The Castle 7

166 36 0
                                    

Pemuda itu tidak satu kali pun memejamkan mata ketika sampai pada pembaringan hangat keturunan terakhir sang penyihir. Ia hanya berguling-guling sembari menghitung partikel udara yang terlihat jelas karena kekuatan magis yang Ji Chong miliki. Pemuda manis itu mengerjap-ngerjap, bibir bergerak-gerak dengan jari telunjuk mengarah pada titik tertentu.

Ji Chong tenggelam dengan dunia yang sedang penyihir kecil itu buat. Ia mendudukkan diri pada tepian jendela kaca yang terbuka penuh. Kelopak magnolia menyusup masuk bersamaan dengan embusan angin yang menampar helaian panjang pada kepala si empunya paras manis.

"Kenapa orang-orang suka sekali berciuman atupun melakukan penyatuan? Bukankah itu sangat menyakitkan? Bagian belakangku saja masih sakit ketika duduk pada permukaan lantai ataupun kursi yang keras!" Ji Chong berdecih. Sesuatu yang membuat perut pemuda manis itu terasa mual tiba-tiba melintas di kepala. Pemikiran lugu yang mampu berubah-ubah sesuai dengan situasi yang pemuda manis itu hadapi. Ia rela melakukan penyatuan demi memenuhi janji melepas kutukan turun generasi karena hubungan kekerabatan sekaligus permusuhan yang dua keluarga besar tersebut pernah lakukan.

Sebuah pernikahan tanpa adanya rasa ketertarikan. Ji Chong hanya mengikuti dan menganggap semua adalah sebuah permainan. Ia melalui beberapa syarat dan juga penandaan pada tubuh yang terasa sangat menyakitkan. Si penyihir kecil tidak memiliki masalah untuk itu. Hanya saja, ia mereka kurang nyaman dengan sikap yang dimiliki oleh Bai Li beserta Xiao Yan.

"A-Chong?!" Xiao Yan memanjat dahan magnolia untuk ia pergunakan sebagai pijakan lalu memelesat pada arah jendela berukuran besar pada rumah sang penyihir. Wajah rupawan, lesung pipi tercetak jelas ketika tengah berbicara, hidung mancung dengan netra sipit sekaligus tajam itu tengah membawa seekor kelinci gemuk yang sedang memakan wortel.

"Tsk! Kamu ini manusia ataukah monyet?! Suka sekali memanjat!" Ji Chong menyambar kelinci gemuk pada pelukan Xiao Yan lalu memangkunya. Pemuda manis itu justru asik bercanda dengan makhluk gemuk sewarna kapas itu, seolah-olah keberadaan calon suami yang sedang duduk di hadapannya adalah makhluk tidak terlihat.

"Baiklah. Mulai besok aku tidak akan memanjat pohon." Xiao Yan mengusap helaian panjang yang terlihat menari-nari seirama terpaan angin.

"Aku akan memanjat tubuhmu seperti ini!" Dalam hitungan detik, kelinci sudah berpindah tangan. Xiao Yan mencengangkan leher makhluk putih itu dan meletakkan pada pembaringan bersamaan dengan hempasan dua tubuh yang saling menindih pada permukaan kasur. Calon suami Ji Chong bertindak secara cepat. Ia menghimpit kaki, mengunci kedua pergelangan tangan di atas kepala, mencengkeram dagu hingga si penyihir kecil benar-benar tersudut. Xiao Yan memberikan tatapan memuja sekaligus hasrat menggebu dan ingin memiliki hingga ia harus melakukan apa saja agar tidak ada satu orang pun yang akan mendahului.

"Hei, tanda di tubuhku bahkan akan memberikan reaksi lebih cepat daripada kepalaku! Apakah kamu lupa?!" Ji Chong menyentak cengkeraman pada pergelangan tangan dan mendorong tubuh Xiao Yan agar menjauh. Pemuda manis itu lagi-lagi terkekeh. Entah apa yang ia tertawakan ketika melihat reaksi dari sepupu Bai Li dengan raut muka kebingungan.

Ji Chong membuka tiga kancing baju teratas dan menurunkan kemeja hingga sebatas bahu. Lukisan sakura yang terlihat hidup, seolah-olah tengah terkena tiupan angin. Bahkan, kelopak sakura yang berjatuhan, pun terlihat sangat nyata. Xiao Yan mengernyit. Ia masih belum paham mengenai reaksi seperti apa yang akan di berikan tanda pada tubuh calon mempelainya.

Pemuda manis itu memutar tubuh dan menaikkan kerah baju hingga kembali seperti sedia kala. Ia tersenyum miring, beranjak dari pembaringan dan menuju lemari besar dengan ukiran lingkar sihir yang terdapat dua belas rasi bintang di dalamnya. Pintu ia buka secara perlahan, mengambil salah satu tumpukan buku kuno, lalu melempar ke arah Xiao Yan yang tengah memerhatikan setiap gerakan si penyihir kecil.

"Kutukan turun generasi akan hilang pada malam ketiga belas setelah purnama muncul." Ji Chong menutup pintu almari sambil menyandarkan tubuh dan bersedekap. Senyum misterius masih belum mampu Xiao Yan tebak pada wajah si pemuda manis. Ada sesuatu yang masih tersembunyi dan terlalu berbahaya jika sampai sisi tidak terbaca tersebut menyeruak ke permukaan.

Xiao Yan masih menggenggam buku tersebut dan belum ada niat untuk membukanya. Ji Chong membawa langkah kaki pada tepian jendela untuk melihat beberapa kelopak canola yang beterbangan hingga netra pemuda manis itu terpaku pada sosok yang sudah sangat ia kenal. Pemuda itu tersenyum kecil, mengigit ujung jari untuk membuat pelindung sihir berukuran kecil lalu ia lemparkan pada pemuda yang sedang melihat ke arahnya.

"Apakah sang pangeran tidak memiliki kesibukan hingga harus menjadi penguntit seorang penyihir kecil?" Xiao Yan mengernyit, melihat ke arah yang tengah ditunjukkan oleh Ji Chong dengan dagu.

"Kalian berdua benar-benar mirip  dengan monyet! Suka sekali memanjat dahan!" Ji Chong berdecih. Ia menarik kerah baju Pangeran Bai dari kejauhan setelah selubung sihir sudah sepenuhnya menjadi selimut besar hingga mampu menghalangi penglihatan manusia yang sewaktu-waktu melintas.

Tiga pemuda berparas tampan tengah berada dalam satu kamar besar, mencoba membahas apa saja yang sekiranya masih tidak mereka pahami. Bai Li mulai mempertanyakan perihal tanda pada bahu yang harus dibuat bersamaan dengan melakukan sebuah penyatuan. Lebih parahnya, harus dilakukan oleh Bai Li dan bukan Xiao Yan.

Xiao Yan justru tidak satu kali pun diperbolehkan untuk menyentuh pemuda itu hingga waktu pernikahan tiba. Beberapa pertanyaan mulai berdatangan. Lukisan sakura yang semula hanya berubah warna, kini mulai bergerak-gerak sepeti sesuatu hal yang nyata. Ji Chong mencoba berpikir sekaligus membuka lembar demi lembar pada buku yang sedang ia pangku hingga dengungan pada telinga, membuat pemuda manis itu terkesiap dan nyaris saja terhempas ke belakang dan membentur kepala ranjang.

Bai Li menarik lengan pemuda manis itu secepat yang ia mampu sekaligus membawa pada pelukan hangat. Sang pangeran meletakkan tubuh si penyihir pada pangkuan, menepuk-nepuk pipi Ji Chong secara berulang. Xiao Yan mencoba melihat ke arah luar. Lingkar sihir yang menyelimuti rumah sang pemuda manis beberapa lapis sudah lenyap dan menyisakan pendar kehitaman pada salah satu pohon magnolia.

"Apakah Nenek tidak ada di rumah? Ji Chong! Jawab aku!" Pemuda itu masih memejamkan mata dengan jari terkepal kuat. Ia menggeleng, seolah-olah tengah mengalami mimpi buruk dan berusaha untuk bangun, tetapi seperti ada sesuatu yang sedang menghalangi.

"Bukankah seharusnya dia tidak datang sekarang?!" Xiao Yan berteriak ke arah Bai Li bersamaan dengan rasa cemas yang mulia menguasai.

"Sialan! Kutukan sialan! Apa yang harus kita lakukan sekarang, Bai Li!" Ji Chong terlihat semakin gelisah. Bai Li harus segera berpikir dengan cepat ketika situasi mulai mendesak seperti sekarang. Tiga lingkar sihir perlindungan sudah mampu ditembus. Xiao Yan tidak mampu berbuat banyak karena tingkat kekuatan yang jauh berbeda. Memperkuat perlindungan hingga Ji Chong terbangun adalah satu-satunya hal yang mampu pemuda itu lakukan.

"Lakukan apa pun asal Ji Chong segera membuka mata atau kita akan benar-benar kehilangan dia!" Tanpa berpikir dua kali. Bai Li melepas seluruh pakaian yang mereka kenakan seraya menjadikan si penyihir kecil sebagai milik sang pangeran untuk sekali lagi.

"Tunggu! Apa yang akan kalian lakukan?!" Xiao Yan hampir saja kehilangan konsentrasi ketika melihat tubuh tanpa busana dari seorang Ji Chong. Lebih mengejutkan lagi ketika Bai Li menyentakkan miliknya pada lubang hangat si empunya paras manis hingga mengeluarkan darah segar. Bai Li memeluk tubuh itu sangat erat hingga pendar sewarna darah mulai menguar ke seluruh penjuru dan membuat makhluk misterius tersebut menghilang dalam hitungan detik.

Si makhluk misterius lenyap dan pendar sewarna darah, pun perlahan memudar. Bai Li mengeluarkan miliknya secara perlahan bersamaan dengan satu titik air mata penyesalan yang jatuh pada permukaan pipi si penyihir kecil. Sang pangeran menenggelamkan wajah pada ceruk leher Ji Chong dan memberikan ciuman singkat. Ia beranjak dari pembaringan, mengenakan seluruh pakaian, dan membawa tubuh terlelap pemuda manis itu menuju kamar mandi untuk pangeran bersihkan.

"Singkirkan tanganmu darinya! Biar aku saja yang mengobati Ji Chong, Pangeran Bai!" Xiao Yan ingin merebut tubuh calon mempelainya. Namun, sebuah suara pada pintu membuat dua pemuda yang masih memiliki kesadaran penuh pada kamar itu, harus menunduk dan tidak satu kali pun berani untuk menegakkan kepala.

"Ji Chong bukan milik siapa pun, tidak juga dengan kalian berdua. Ia hanya media untuk melepas kutukan, bukan sebagai mempelai yang sesungguhnya."

TBC.

The Castle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang