Malam berlalu dengan begitu cepat. Hingga tidak terasa sekarang sudah menunjukkan pukul 09:32.
Wajar lah ya, mereka baru pulang dari perjalanan yang cukup jauh dan tentu saja menguras energi. Ditambah lagi dengan Ervan yang selalu mengganggunya.
Jingga merenggangkan otot-otot nya, terasa sedikit sakit. Otaknya berkerja cepat saat dirinya lupa kalau ia sedang berada di apartemen Ervan.
Jingga menghembuskan nafas gusar. Entah kapan Ervan akan memulangkan ke kosan. Ya walaupun disini fasilitasnya sangat nyaman tapi jadi kurang nyaman karena ada Ervan!
Mentang-mentang menang taruhan jadi se-enaknya sendiri!
Jingga bangkit dari kasurnya lantas membersihkan kamarnya, kebiasaan. Pasalnya dirinya selalu bersikap sebaik mungkin untuk menafaatkan waktu.
Kakinya berjalan keluar. Melihat apa ada orang di luar? Firasatnya sih Ervan belum bangun, dengan langkah gontai ia membuka pintu dan duduk di depan televisi.
Mengumpulkan nyawa. Ilang semua nyawanya.
"Rin?"
Suara yang berhasil membuyarkan lamunannya. Dia mendongak, tidak lain dan tidak bukan adalah Baginda Ervan.
"Hm?" Jingga bergumam tidak niat.
Ervan juga baru bangun dia mendekati cewek itu. Ternyata sama-sama kebo. "Lo bisa masak?"
Pertanyaan macam apa itu?! Jelas Jingga mahir dalam memasak. Neneknya dulu sering mengajarkannya, kata neneknya jadi perempuan itu harus pandai memasak, walaupun dulu Jingga belajarnya sambil ogah-ogahan tapi ternyata bener ilmu masaknya sekarang sangat membantu ketika Jingga merantau.
Jingga mengut-mangut bertanda mengiyakan.
"Coba masakin gue sarapan dong,"
Tanpa ragu Jingga bangkit dari sofa. Terkesan jadi babu sih, tapi gak pa-pa.
"Mau di masakin apa?" Jingga bertanya dengan nada yang seperti ngajak ribut, "berhubungan gue baik sama lo, kapan lagi gue kaya gini kan?"
Senyuman Ervan mengembang, alisnya terangkat naik, "apa aja boleh deh, selagi yang masak elo, gue mah ayo aja."
Jingga terperangah, tampang Ervan emang benar-benar patut untuk di puja. Padahal dia sering bertemu dengannya tapi kenapa baru menyadarinya sekarang? Bukan berarti suka ya. Inget itu.
Jingga berusaha mendatarkan mukanya, gila saja kalau nanti Ervan engeuh mau di taro mana harga dirinya.
"Mau masak apaan sih emangnya?" Saat Jingga mengeluarkan bahan-bahan makanan di lemari pendinginnya membuat Ervan semakin penasaran, "jawab dong elah, kaya ngomong sama patung gue!"
Jingga yang terusik membalikkan wajahnya menghadap cowok cerewet itu, "diem deh jang-"
"Evan!" Seseorang berteriak nyaring di dalam ruangan, dan itu suara perempuan, "kamu dimana Evan?"
Cukup sering dia mendengar teriakan itu Ervan dengan cepat menyahuti, "dapur!"
Datanglah seorang cewek dengan pakaian yang sangat nyentrik berdiri mematung disana. Tubuhnya yang mungil berbalut rok pendek berwarna pink dan baju crop top bertulisan Barbie.
Sang empu berlari kecil dan mengecup pipi Ervan singkat. Sontak perilaku itu membuat Jingga melongo.
"Elena!" Tegur Ervan, "kan gue udah bilang jangan dibiasain! Kita itu udah gede gak boleh main cium-cium kaya waktu kita TK, udah beda zaman!"
Gadis yang bernama Elena itu memundurkan dirinya, tersenyum lugu, "ya maaf, kebablasan." Dia meliriknya Jingga dengan tampang kebingungan, "kamu siapa?"
Salah tingkah karena terlalu asik memperhatikan kedua orang itu Jingga sedikit gugup, takut dirinya dianggap wanita gak bener, "gue, gue -"
"Jingga, temen kampus gue," dengan gesit Ervan membantunya, paham yang di rasakan Jingga, "mau apa kesini? Bukannya ini jadwal Lo les ya?"
"Libur, " Elena menggeleng, matanya berbinar-binar melihat banyak sekali bahan masakan di sana. Dirinya belum pernah memegang bahan-bahan aneh itu. Kata Papi-nya kotor. "Lagi mau masak ya?"
"Engga mau tawuran," timpal Ervan asal, membuat Jingga tertawa pelan, "anak Papi gak boleh main ke dapur nanti kotor, tunggu di ruang televisi aja ya."
"Emangnya kenapa? Kalian mau berdua-duaan disini?" Tak kalah songong, Elena melipatkan tangannya di depan dada, "lagian aku bisa masak kok!"
Gemas karena tingkat bocah rese ini. Ervan menyeretnya ke ruang tamu. Bisa-bisa hancur rencana pdkt-an Ervan!
"Udah Lo diem aja ya duduk manis di sini," Ervan mendudukkan Elena, "jangan ganggu awas ya Lo!"
Elena menghentakkan kakinya ke lantai, padahal dia jauh-jauh dari rumahnya ingin bermain, tapi malah di suruh diam.
Langkah Ervan kembali ke dapur. Berdiri di samping Jingga. "Dia Elena Kardias, temen TK gue dulu, cuma temen doang Lo ya gak lebih." Ervan bersandar di pintu kulkas, mencoba mengklarifikasi, padahal Jingga juga tidak butuh itu, "emang orangnya rada-rada kekanakan, dia juga manja banget."
Jingga hanya terdiam seakan tidak mendengarkan tapi dia menyimak dengan baik.
"Kirain pacar Lo," sahutnya, "padahal gue tadi udah senewen takut di gampar."
"Cewek kaya dia mana bisa kaya gitu?" Ervan tertawa renyah, mengingat seberapa slay-nya anak itu. "Lo yang di gampar, dia yang nangis gara-gara tangannya kesakitan abis nampar."
Jingga yang tadinya tidak terlalu peduli menjadi tertarik atas celotehan Ervan barusan. "Emang semanja itu ya?"
Di balas dengan gumaman.
Selsai memasak, Ervan dan Jingga menata makanan itu. Elena yang tadinya asik bermain berfoto selfi menghentikannya. Ikut serta duduk di kursi meja makan.
"Ayo makan," Jingga mencoba seramah mungkin, "semoga suka makanan gue."
Elena menerka-nerka makanan itu. Terbesit di otaknya dia belum pernah melihat makanan seperti itu.
"Itu tempe namanya," Ervan mengambil satu untuk dirinya sendiri, "Lo gak tau kan?"
Pernyataan itu membuat Jingga kembali melongo. Ternyata ada orang yang hidup di negara ini tidak tau yang namanya tempe?!
Oh my goodness!
Ini dia yang terlalu kere apa Elena yang terlalu sultan?
Gelengan kepala Elena sudah cukup membuat Jingga mengerti. "Aku coba ya~"
Jingga menyoroti Elena takut-takut. Dia takut masakannya tidak enak, kalau yang bilang enak atau tidak di mulut Ervan dia gak perduli!
"Gimana?" Rasa penasaran Jingga muncul, "gak enak ya?"
Interaksi Elena dan Jingga cukup membuat Ervan sedikit kaget. Dia kira Elena bakalan tantrum saat tau dirinya bawa cewek lain. Walaupun dia dan Elena tidak mempunyai hubungan apa-apa tetap saja dirinya agak watir.
"Enak kok!" Elena mengacungkan jempolnya, "walaupun agak asin sih."
"Itu Ervan yang ngasih bumbu perasanya bukan gue," Jingga melakukan pembenaran, "salahin aja Ervan!"
"Enak aja Lo!" Tidak terima sudutkan, "itu gue masukin sesuai instruksi Lo ye!"
Jingga cengengesan, bener juga.
"Suapin dong," Piring yang tadinya berada dihadapan Elena berubah posisi menjadi dihadapan Ervan, "aaaa~~"
"Gak!" Penolakan yang mutlak, "makanan sendiri!"
"Pliss ..." Elena menyatukan kedua tangannya, memohon agar Ervan mau menyuapinya.
"Ogah!" Lagi-lagi penolakan itu keluar dari mulut cowok itu.
Menik mata gadis manja Elena mulai berair, siap akan manangis dengan kencang. Sebelum itu terjadi Ervan menyuapinya dengan cepat.
Gawat bisa heboh satu gedung apartemen gara-gara tangisan bocah ingusan ini!
Perlakuan itu membuat Jingga tertawa terbahak-bahak.
***