The Castle 9

137 35 0
                                    

Pemikiran matang terkadang diperlukan. Namun, bergerak cepat sesuai insting, tidak sepenuhnya salah. Lagi-lagi cinta membuat kepala manusia harus bekerja ekstra.

*
*
*

Hari berlalu dengan cepat. Riuh pernikahan menjadi fokus Bai Li ketika banyak manusia berkunjung seraya menyaksikan pernikahan dua pemuda dari keluarga ternama. Sambutan hangat, selalu sang pangeran berikan. Si pemilik kastil mengedarkan pandang, menelisik dengan teliti, mencoba menghalau firasat buruk yang berada di sanubari.

Pangeran Bai berusaha bersikap senatural mungkin. Sesak menyelimuti, pun ia abaikan. Meskipun pada kenyataannya, pilu lebih dulu menggerogoti. Rasa tidak rela, terasa hingga menusuk persendian.

Si pemilik netra sewarna malam harus mengigit lidah secara berulang. Tatapan kekaguman pada si empunya netra kecokelatan, harus segera ia tepis ketika menjadi milik orang Lian adalah status yang akan segera Ji Chong sandang.

Pertemuan manis, penyatuan bersyarat, sikap barbar si penyihir kecil, menjadi hal yang akan selalu pemuda itu ingat. Satu-satunya hal yang ia takuti adalah ketika lupa menjadi hal tersisa setelah si mempelai berhasil memindahkan lukisan sakura pada tubuh Xiao Yan bersamaan kekuatan besar yang Ji Chong miliki.

Bai Li mendesah pasrah. Rasa ingin bertemu tatap dengan pemuda manis itu, tiba-tiba menguat. Kaki bergerak dengan tergesa, menerobos kerumunan bersama harapan terakhir dari sang pemilik kastil untuk cinta sang pemilik hati.

Salah, pun aku terima. Biarkan rasa ini mencoba menggapaimu walaupun sesaat.

Menapak anak tangga dengan tergesa. Kelopak mawar penghias tepian tangga, beterbangan seiring langkah penuh luka si pemilik kastil yang sedang mencengkeram liontin pada kalung. Napas terengah menjadi satu-satunya hal yang terdengar ketika pemuda itu berdiri mematung seraya menatap netra kecokelatan sang calon mempelai.

Tunggu! Netra kecokelatan? Ji Chong berdiri mematung dengan setelah jas formal, tetapi tatapan pemuda itu terlihat dingin sekaligus kosong. Bai Li melihat pendar cahaya di kalung yang ia kenakan. Sang pangeran memelesat, melepas kalung dan berusaha menautkan di leher si empunya paras manis secepat yang pemuda itu mampu.

Namun, keberuntungan sedang tidak berpihak ketika si pemilik netra kecoklatan mencengkeram lengan Bai Li seraya mengibaskan dengan kekuatan yang tidak main-main. Sang pangeran terpelanting, kalung terlepas dari tangan, pemuda itu mengaduh lirih ketika kepala si pemuda tampan membentur tepian dinding.

Ji Chong mendekat perlahan, berjongkok seraya mengulurkan tangan, jemari menekan leher hingga Bai Li kesulitan bernapas. Sang pangeran mencoba menggapai kalung yang berada tidak jauh dari jangkauan, mengernyit hingga alis bertaut.

Ji Chong, cobalah untuk tersadar!

Pandangan Bai Li mulai memudar. Tangan pemuda itu sudah tidak bertenaga. Ia mencoba pasrah seraya merelakan. Jika kematian menjadi takdir si pemilik kastil, sebisa mungkin sang pangeran menerima walaupun berakhir luka.

Ji Chong ....

Netra Bai Li tertutup perlahan. Ia sudah tidak mampu merasakan darah mengalir di tubuh. Pemuda itu kehilangan fokus di tengah usaha terakhir untuk memulihkan kesadaran orang terkasihnya. Gelap, sunyi, sekaligus senyap menjadi hal yang mengelilingi sang pangeran setelahnya.

******

Beberapa masa terlampaui. Cahaya matahari mulia mengusik penglihatan seorang pemuda yang tengah terlelap dalam tidur panjang. Kedua jemari bertaut di dada, mulai terlihat bergerak. Kepala menggeleng lirih, bola mata terlihat bergulir di dalam kelopak mata yang tertutup.

Sensasi hangat menjadi hal pertama yang pemuda itu rasakan ketika matahari menerobos jendela tanpa adanya penghalang. Pemuda itu mulai bergerak gelisah. Namun, rasa lemas yang mendera, membaut tangan pemuda itu kesulitan menjangkau sesuatu.

Tubuhku ... sulit sekali digerakkan.

Beberapa detik setelahnya, suara seseorang yang familier, membuat sanubari pemuda itu mulai terusik. Tautan jemari perlahan terlepas, mencoba membuka kelopak mata, tangan bergerak semampu yang ia bisa hingga sebuah genggaman pada telapak tangan, membuat sanubari pemuda itu, menghangat perlahan.

"Buka matamu, Tuanku. Tidakkah kamu merindukanku?" Suara itu terdengar lebih jelas. Ada sesak yang mengusik, kerinduan mulai terasa, pesakitan lebih menguasai. Hal mustahil! Tidak masuk akal! Apakah rasa putus asa yang berlabih mampu membuat seseorang menjadi berhalusinasi seiring menghilangkannya kesadaran.

Tunggu! Bukankah seharusnya Bai Li sudah tiada? Lalu, apakah pemuda itu berada pada dimensi alam baka? Suara pemuda yang sangat Bai Li rindukan, pun tiba-tiba mengikuti. Telinga pemuda itu terasa panas. Hasrat memeluk sekaligus mencium mulai naik ke kepala.

Biarkan kematian berada di sekelilingku jika mendengar suara Ji Chong adalah hadiah yang aku dapatkan.

"Nak, bangunlah. Sudah terlalu lama kamu tertidur." Nenek Ji mengusap dahi pemuda itu secara berulang, menyalurkan rasa hangat dari a rai pada telapak tangan. Mata pemuda itu perlahan terbuka hingga penuh, mencoba melihat lebih jelas ketika samar-samar pada penglihatan masih menguasai.

"Kamu bisa bertahan hingga sejauh ini adalah hal yang mengejutkan." Nenek Ji mencoba membantu pemuda itu duduk pada kepala ranjang. Pemuda itu tampak bingung, melihat ke sekeliling, mencari suara samar yang menyusup pendengaran beberapa saat lalu.

Rasa kecewa mulai hadir. Si pemuda memijat pangkal hidung seraya mengembuskan napas lelah. Lagi-lagi rasa suka menjadi sumber angan paling besar hingga membuat pemuda itu terbangun dengan mudah.

"Nek, apakah aku masih hidup?" Pemuda itu mencoba meyakinkan sekali lagi hingga suara seorang pemuda, membuat pemuda itu menoleh cepat seraya membulatkan mata.

"Aiya! Tuanku sudah kembali!" Ji Chong memasuki kamar dengan berlari, menghamburkan diri pada pelukan Bai Li yang masih setengah tidak percaya dengan apa yang berada di pelukannya.

"Ji Chong?" Pangeran Bai menatap Nenek Ji, meminta penjelasan tentang keseluruhan hal yang terjadi. Satu hal yang pemuda itu yakini adalah sebuah kematian pada diri bersamaan penyesalan besar ketika tidak mampu mengembalikan kesadaran Ji Chong di saat-saat terakhir.

"Aku merindukan Tuanku, sangat!" Pelukan di tubuh kian erat bersama penyatuan dua bibir yang memagut secara kasar.

"Kendalikan hormonmu, Ji Chong! Masih ada orang tua yang merindukan kasih sayang di sini!" Pagutan terlepas seiring tawa Ji Chong yang memenuhi seluruh kamar. Bai Li menarik pemuda itu kian dekat hingga wajah keduanya hampir menempel. Nenek Ji memberi perintah pada yang lainnya untuk keluar, memberikan kesempatan pada dua sejoli yang tengah menyelami kerinduan bersamaan deretan pertanyaan di kepala.

"Jangan banyak bertanya, Tuan Bai! Aku sangat merindukanmu! Jadi, jangan merusak mood dengan pertanyaan yang tidak perlu!" Bibir keduanya kembali menyatu. Mungkin, beberapa pertanyaan harus Bai Li tahan di kepala. Setidaknya, biarkan kedua pemuda itu menyalurkan rasa rindu yang masih belum mampu dicerna dengan benar oleh sang pangeran.

"Tunggu, Ji Chong! Kamu masih bisa mengingatku?"

TBC.

The Castle (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang