𝑡ℎ𝑒 𝑓𝑒𝑎𝑟 𝑜𝑓 𝑙𝑜𝑣𝑖𝑛𝑔;

1K 205 12
                                    

"Namanya Jasmine. Tapi aku panggil dia sebagai Minny. Umurnya baru empat belas tahun. Marga keluarganya Kim."

Duduk tegak dengan berpakaian rapi bak pegawai kantor, Jeno mulai membagikan sedikit kepingan kenangannya pada Renjun.

Lembar pertama sudah berhasil ia torehkan, dan Renjun membacanya dengan baik. Siap menampung lebih banyak lagi lembar lembar yang lain. Hingga bagian akhir dari chapter kenangan Jeno bersama bidadarinya berhenti.

"Kamu pasti bingung kan kenapa marga dia Kim, bukan Lee?"

Renjun tersenyum, lalu mengangguk sambil tangannya terus menggoreskan tinta warna-warni di atas kanvas putih. Dengan Jeno yang menjadi objek.

"Dia, adik sambung. Papa nikah sama Mama waktu aku umur dua belas."

Tangan cantik Renjun masih terus bergulir, memberi hasil nyata pada setiap ekspresi Jeno ketika satu-persatu kalimat mulai terbingkai.

"Dia, beda dari kita, Re. Dia spesial. Saking spesialnya, dia gak bisa aku tinggalin sendirian."

Tangan lihai Renjun berhenti seketika, menatap Jeno yang masih memaksakan senyum agar tetap terlihat menawan.

"Sakit?"

"Lebih tepatnya, Trauma."

Renjun mengangguk. Memutus kontak mata untuk kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.

Kini, sepasang mata serupa bulan sabit telah terlukis, berikut tahi lalat yang semakin menambah aksen indah pada karyanya. Sama seperti sang objek, juga indah tiada dua.

"Minny mergokin Ayahnya selingkuh."

Satu goresan tak di inginkan, tercipta. Membuat ruang dada Renjun menyempit seketika. Matanya memicing. Memproses lebih jauh lagi atas fakta baru yang terungkap.

"Sampe cerai, Minny yang jadi saksi, Re."

".... Kamu bayangin, anak umur enam tahun harus menghadapi fakta kalo Ayah yang selama ini dia banggain, ternyata gak lebih dari sampah."

".... Itulah kenapa aku gak suka kamu deket-deket sama Jaemin. Perselingkuhan itu bukan sesuatu yang bisa dimaklumin, Re."

Jemari Renjun masih enggan juga bergerak. Bolamatanya kembali bergerak acak. Sekilas gambaran seorang anak perempuan tersiksa akibat ulah sang Ayah. Satu-satunya sosok yang seharusnya bisa disebut sebagai malaikat pelindung.

Tapi sayang, orang itu malah memilih untuk menjadi malaikat pencabut nyawa. Hanya demi sesuatu yang fana tak kasat mata. Berdasar khilaf yang berujung benci tanpa maaf.

"Minny jadi sakit. Trauma berkepanjangan bikin mental dia rapuh. Dia jadi suka ngobrol sendiri, banyak ngelamun, sampe yang paling parah dia pernah mukul Mama. Gara-gara dia selalu keinget sama selingkuhan Ayahnya. Dia jadi gak bisa bedain mana relaita, mana ilusi semata."

"Sampe Mama ketemu Papa. Dan kita jadi keluarga. Awalnya susah, dan cenderung pingin putus asa. Tapi aku gak tega liat Minny kesiksa sendirian. Bukan sesuatu yang gampang buat nyentuh sisi gelapnya Minny. Butuh waktu juga tenaga, sampe akhirnya aku dan Papa jadi orang kepercayaannya dia."

".... Dia, jadi jauh lebih baik, Re. Kasih sayang aku sama Papa yang bikin dia lebih baik. Dia udah bisa sekolah di sekolah yang layak. Seneng banget waktu ketemu temen baru. Aku yang tau gimana dia di masalalu juga ikut ngerasa bangga. Ngeliat gimana perjuangan dia buat sembuh dari rasa trauma berkepanjangan."

".... Sampe suatu hari dia cerita ke aku, kalo dia ketemu makhluk Tuhan yang paling indah. Di dalem cafe yang baru aja dia kunjungin sama temennya. Dia bilang makhluk itu kecil, imut, dan senyumnya bikin hati dia tenang."

"Aku penasaran, gimana rupa si makhluk indah yang udah berhasil nyentuh hati adik kecil aku. Tapi aku belum juga di kasih tau sama dia. Dia bilang dia malu buat ngenalin nya ke aku. Soalnya dia juga merhatiin makhluk itu secara diem-diem."

"Gemes banget kan, Re?"

Renjun tersenyum, lalu mengangguk patuh. Melihat senyum yang sudah terbit kembali di bibir Jeno, menggerakkan tangannya untuk kembali memulai. Dari sudut yang paling kiri, rambut hitam legam milik Jeno mulai tergambar. Indah dan rapi secara bersamaan.

"Hari-hari selanjutnya tetep dengan orang yang sama. Dan topik yang sama juga. Makhluk indah begini, makhluk indah begitu. Aku tentu seneng bukan main. Liat raut bahagia adik aku satu-satunya."

Untuk bagian bibir, Renjun memilih warna paling senyap. Tidak merah, juga tidak gelap. Karena dari sudut pandangnya saat ini, senyum itu, senyum milik Jeno, tampak palsu. Tidak ada bahagia, tapi juga tidak ada kecewa. Hanya hambar tanpa rasa. Menyembunyikan seribu rahasia.

"Tapi satu hari, Minny pulang dengan raut muka yang gak nampak bahagia. Matanya mendung, senyumnya menurun. Sampe satu pertanyaan dari dia yang bikin nyawa aku kerasa kayak di ujung. Dia bilang, 'kakak, kalo ternyata Tuhan gak sayang Minnie, kenapa Tuhan tetep biarin Minny hidup, ya?'"

Kuas lukis itu mulai bergerilya ke bagian pakaian. Mencetak warna hitam dan putih sebagai rengkuhan. Tidak lupa dengan merah melambangkan dasi pilihan. Sosok Lee Jeno dalam sebuah lukisan, sudah hampir terselesaikan.

"Sejak hari itu, Minny balik lagi jadi sosok yang murung. Gak mau ngomong kalo gak di tanya. Sukanya di kamar. Telat makan, bahkan dia udah gak mau sekolah lagi."

"Kondisinya juga makin buruk. Minny jadi sering sakit-sakitan. Tiap aku ajak ngobrol, pandangannya kosong. Kayak gada kehidupan. Aku bingung gak tau harus apa. Soalnya Minny gak pernah cerita dia kenapa. Sampe akhirnya aku sekeluarga bawa dia ke rumah sakit untuk periksa. Karna keadaan dia yang makin gak baik-baik aja. Minny akhirnya di rawat di rumah sakit. Cukup lama. Karena dia yang gak mau makan, bikin kondisi dia susah buat baik."

Kursi duduk yang sedang Jeno duduki pun sudah terlukis rapi. Menyangga berat tubuh Jeno dengan sempurna. Sisa sepatu pantofel yang harus ia kerjakan, sebelum lembar terakhir Jeno ceritakan.

"Kita sekeluarga berusaha kasih yang terbaik buat Minny. Tapi ternyata Tuhan punya rencana lain. Minny pergi. Ninggalin aku, Papa, dan Mama. Pergi cari semesta baru buat dirinya sendiri. Yang aku cuma bisa harap semoga di semesta yang sekarang, Minny diberi banyak rasa sayang."

Sentuhan terakhir juga sudah terlukis indah. Menampilkan sosok Lee Jeno yang tampan dan bercahaya. Duduk manis dengan senyum yang sangat rupawan.

"Kamu mau tau gak, Re siapa makhluk indah yang dimaksud Minny?"

Mengangkat hasil lukisannya, Renjun sempat menggeleng sebagai jawaban, sebelum langkah kaki maju untuk mendekati Jeno-

"Minny bilang makhluk kecil itu punya tulisan Huang Renjun di seragam sebelah kirinya.  Juga, seragamnya sama kayak yang aku pakai. Yang artinya, makhluk indah nya Minny juga sekolah di sekolah yang sama kayak aku."

Sebelum langkah itu terhenti, menatap Jeno dengan penuh arti. Pandangannya mulai tidak terpatri, mendengar kalimat terakhir dari Jeno yang menyayat hati.

"Makhluk indah itu, kamu, Re."

Kini, Renjun sadar. Atas semua alasan yang masih mengambang. Atas senyuman Jeno yang sangat palsu di pandang. Dan atas tatapan penuh kecewa yang selalu ia layangkan.

Bahwa sebenarnya, ada rasa dendam yang mendalam.

Renjun menatap Jeno, lalu kemudian pandangannya jatuh pada lukisan di tangan.

Seiring dengan lukisan yang jatuh dan berserakan, hati Renjun terlanjur terbelah menjadi dua duluan.

Because if you want to learn what someone fears losing, watch what they photograph.

🌈🌈

Pelangi; NoRen ✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang