03 : Rencana

15K 2.1K 410
                                    

Hingga hari dimana gue tur ke Bandung pun tiba. Sekarang sekitar pukul delapan pagi. Dari kampus sih kabarnya jam sepuluh berangkat. Dan bodohnya gue sekarang masih santai dengan segelas susu putih yang dibuatkan Bunda barusan.

"Masih santai lo?" Bang Dean duduk didepan gue sambil berdecak malas.

Gue mengangguk, "Yaelah baru juga jam delapan, rajin-rajin amat lo ke kampus."

Bang Dean menggelengkan kepalanya tidak habis pikir, "Jingga satu bus sama lo."

Sontak gue menyemburkan minuman gue kelantai.

"Biasa aja gak usah lebay." Bang Dean menatap gue malas.

Gue nyengir.

"Emang iya?" Bang Dean mengangguk sebagai jawaban, "tau dari mana lo?"

"Gue kan panitia di sana, ya jelas lah gue tau. Makannya lo kalau suka sama orang usaha napa sih?" Jawabnya jengkel.

"Percaya gak lo kalau Jingga besok ada ditangan gue?" Gue tersenyum iblis.

Bang Dean mengangkatkan sebelah alisnya, "Jangan macem-macem lo, males gue kalau nanti lo buat onar di sana."

"Kita liat cara mainnya." Gue tertawa lalu pergi meninggalkan bang Dean sendirian di sana.

***

"Gimana semuanya aman?" Gue memperhatikan Raja dan Langit yang sedang mengobrak-abrik tas.

"Sinting lo!" Langit bahkan menggelengkan kepalanya melihat tingkah gue, "Dan bodohnya mau aja lagi gue disuruh-suruh sama lo."

"Ibadah bro."

"Lagian gue heran sama Van, lo sebenernya cinta gak sih sama Jingga?" Raja mendelik sinis. Gue mengerutkan dahi. "Maksudnya ... Ah, terserah lo dah."

"Kenapa lo dah?" Gue menatap Raja terheran-heran, "Berhubung Jingga satu bus sama gue, jadi lo berdua jangan ganggu gue waktu pedekatean sama dia."

"Halah, kaya Jingga mau aja sama lo." Raja mencibir, "Paling saat liat muka lo dia kabur noh ke dosen Bisma."

"Tenang, dosen Bisma udah gue boking."

"Pale lu boking!"

"HEH KALIAN BERTIGA NGAPAIN MASIH DI SANA?! AYO MASUK MAU KETINGGALAN BUS?!"

Seseorang berteriak keras di sebrang sana. Ternyata itu dosen Bisma. Seketika kita bertiga berlari menuju bus.

"Dasar anaknya si Arkan! Rese banget!" Dosen Bisma menimpuk kepala gue pake kertas absen, "Kalau bukan bibitnya Arkan gue pites lo!"

"Sakit Om." Gue mengaduh pelan.

"Om-Om! Paman Ervan!" Dosen Bisma melotot.

"Ya Allah galak amat sih Om?" Gue menatap dosen Bisma malas.

"Ervan-!"

"Bercanda paman." Gue tersenyum manis.

"Darah tinggi gue lama-lama, ayo masuk sana!" Dosen Bisma menujukan arah pintu.

Tanpa menjawab apapun gue bergegas masuk. Lagian debat sama dosen Bisma enggak ada kelarnya. Suka heran gue juga.

Didalam perjalanan gue dari tadi mikir gimana caranya gue biar dapet perhatian Jingga. Gila, hampir gila gue.

"Yaelah enggak usah diliatin mulu napa?" Langit menyorot gue memalas, "Enggak bakalan ilang juga tuh anak."

Gue mengalihkan pandangan saat Jingga melirik gue balik.

Aneh rasanya.

"Berapa jam lagi sih ini nyampenya? Perasaan dari tadi enggak nyampe-nyampe." Keluh gue. Tapi emang bener. Ini lama banget nyampenya.

"Lima belas menit lagi." Raja menyahut dari belakang sambil membawa beberapa cemilan, "mau lo pada?"

"Dapat dari mana itu Chiki?" Langit mengambil satu buah Chiki yang berwarna biru langit.

"Malak." Ujar Raja santai.

"Haram itu Chiki." Sahut gue sambil nyengir dan mengambil dua Chiki ditangan Raja.

"Haram, haram, juga lo ambil!" Raja mentoyor kepala gue pelan.

"Rejeki enggak boleh ditolak kan?"

"Serah lo dah."

***

"Atas nama nyonya Jingga?" Gue tersenyum lebar.

Ya, sekarang gue sudah sampai di Bandung. Lebih tempatnya di kebun teh. Suasananya lumayan lah buat~

"Lo, lagi, lo, lagi." Jingga membuang napas berat, "mau apa lo kesini?"

"Galak banget sih lo jadi cewek?" Gue memandang Jingga sinis. Bukan Jingga namanya kalau gue sinisin, dia enggak sinisin gue balik.

"Lo ngajak ribut liatin gue kaya gitu?" Mata Jingga melotot.

"Enggak, gue cuma mau kasih lo tantangan." Gue menyeringai.

Berhubung gue tau Jingga orangnya enggak mau kalah, ditambah lagi dia orangnya suka akan tantangan seperti ini.

"Apaan?" Tanyanya setengah membentak.

So?

"Tantangannya gampang. Lo cuma harus menang lari dari gue. Yang kalah dapat hukuman dan harus menuruti perintah si pemenang." Gue mengulurkan tangan kearahnya, "Gimana deal?"

"Dari mana sampai mana?" Dia menatap muka gue datar.

"Deal dulu lah, baru gue kasih tau."

"Deal." Dia menepuk tangan gue setipis kapas.

Huhu ... Ini kan yang dinamakan perjuangan? Sama aja kan?

Bermain dengan otak terkadang menyenangkan.

"Besok." Gue menyorot dia tajam, "Besok gue kasih tahu tempatnya."

"Jam satu siang gue chating lo."

"Hm." Jingga menyahut dengan tidak niat.

Kalem udah kebal gue mah.

***

"Gimana? Lancar?"

Gue mengangguk mantap, "Sesuai yang gue bilang kemarin."

"Salut gue sama lo Van."

***

Dua Sejoli Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang