The Castle 5

246 44 10
                                    

Bahu Ji Chong terekspos dan memperlihatkan kulit dengan bercak kehitaman karena baru saja mendapatkan goresan benda berujung runcing dari jarum berukuran besar dan menjadikan sebuah lukisan pohon sakura kecil permanen pada tubuh sang penyihir kecil. Ji Chong meremas tepian meja hingga kuku-kuku tajam yang ia miliki menancap kian dalam dan lelehan merah keluar dari ujung-ujung jemari.

Pemuda ini memekik, menahan rasa perih dan juga sakit yang terasa menusuk tulang. Canola beku yang menempel pada permukaan kulit, ternyata belum cukup mampu untuk menghilangkan rasa sakit dari tanda yang sengaja Bai Li buat agar si empunya paras manis tidak mengingkari perjanjian yang sudah kedua pemuda itu sepakati. Satu entakan dalam dan menghasilkan desahan panjang ketika Bai Li menyemburkan cairan kental pada liang hangat kepunyaan Ji Chong telah mengakhiri kegiatan panas dua pemuda tersebut bersamaan dengan goresan terakhir pada bahu.

"Sial! Aku tidak tahu jika bisa sesakit ini!" Ji Chong menjatuhkan tubuh pada tepian meja rendah, menetralkan napas yang terengah hingga rasa sakit itu perlahan mulai menghilang seiring dengan kecupan lembut pada bahu yang masih menyisakan bercak darah pada kulit sehalus porselen kepunyaan penyihir kecil.

"Selesai!" Bai Li menarik batang hidup yang masih terlihat enggan untuk tertidur tersebut dari liang surga kepunyaan Ji Chong. Pemuda manis itu menahan desahan pada tenggorokan seraya menjatuhkan tubuh di lantai yang terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Ji Chong bahkan engga untuk memakai celana. Pemuda itu membiarkan kaki jenjang yang ia miliki terekspos bersamaan dengan cairan kental yang keluar menyusuri paha bagian dalam. Penyihir kecil mengumpat beberapa kali, merasakan penyatuan dengan ritme cepat sekaligus kasar, membuat tubuh pemuda itu terasa remuk nyaris tidak bisa bergerak.

"Bedebah! Ternyata kamu begitu buruk dalam hal menggagahi seseorang!" Ji Chong mencoba memejamkan mata. Rasa sakit sekaligus lelah, menyeruak secara bersamaan. Ia tidak satu kali pun menoleh ke arah Bai Li. Si pemilik kastil memberikan tanggapan dengan senyuman miring seraya menyambar celana panjang hitam yang ia miliki.

"Lain kali aku akan lebih lembut." Bai Li menunduk lalu membopong tubuh Ji Chong untuk ia baringkan pada ranjang besar yang berada di balik dinding kamar.

"Tidak ada lain kali!" Ji Chong tertidur setelahnya. Ia sudah cukup kehilangan banyak tenaga menghadapi hasrat tidak kenal ampun Bai Li dan harus berakhir dengan memaki tidak ada henti. Bai Li meletakkan tubuh yang sudah terlelap itu pada pembaringan, menyiapkan handuk dan juga air hangat pada wadah berukuran sedang, meletakkan di nakas, lalu mulai membersihkan tubuh Ji Chong seraya mengompresnya, memberikan pakaian yang pantas meskipun hanya sebuah kemeja biru muda kebesaran.

Bai Li meninggalkan kamar lalu menutup pintu hingga permukaan dinding kembali ke bentuk semula. Ia memanggil pelayan yang berada di luar ruangan untuk membereskan semua kekacauan pada tempat yang beberapa saat lalu telah dua pemuda itu pergunakan untuk melakukan penyatuan.

****

Malam menguasai hingga keberadaan angin dingin lebih terasa membekukan dari hari biasanya. Kastil terlihat lebih mencekam, pengunjung memilih untuk pulang lebih awal. Sepertinya, beberapa orang mulai menyadari keanehan ketika aroma sakura lebih pekat dan semua pohon bergerak-gerak meskipun tidak ada embusan angin kencang. Para penjaga hanya bisa terus mengawasi, tidak satu kali pun menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut-mulut penasaran orang-orang di sekitarnya.

Bai Li menatap hamparan sakura dari ketinggian sembari mengisap cerutu. Ia berdiri pada atap, memantau keadaan sekitar. Ji Chong masih menikmati alam mimpi. Lebih tepatnya, tubuh pemuda manis itu tengah menyesuaikan diri dengan lukisan sakura pada tubuh yang perlahan mulai menampakkan warna.

"Sudah waktunya!" Bai Li memelesat, menuruni atap dengan langkah cepat hingga tidak ada satu orang pun yang menyadari karena keadaan malam yang lebih pekat. Pemuda manis yang sedang bergerak-gerak gelisah pada pembaringan, secara perlahan mulai membuka mata. Netra Ji Chong masih belum terbuka penuh. Ruangan asing dengan aroma pinus menguar menjadi hal pertama yang ia rasakan ketika mulai membuka mata.

"Haiz! Apa aku sedang diculik?!" Ji Chong menyibakkan selimut. Ia melihat keadaan tubuh yang sudah bersih dengan kemeja kebesaran. Sejujurnya, tidak terlalu kebesaran. Hanya saja, ia terlihat lebih kecil dari yang seharusnya. Perasaan jengkel menyelimuti dalam hitungan detik. Netra kecokelatan yang ia miliki melihat ke sekitar dan menjatuhkan pandangan pada celah tidak berpintu seukuran tubuh dua manusia dewasa.

"Tsk, nenek sudah membuatku susah!" Ji Chong turun dari pembaringan dengan sedikit tertatih. Maklum saja, di hajar selama beberapa jam, membuat pemuda manis itu harus merasakan sensasi perih dan tidak mengenakkan. Pemuda itu meneruskan langkah hingga pada ruangan berukuran luas yang berisikan beberapa pakaian mahal dan aksesoris. Ji Chong tersenyum miring, menggeleng beberapa kali seraya mencari pakaian yang sekiranya pantas.

Ia melihat ke segala sisi secara bergantian, memilih beberapa kali, dan berakhir dengan kekesalan karena tidak satu pun pakaian yang pas untuk ukuran tubuh pemuda manis itu. Pada akhirnya, pun ia menyambar secara asal. Beberapa menit terlampaui dan Ji Chong memutuskan untuk keluar dari ruangan itu. Ia berniat merebahkan diri pada ranjang sekali lagi. Namun, sebuah pelukan erat pada pinggang telah membuat pemuda manis tersebut kesal tidak keruan.

"Menyingkir!" Ji Chong menepis tangan secara kasar tangan yang melingkar pada pinggang agar Bai Li melepas pelukan, tetapi sang pangeran tidak mau melakukan itu. Ia justru kian bersemangat melihat pemuda yang sedang ia peluk bertindak kasar. Si pemilik kastil ingin merasakan sekali lagi kegiatan panas beberapa waktu lalu yang membuat pinggang Ji Chong nyaris patah.

"Menjauh dariku atau aku tendang tiang langitmu itu, Tuan Bai! Jika bukan karena permintaan nenek, aku tidak akan melakukan hal bodoh yang justru membuat hasrat binatangmu keluar tanpa jeda!" Ji Chong berdecak. Bai Li mempererat pelukan dan tidak memedulikan amukan pemuda manis sekaligus galak yang sedang ia peluk. Pemuda tampan itu terkekeh, memutar tubuh si penyihir kecil agar mereka berhadapan.

"Hei, pakaian macam apa ini?" Si pemilik kastil menahan senyum, sebisa mungkin tidak terbahak karena melihat Ji Chong yang sangat menggemaskan ketika memakai sweter abu dan celana panjang berbahan kaos yamg menenggelamkan tubuh pemuda di hadapannya.

"Salahmu! Aku bahkan tidak bisa memakai pakaian dengan benar! Aku mau pulang!" Ji Chong mendorong tubuh Bai Li hingga pelukan pemuda itu terlepas. Ia menuju pintu yang masih terbuka. Namun, menjadi lenyap ketika pemuda manis tersebut hendak melangkah keluar. Si penyihir kecil menggertakkan gigi, menendang kaki Bai Li hingga sang pemilik kastil terdorong beberapa langkah ke depan.

"Jangan main-main! Nenek pasti sudah menungguku!" Ji Chong mengusap wajah secara kasar.

"Tidak sekarang, Ji Chong. Keluargaku sedang ada di bawah." Bai Li mendekat sekali lagi, menyentuh pipi pemuda itu sembari memberikan kecupan singkat pada bibir pemuda di hadapannya.

"Lalu?" Ji Chong mengigit bibir tebal Bai Li hingga berdarah sampai si empunya memekik seraya mengumpat. Ia menarik lengan pemuda manis itu, menjatuhkan pada pembaringan, dan mengunci kedua tangan di atas kepala.

"Biar aku lihat warna lukisannya, Ji Chong." Bai Li memaksa.

"Tidak akan! Aku tahu hasrat binatangmu masih belum tertidur!" Si penyihir kecil menutupi dada dengan menyilangkan kedua tangan setelah berhasil terlepas dari cengkeraman. Menit-menit terlampaui dengan pertengkaran tidak perlu karena sifat keras kepala yang mereka miliki. Ji Chong masih berusaha menghindar dan menyusuri seluruh sudut kamar sembari berseloroh. Bai Li nyaris kewalahan ketika pemuda manis yang terlihat menyenangkan di awal pertemuan mereka justru memiliki sifat sangat menyebalkan sekaligus kekanakan.

"Hei, bolehkah aku ikut bergabung?"

TBC.

The Castle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang