Pemuda manis itu tersenyum kecil, mengangguk lirih, mendudukkan diri dalam pangkuan sang tuan seraya berbisik, "Beberapa kelahiran telah aku lewati, tetapi aku tidak satu kali pun melupakanmu, Tuanku."

Pemuda manis itu mengalungkan lengan pada leher. "Aku terlahir hanya untuk mengingat satu orang. Pengabdian dan cinta telah nenek kunci bersama kekuatan tanpa batas seorang penyihir pada sang tuan."

Embusan napas hangat membuat netra Bai Li terpejam. "Hanya kamu yang aku izinkan untuk menyentuhku, Tuan Bai Li. Bahkan, Xiao Yan sekali pun tidak aku perbolehkan. Ketika sakura berpindah raga, maka saat itu juga si empunya tubuh tertidur hingga esok hari. Mereka membuka mata tanpa mampu mengingat keberadaan pengantinnya."

Bai Li menarik helaian panjang pada kepala Ji Chong secara kasar. "Lalu, bagaimana cara mereka meletakkan lukisan sakura tanpa melakukan penyatuan, Ji Chong?!"

Meggeram, menarik lebih kuat, membuat kepala sang pemuda menengadah hingga leher sewarna kapas itu terekspos. Ji Chong terkekeh, memegangi kepala ketika rasa ngilu mulai menjalar pada kulit kepala. "Kedok, Tuanku. Aku harus pandai berpura-pura, bukan? Bahkan nenek hampir menghajarku ketika memaksa melakukan itu dengan alasan pembuatan segel pelepas kutukan. Bukankah rasanya menyenangkan?"

Tanpa menunggu lebih lama, sang pangeran memberikan gigitan gemas pada leher si empunya paras manis hingga pemuda itu memekik tertahan. "Nakal!"



TBC.

Elah, mereka udah tua aslinya. 😶😶😶

The Castle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang