"Gue denger-denger kalau minggu depan kita bakalan ke Bandung." Raja melemparkan bola basketnya kearah Langit. Langit mengaduh pelan karena bola tersebut mengenai perutnya.
"Kalau lempar bola itu kira-kira dong! Kena perut gue sakit!" Langit melemparkan bola basket itu kesembarang arah.
Gue menopang dagu males mendengarkan keributan mereka. Berhubung sekarang gue enggak ada kelas, gue cuma bisa nongkrong dipinggir lapang basket. Kebetulan juga dekat dengan tongkrongan Jingga.
Matahari terik membuat beberapa mahasiswa/i berteduh dibawah pohon. Langit menepuk pundak gue pelan. Gue bergumam tidak niat.
"Kenapa lo Van?"
"Halah paling mikirin Jingga," Raja mencibir males. Gue mendongak menatap raja sinis. Emang ini orang paling gak enggak suka kalau udah bahas Jingga. Gue sendiri bingung kenapa.
"Jadi lo semua bakalan ikut ke Bandung?" Gue bertanya.
Mereka berdua mengangguk serempak, "Pasti dong, lumayan kan buat cuci mata liat cewek-cewek bening di Bandung."
Gue ketawa pelan, "Kira-kira Jingga ikut enggak ya?"
"Mana gue tau," Raja menjawab cepat, "Tapi menurut gue sih ikut, soalnya ini wajib."
"Pastinya, lagian Jingga kan lumayan rajin anaknya." Langit melirik gue serius, cowok itu meneguk minuman soda nya, "Lagian panitianya bang Dean, Abang lo sendiri."
Gue tersedak makanan gue sendiri. Lah kok jadi bang Dean panitianya? Parahnya itu orang enggak kasih tau gue lagi. Abang laknat emang.
"Tau dari mana lo bang Dean panitianya?" Gue menggangkatkan sebelah alis heran.
"Makannya kalau kuliah itu jangan bolos mulu!" Langit mendelik gemas.
Gue membuang napas pelan, "Gue enggak bolos, cuma cari udara segar. Bosen gue dikelas mulu."
"Serah lo dah Van. Pusing gue sama lo." Raja menggelengkan kepala tidak habis pikir.
"Itu kan si Haleth?" Raja menyenggol bahu gue. Gue mengikuti arahan Raja.
Benar. Itu Haleth, dia adalah sahabat Jingga. Perempuan yang selalu bersama Jingga.
Haleth berjalan mau melewati kita. Kayanya dia lagi mau keperpustakan. Wajar aja sih, orang Haleth itu anak yang sangat pintar dalam bidang akademik. Tumben itu anak enggak bareng Jingga. Biasanya nempel terus.
"Woy! Sini lo!" teriak gue saat Haleth hendak memutar balikan badan saat melihat gue, Langit dan Raja meliriknya terus menerus.
Haleth membuang napas pelan. Cewek yang dikuncir dua itu berjalan menghampiri kita.
"Apa?" Haleth menyorot gue sebal.
"Yeh! Biasa aja kali lo liatin gue nya!" Gue nyolot, "Tumben lo enggak bareng bini gue? Kemana tuh bocah?"
Haleth mengerutkan dahinya, "Bini? Emang kamu punya istri?"
"Dasar! Lodingnya enggak ketulungan!" Gue mengeram tak tertahan, "Itu loh ... Jingga, dia kemana? Seharian ini gue enggak liat batang hidungnya."
"Dia lagi libur hari ini, ada urusan keluarga. " Haleth menyodorkan selembar kertas terlipat, "Kalau kamu enggak percaya ini suratnya."
Gue melirik sekilas sepotong surat itu lalu mengambilnya. Gue tersenyum sekilas di sana terdapat nama Jingga Sherin.
"Kira-kira lo tau gak Jingga ikut ke Bandung minggu depan?" tanya gue.
"Ikut Ervan." Dia menunduk.
"Anak baik, sana lo pergi. Makasih btw." Gue menggangkatkan surat tersebut lalu pergi.
Haleth mengangguk.
***
"Bun, Ervan minggu depan tour ke Bandung," Gue merebahkan diri di samping Bunda, "Bang Dean juga ikut, dia panitianya."
"Gak usah deket-deket sama bini gue minggir lo!" Gue terkejut mendengar teriakan dari atas. Ternyata Bokap gue. Itu mah udah biasa. Lagian pelit banget sama anak sendiri.
"Apaan sih Pah! Bikin kaget aja." Gue mendengus malas. Bokap tertawa pelan. Dia ikut duduk di sebelah gue.
"Kenapa kamu?" Bokap menatap gue heran.
"Minggu depan tour," Gue memberitahu.
"Udah tau." Jawabnya singkat.
"Tadi kan tanya, Ervan jawab malah kaya gitu." Gue mengeram kesal.
"Bang Dean enggak bareng kamu pulangnya?" Bunda menatap gue heran. Gue menggelengkan kepala pelan. "Kamu tau kemana bang Dean?"
"Organisasi Bund." Bokap diam menyorot gue terus menerus. Gue yang ditatap kaya gitu jadi emosi seketika. "Kenapa?"
"Kamu gak ada niatan gitu buat ikut Organisasi kaya Abang kamu Van?"
Gue menggeleng ogah.
"Emang kagak ada niat lo mah." Bokap mencibir.
"Lah kan ini--"
"Tour ke Bandung lo ikut Van?" Ucapan gue terpotong pada saat bang Dean datang menghampiri kita dengan tas dipunggungnya.
Gue menggangkatkan bahu tidak tau, " Gak tau, nunggu jawaban dari Bunda."
"Bareng kamu kan?" Bang Dean mengangguk saat bunda bertanya, "Bunda boleh aja asal bareng Abang kamu Bunda percaya."
Gue menghela napas pelan. Jawaban yang sudah gue duga.
"Papa?" Bang Dean menyorot bokap penuh tanya.
"Boleh, asal ada syaratnya."
"Papa dosen loh di kampus kita ... Masa pake syarat-syarat segala."
Bokap mendesis sinis, "Oh jadi gak mau?"
"Eh? Eh?" Gue panik seketika, "Boleh dong, apa sih yang enggak buat Papa tercinta."
"Idih." Bang Dean melirik gue ngeri.
"Yaelah biasa aja kali bang." Gue nyengir.
"Malah debat. Jadi gak ngikutin syaratnya?" Bokap bertanya.
Kami berdua mengangguk.
Bokap mengambil segulunggan kertas yang ditali pita. Apaan coba itu?
Setelah mengambilnya bokap menyerahkan kearah kami berdua. Dengan penuh penasaran, kami berdua membukanya secepat mungkin. Di sana terdapat beberapa peraturan.
Hingga peraturan pertama sampai terakhir :
1. Dean dilarang meninggalkan Ervan dalam seharian penuh.
2. Telepon Papa atau Bunda kalau sudah sampai ataupun hal bahaya.
3. Dilarang pacaran apalagi berduaan dalam tenda.
4. Ervan harus mengikuti semua perkataan bang Dean tanpa terkecuali.
5. Paman Bisma (Dosen Bisma) akan mengawasi 24 jam perbuatan kalian. Jadi jangan macem-macem.
Seketika gue sama bang Dean melongo melihat perjanjian tersebut.
Woy! Gue mau tur ke Bandung bukan keluar planet anjir.
Astaga! Bokap gue emang ya ngadi-ngadi banget.
"Gimana deal?" Bokap mengulurkan tangannya kearah bang Dean. Sedangkan bang Dean masih loding.
Tanpa basa-basi gue menarik paksa tangan bang Dean dan diulurkan kearah Bokap, "Deal!"
Bang Dean ternganga-nganga. Gue nyengir lagi.
"Stres lo Van." Bang Dean menggelengkan kepalanya.
***