Bagian 6

670 73 10
                                    

****

"Tumben udah bangun"

Vino mendekati Vito diruang makan. Anak itu sedang asik melahap roti dan teh melati dengan fokus pada ponselnya. Sepertinya Vito sudah tertarik pada teh. Itu artinya Vino berhasil membuat Vito tidak lagi meminum soda.

"Laper" jawab Vito singkat. Memasukan potongan roti terakhir ke mulutnya setelah itu menyeruput setengah isi cangkir.

Vino duduk dibangku samping Vito. Mengambil sepotong roti lalu mengoleskan selai strawaberry diatasnya kemudian melahapnya. Diam-diam mengamati Vito dengan senyum penuh arti.

Ada bayangan masa lalu semacam kaset pemutar waktu yang menampilkan kisah kanak-kanak mereka dulu. Saat dimana tawa bahagian adalah hal yang mudah. Saat ketika tangis tak begitu berarti. Semua bagaikan dongeng kanak-kanak yang berakhir menyenangkan. Vino masih ingat dengan jelas saat pertama kali Vito memanggilnya kakak.

"Mau kemana?" tanya Vito begitu melirik sekilas pakaian Vino yang tampak rapih.

Buru-buru Vino menuntaskan lamunannya. Berdehem singkat sebelum akhirnya menyahuti pertanyaan Vito. "Kerumah Fero, ngambil charger laptop gue yang ketinggalan"

Vito mendengus, "Kebiasaan".

Kemudian fokus Vino beralih pada getaran pada ponselnya. Sekilas melirik nama pengirim kemudian membukanya. Itu Ayah. Kembali mengirim pesan singkat yang dianggap lalu bagi Vino. Tak berniat membalas, Vino kembali memasukan ponselnya kedalam saku jaket.

Setelah menghabiskan sarapan, juga meminum teh milik Vito, Vino berjalan menuju rak sepatu. Memakai sepatunya sembari mengingat pertengkaran dengan Ayah beberapa hari lalu. Yang masih meninggalkan bekas rasa sedih dan takut.

"Gue pergi dulu ya, jangan kangen"

Vito berdecih, "Ngapain kangen, ntar juga balik lagi"

Vino hanya tersenyum, tak menanggapi. Ada perasaan aneh yang sejak kemarin mengusiknya namun Vino abaikan. Ia hanya berharap semoga semua akan baik-baik saja.

Setelah memakai sepatunya, Vino lantas berjalan menuju pintu rumah. Sebelum langkahnya melewati pintu, Vino sempat berbalik untuk menatap Vito lagi.

"Dadah Vito, gue pergi dulu ya. Inget, gue sayang sama lo"

Setelah mengatakan itu, Vino lantas bergegas pergi. Vito yang masih sibuk dengan sarapannya hanya melambaikan tangan. Agak aneh mendengar kata-kata Vino, tapi memang akhir-akhir ini Vino sering berbicara ngawur jadi ia maklumi saja. Meski begitu, Vito tetap merasa tak tenang.

.
.
.
.

Sampai pukul 4 sore, Vino belum juga pulang. Vito sudah mondar-mandir dikamar. Perasaannya sejak tadi tak enak. Kakaknya tidak mengabarinya sejak pergi pagi tadi. Jika memang Vino berniat menginap dirumah Fero -seperti yang sering Vino lakukan belakangan minggu terakhir, seharusnya Vino mengabarinya. Vito jadi tidak harus mengkhawatirkan Vino. Vito sudah terlihat seperti ibu-ibu yang menunggu anak gadisnya pulang.

Ponsel pun tak lepas dari genggamannya. Bolak-balik mengecek pesan dan panggilan yang tak menampilkan apa-apa. Tak hentinya Vito menghentakan kaki, kebiasaan saat dirinya sedang gusar.

Seharusnya Vito tak perlu khawatir. Vino bukan remaja lagi, kini ia sudah dewasa dengan pemikiran yang matang. Tidak perlu diawasi kemana dan dengan siapa ia berada. Vito cukup yakin dengan Vino bisa menjaga dirinya sendiri. Hanya saja, emosi Vito yang tidak stabil belakangan ini membuatnya sering berfikir negatif. Akibatnya Vito sering merasa khawatir. Apalagi setelah insiden mimisan Vino kemari. Vito tidak bisa tidak khawatir barang sedetikpun.

Secret Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang