Perihal rasa, bukan lainnya;

6.8K 524 6
                                    

Langit cerah sudah menampakkan dirinya, setelah seharian rela di guyur hujan yang seakan membabi buta. Melumpuhkan ibukota dari berbagai aktifitas di luar rumah.

Meskipun demikian, matahari seakan enggan mengalah dengan awan hitam. Tetap memberi kehangatan pada semestanya walaupun pergantian shift dengan si bulan akan berlangsung dalam beberapa saat lagi.

Jalanan itu basah, burung yang terbang ikut berkicauan, jangan lupakan pepohonan yang tampak lebih hijau setelah di jatuhi air lebat oleh langit.

Kali ini gantian tugas si jam dinding yang menunjukkan pukul lima sore. Menandakan bahwa makhluk Tuhan yang berwujud manusia harus segera bergegas jika tidak ingin awan hitam kembali datang.

Lain dengan jalan raya, maka lain juga dengan para mahluk bernyawa yang berada di dalam ruangan.

Di sana, di salah satu tempat tertenang kedua setelah Gereja, terdapat dua orang pelajar menengah atas. Seakan tidak terganggu oleh hiruk piruk keadaan luar, mereka menghabiskan sisa kehangatan matahari dalam hening. Melakukan aktifitas masing-masing namun masih saling berdamping.

"Kamu nggak capek berdiri terus kayak gitu?"

Ucap pria bersurai cokelat pekat pada pria satunya lagi yang memiliki bola mata hitam legam.

Yang ditanya hanya menggelengkan kepala, seakan enggan untuk sekedar menjawab.

Maka di taruhlah salah satu benda yang sedari tadi menjadi fokus si pria bersurai cokelat, lalu beralih menatap pria yang memiliki nametag Lee Jeno di dada sebelah kirinya.

"Jadi yang kamu omongin kemarin di depan gerbang itu, bener ya?"

Matanya memicing, masih tetap setia memandangi raut muka Lee Jeno yang juga belum berubah.

Huang Renjun. Begitu yang nametag pria itu bilang. Pria kelahiran duapuluh tiga Maret, delapan belas tahun yang lalu.

"Apa?"

Lee Jeno melipat kedua tangannya di depan dada, tatapannya juga tidak kalah tajam dari Renjun, pria mungil yang memiliki tinggi hanya sebatas telinganya saja.

"Kalo kamu mau ngelakuin pendekatan sama aku?"

"Emangnya kemarin kurang jelas?"

Lee Jeno berjalan mendekat, dengan sedikit menunduk agar lebih leluasa memandang wajah pria mungil yang akhir-akhir ini selalu memenuhi ruang kepalanya.

"Enggak sih, aku kira kemarin itu kamu cuma lagi apes aja dapet dare dari Jaemin."

Bibirnya bergerak, melengkung ke atas walaupun hanya sedikit.

Si pria Huang semakin dibuat bingung oleh tingkah Lee Jeno. Setelah pernyataannya kemarin, juga tindakannya hari ini, Renjun sama sekali tidak bisa berpikir jernih.

Tentang apa dan kenapa Lee Jeno mulai menyentuh hidupnya.

"Atau, jangan bilang kamu cuma jadiin aku taruhan, ya?"

Sebelah alis Lee Jeno menukik, begitu tidak percaya dengan semua kalimat yang Renjun lontarkan.

Tuk.

Satu dorongan pelan mendarat di kening Renjun, Lee Jeno lah pelakunya.

"Kalo ngomong bisa dipikir dulu, nggak?"

"Abisnya kamu aneh banget."

"Bagian mana yang aneh?"

"Ya aku bingung aja. Kenapa aku? Emangnya apa yang menarik dari diri aku sampe seorang Lee Jeno mau ngelakuin pendekatan?"

Lee Jeno mengambil alat lukis yang berada di pelukan Renjun, menaruhnya sembarang agar jarak yang terjadi diantara mereka semakin terkikis. Renjun sampai bisa merasakan Hela napas Jeno di permukaan wajahnya.

"Karena ini masalah rasa, bukan lainnya."

Renjun tersenyum. Senyum yang sangat kentara dipaksakan. Bukan, bukan karena ia tidak senang dengan pengakuan Lee Jeno. Renjun hanya sedang merasa ragu.

Pasalnya, sebelum hari kemarin, hari yang menurut Renjun sangat aneh. Karena dari sisa hari setelah hari Minggu, kenapa di hari Senin? Kenapa harus di hari Senin Lee Jeno mengungkapkan niat ingin mendekatinya?

Juga, atas dasar apa Lee Jeno menyukainya? Untuk sekedar bertukar sapa saja, mereka tidak pernah. Ya meskipun mereka berada di satu sekolah yang sama, hanya saja kelas mereka berbeda. Letaknya juga tidak bisa di bilang dekat. Lantas, bagaimana caranya Lee Jeno bisa menemukan dirinya? Yang lebih parahnya lagi, bagaimana bisa Lee Jeno menyukainya?

"Aku sih nggak ngelarang kamu, ya Jen. Cuma, kalo boleh aku saranin, kamu mending nyerah aja deh. Aku ini nggak ada spesialnya, tau. Keluarga aku juga bukan dari kalangan atas. Untuk bisa sekolah aja aku masih harus cari uang sendiri. Kerja part time yang makan waktu banget. Jadi, nggak ada tuh kesempatan aku buat ngedate, apalagi sampe pacaran."

Bukannya kemarahan yang Renjun dapat dari Lee Jeno, malah seutas senyum manis yang pria April itu layangkan.

Tidak bohong, jantung Renjun seakan berhenti pada saat itu juga. Saat bibir tipis itu melukiskan garis melengkung, saat bulu mata tebalnya yang mengatup, serta saat ia sekan bisa melihat indahnya bulan sabit di mata Jeno.

Renjun tidak bohong, ia gugup berada di dekat Lee Jeno. Ia setengah mati menyembunyikan debaran hebat di dada yang seakan sedang mengolok-olok dirinya.

Renjun tidak bohong, untuk jatuh pada pria bernama Lee Jeno itu, sangat mudah.

"Yang gue suka itu Huang Renjun. Bukan keluarga, apalagi pekerjaannya. Jadi, selagi Lo masih jadi Huang Renjun, maka selama itu juga rasa suka gue masih bertengger."

Renjun memejamkan mata ketika ia rasa ada tangan besar yang menangkup sebelah pipinya. Hangat dan lembut. Sampai membuat dirinya terbuai dengan tindakan Lee Jeno yang mendadak itu.

Tidak lama dari itu, Renjun juga bisa merasakan pipinya basah. Bunyi kecipak yang sangat cepat itu masuk melalui celah pendengarannya. Dengan jantung yang semakin kencang berdetak, Renjun dibuat seakan mati berdiri. Lidahnya kelu, tenggorokannya tercekat. Pengaruh Lee Jeno memang sangat luar biasa.

"Gue ke kantin bentar, beli makan. Nanti gue kesini lagi. Lo pulang bareng gue."

Dengan sentuhan terakhir di puncak kepala Renjun, Lee Jeno pun menghilang.

Meninggalkan seribu tanya yang bahkan Renjun sendiri pun tau bahwa jawabannya tidak akan pernah ada.

Meninggalkan sebercak asa kala otaknya mulai memikirkan hal yang paling serakah.

Karena di detik manik bergetarnya bertemu hazel legam milik Lee Jeno, Renjun pun tau, ada pelangi yang diam-diam terbit diantara matahari dan awan hitam.

🌈🌈

Pelangi; NoRen ✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang