Hidup itu harus disyukuri. Setiap hembusan nafas kita adalah nikmat yang berharga. Kita tidak tau kapan Tuhan akan memanggil kita. Dan saat dokter memvonis Vino Multiple Myeloma, dia sadar, hidupnya tak akan lama. Bukan bermaksud pesimis. Tetapi bila diliat dari presensi kesembuhannya rendah. Bukan tak mungkin kematian adalah hal yang pasti. Banyak kasus kematian karena penyakit itu. Dan mungkin Vino menjadi salah satunya.
Vino bukan tak ingin berjuang. Bukan tak ingin melawan takdir semesta untuk memberi waktu lebih panjang. Hanya saja ia rasa percuma kalau pada akhirnya akan pergi juga. Tetapi saat tangan besar Ayah memegangnya, dan saat sorot mata penuh luka itu menatapnya, Vito tau ia harus berjuang. Setidaknya jika bukan untuk dirinya, ada Ayah dan Vito sebagai alasan.
Dan saat itu, Vino meyakinkan diri untuk berjuang dan bertahan selama mungkin. Bahwa ia bisa melewati semua ini dan kembali hidup normal.
Tetapi memang semua tak mudah dikatakan. Selalu ada proses dan rintangan yang perlu dijalankan. Dan seminggu setelah vonis itu ia dengar adalah bagian terburuk. Vino harus terbiasa dengan rasa sakit saat penyakit itu menyerangnya. Tanpa permisi dan tak tau malu menguasai tubuhnya. Jangan lupa obat-obatan yang harus ia minum untuk memperpanjang hidupnya.
Selama itu pula, Vito merasa sikap Ayah lebih protektif padanya. Banyak larangan dan perintah yang mengikat Vino. Itu membuatnya merasa kasian pada Vito. Anak itu masih belum tau apa-apa. Hanya saja, entah mengapa Vino merasa adiknya semakin pendiam.
Hari ini adalah jadwal kemoterapi pertama Vino. Ayah ikut menemani disampingnya. Menggenggam tangan Vino agar anak sulungnya dapat menyalurkan rasa sakitnya. Ini adalah hal terberat bagi seorang Ayah ketika melihat anaknya sakit.
"Anak ayah hebat," bisik Ayah tepat setelah Vino menutup matanya. Menyerah dengan rasa sakit yang Vino rasakan selama kemo.
Saat Vino bangun dari pingsannya, ia menemukan Ayah tertidur disampingnya. Masih menggenggam erat tangannya.
Walau Vino yang merasa sakitnya kemoterapi, tapi Vino merasa Ayah juga merasakannya. Sebelum ia pingsan tadi, Vino sempat melihat Ayah menitihkan air matanya. Itu membuat hatinya sakit. Ia sudah berusaha agar tidak menunjukan sisi lemahnya pada Ayah. Tapi Vino lupa bahwa Ayah adalah orang yang paling mengenal Vino.
"Ayah,"
Ayah langsung bangun begitu merasakan tangan yang ia genggam bergerak. Hal pertama yang ia tangkap adalah bagaimana anak didepannya itu tersenyum. Seolah lupa bagaimana dia menahan sakit beberapa saat lalu. Sebelum akhirnya menyerah bersama air mata yang mengalir.
"Vino udah bangun?"
Tangan besar Ayah mengusap rambut Vino. Sesuatu yang ia suka belakang ini. Karna usapan tangan Ayah adalah pengganti usapan Bunda yang ia rindukan.
Vino mengangguk sebagai jawaban. "Mau pulang"
Ayah mengernyitkan dahinya sebentar sebelum tersenyum lembut. "Emang udah baikan?"
Sekali lagi Vino mengangguk. Sejujurnya Vino masih merasa sangat lemas dan Ayah tau itu. Tapi emang dasar sifat Vino itu keras kepala. Mau tidak mau ayah hanya menurut. Walau sebenarnya ada alasan mengapa Vino ingin pulang cepat disaat kondisi tubuhnya belum pulih.
Vito. Iya, Vino sedang mengkhawatirkan anak itu. Vino takut Vito akan curiga bila mereka belum pulang kerumah malam ini. Karna mereka tak memberitau Vito tadi sebelum berangkat sekolah.
.
.
.
."Vino tidur lagi aja, nanti ayah bangunin kalau udah sampai"
Vino menggeleng. Pandangannya tak lepas dari pemandangan diluar kaca. Ia juga tidak mengantuk meski tubuhnya meminta banyak istirahat. Entah sejak kapan melihat pemandangan malam membuatnya candu. Rasanya menyenangkan melihat gedung-gedung dan bangunan dengan warna yang berbeda. Dengan beberapa orang yang masih berada diluar sana. Menikmati suasana malam dengan gemerlapnya. Melihat itu Vino merasa hidup. Masih bersama mereka ditempat yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
Teen FictionVito merasa hidupnya kosong setelah sang bunda pergi. Vito butuh kasih sayang. Terutama dari Ayah sebagai orang tua satu-satunya. Vito iri ketika Ayah terkadang lebih memperhatikan Vino, kakaknya. Meski begitu, Vito tidak membenci Vino. Ia sangat m...