Bagian 3

553 74 4
                                    

****

Setelah mendekam lama dibalkon, Vito memutuskan turun kebawah. Lebih tepatnya menuju meja makan. Perutnya sedari tadi meronta minta diisi. Berharap ada makanan yang bisa mengganjal perutnya yang lapar.

"Kosong?"

Saat Vito membuka tudung makanan, tak ada satupun isi di dalamnya. Bahkan buah-buahan yang selalu Ayah stok, habis tak tersisa. Itu artinya, Ayah belum belanja bulanan. Karena biasanya Ayah selalu menyempatkan diri membeli buah dan cemilan bila sempat. Meskipun sebagia besar ada campur tangan Bisa Mun yang memenuhi keperluan dapur dan makanan. Selain, segala keperluan Vino, Vito serta Ayah harus mereka lakukan sendiri. Bunda yang mengajarkan mereka untuk tidak bergantung pada asisten rumah tangga.

Dengan malas, Vito berjalan menuju dapur. Niatnya ingin memasak mie instan saja. Daripada harus keluar dan menunggu tukang bakso yang entah kapan lewat.

Sebelum memasak mie, Vito ingin meminum air dulu. Ia merasa haus walau sudah meminum sekaleng soda. Tangannya membuka pintu kulkas. Terlihat beberapa minuman sehat seperti susu dan segala jenis jus buah. Ayah juga tak lupa membeli minuman sehat ketika berbelanja. Tapi yang Vito ambil lagi-lagi sekaleng soda. Ia sudah candu dengan minuman itu.

Setelah meneguk setengah kaleng, Vito mulai mengambil mie instan di rak atas kompor. Tanpa melihat kemasannya, Vito langsung membukanya. Tapi sebelum plastik mie instan itu terbuka, suara seseorang memanggil namanya membuatnya tersentak. Langsung saja ia menoleh kebelakang dan menemukan Vino berdiri di ambang pintu.

"Vito?"

"Kak Vino udah pulang?" Vino mengangguk sebagai jawaban. Kemudian berjalan kearahnya.

"Lagi apa?" tanya Vino sambil mencuci tangannya di wastafel. Kebiasaan yang diturunkan Bunda sehabis pulang dari luar, entah itu hanya pergi kewarung sebelah atau kemanapun selalu mencuci tangan setelahnya.

Selesai mencuci tangan, Vino mendekati Vito. Mengusap rambut Vito juga menjadi kebiasaan Vino setelah seharian tidak bertemu.

"Mau masak mie" Vito memperlihatkan mie instan yang akan dimasaknya.

"Mie nya besok aja. Kakak beli makan diluar tadi. Tuh di meja makan, sana gih dimakan sama ayah, keburu dingin. Kakak kekamar dulu ya. Bilang sama Ayah, kakak nggak ikut makan malem". Tersenyum singkat, sekali lagi Vino mengusap rambut Vito lalu berlalu dari hadapannya.

Kening Vito mengkerut. Merasa sedikit ganjal dengan sikap Vino. Ada yang berbeda dari bagaimana senyum dan tatapan mata Vino. Kakaknya itu juga terlihat sedikit pucat. Dan, entah perasaan apa ini tapi Vito mulai mengkhawatirkan Vino.

Akhir-akhir ini Vino membuatnya curiga. Dari bagaimana ia bersikap lebih protektif padanya. Wajah pucat yang sering terlihat. Tak jarang Vito juga melihat kakaknya sering melamun di balkon saat senja. Kebetulan balkon mereka berseberangan. Dan walaupun Vito juga sering melamun sambil memikirkan sesuatu, tetapi untuk Vino, ia tidak bisa menebak apapun. Segala sesuatu tentang Vino adalah misteri. Terlalu sulit untuk ia temukan sesuatu. Mengingat hubungan mereka tidak terlalu dekat seperti dulu.

Terkadang, Vito menyesali itu. Semua terasa berbeda dari sebelum Bunda pergi. Hubungan ini tak seerat dulu. Dan hangatnya persaudaraan mereka tidak terasa lagi seperti dulu. Lalu ia bertanya, siapa yang pantas disalahkan. Siapa yang harus memulai dulu pengakuan. Vito juga tak pernah berharap hubungan persaudaraan nya dengan Vino bisa sedingin ini.

" Vit,"

Panggilan dari Vino membuatnya tersadar dari lamunannya. Buru-buru ia menoleh. Ternyata kakaknya belum benar-benar pergi kekamarnya. Vino sedang menginting dipintu dapur.

Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang