we're friends, after all;

1.7K 299 18
                                    

"Re...."

"Iya, Je? Gimana?"

"Lo, udah suka gue belum?"

Ada jeda dari pertanyaan yang dilontarkan Jeno. Mengundang hening kembali menghampiri mereka. Hanya angin malam yang tau bagaimana bergemuruhnya jantung Jeno saat ini. Menatap sang pujaan hati dengan penuh rasa khawatir.

"Oh. Kamu mau denger jawaban yang jujur atau jawaban yang mau kamu denger aja?"

Jeno menghembuskan napas panjang. Memutus kontak mata yang tadi ia sematkan dengan ragu. Tidak siap jika kenyataan harus menghantamnya malam ini juga.

"Kalo jawaban yang mau gue denger?"

"Iya. Aku suka kamu."

Secepat dan semudah itu Renjun menjawab. Membuat decikan sebal yang terlontar dari belah bibir Jeno.

"Kalo jawaban jujur?"

Harap cemas, Jeno semakin menenggelamkan wajahnya ke lipatan kedua lutut. Hatinya tidak siap. Tidak setelah semua usaha yang sudah ia kerahkan. Nyatanya, hati Renjun masih susah juga untuk ia taklukan.

"Suka as a friend. Bukan in a romantic way..."

Hati Jeno mencelos, dibalik lututnya ia tersenyum sedu. Menertawakan takdir yang tidak bersedia untuk memihaknya.

"Je..."

Jeno mengangkat kepalanya, menatap kembali mata penuh bintang milik Renjun. Rasanya berat, sakit, kecewa. Tapi ia bisa apa? Tentang Renjun dan perasaannya, ia tidak punya kuasa.

"You okay?"

Jeno tersenyum kecut. Setelah terang-terangan memberi lampu merah, Renjun masih saja mengkhawatirkannya. Sungguh, rasa apa lagi yang saat ini mampu untuk menjelaskan bagaimana hati Jeno sekarang?

"Lo mau jawaban jujur atau jawaban yang mau Lo denger aja?"

Renjun menggigit bibir bawahnya, merasa terjebak dengan sitausi. Ia sadar, bahwa ia telah memberi paham yang salah kepada Jeno.

"Eung... Jujur?"

"Hancur gue, Re. Sakit banget disini..."

"Karena ternyata usaha gue selama ini sia-sia, ya?"

Yang memutus kontak mata pertama kali ini adalah Renjun. Perasaan berkecamuk kini menghampiri hatinya. Menghadirkan rasa sesak saat Jeno membawa tangan Renjun ke atas dadanya.

Lantas, Renjun buru-buru menurunkan tangannya. Menggeser sedikit jarak duduknya yang membuat Jeno semakin menghela napas berat.

"Soalnya aku belum pernah ngerasain yang kayak gini. Kamu, sama aku itu adalah hal yang baru buat aku, Je..."

"Untuk pertama kali dalam hidup aku, cuma kamu satu-satunya cowok yang suka aku."

Jeno mengernyitkan kedua alisnya. Memaksa atensinya berlabuh kembali pada pandang Renjun. Meminta penjelasan agar lebih mudah untuk di terima oleh akal sehatnya.

"Maksudnya, Lo straight?"

"Sejauh ini... Iya. Aku suka cewek..."

Hening kembali melingkupi mereka. Hanya terdengar suara dedaunan yang terkena angin malam. Karena jam di dinding sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Tapi Jeno rasanya enggan untuk melangkah pergi. Sebelum hatinya tersusun rapih kembali. Sebelum Renjun-nya memberi arti. Atas segala afeksi yang sudah terpatri.

"Tapi setelah kamu hadir, setelah banyak waktu yang kita habisin berdua, setelah semua perhatian yang kamu kasih, rasa sayang yang kamu tunjukin, aku jadi ragu. Aku, beneran stright, kan?"

Lantas, Jeno terkikik kecil. Mengusak rambutnya sendiri atas tindakan refleks dari kalimat Renjun. Sedikit bergeser untuk mempersempit kembali jaraknya dengan Renjun. Lalu dengan tanpa ada penolakan, tangan kecil Renjun sudah bersarang di genggamannya.

"Gak papa, Re. Pelan-pelan, ya. Kita cari tau pelan-pelan. Gue bakal selalu disini. Nunggu Lo. Sampe Lo bener-bener paham apa yang hati Lo inginkan.."

"Karna kamu yang pertama, Je. Aku takut. Aku gak bisa bilang iya, juga gak bisa bilang engga. Aku gak mau bikin kamu nanam lebih banyak harapan di aku, tapi aku juga gak mau nyakitin kamu. Aku, jahat banget ya?"

"Engga, Re. Lo gak jahat. Gue kan udah bilang, soal perasaan gue, itu urusan gue. Dan gimana sama Lo juga, gue gak ada kuasa. Karna diri Lo sendiri yang paling berhak atas perasaan Lo."

Renjun terkekeh pelan, semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Jeno.

Jeno ini, luar biasa.

Semua tentang dirinya, selalu membuat hati Renjun ribut. Isi di kepalanya pun tidak ingin kalah. Hanya ada kata jika dan bagaimana yang bersarang di sana.

Jika pada akhirnya takdir berkata tidak, lantas Jeno bagaimana?

Sebait doa kembali ia panjatkan.

Tentang kebahagiaan Jeno, yang paling utama.

"Lucu ya, Je. Baru kali ini kita berani ngomong tentang ini. Setelah sekian lama kejebak diembel-embel pdkt-an kamu itu..."

"Lebih lucu laginya si jam satu pagi. Di teras depan rumah Lo pula..."

Keduanya terbahak. Mengais udara yang mulai menebarkan rasa dingin.

"Abisnya kalo kita gak bahas ini, bakal stuck di situ-situ aja si. Gak akan ada jalannya."

"Lo bener. Makasih ya udah mau menyuarakan apa yang Lo khawatirin selama ini. Gue sekarang jadi gak bingung lagi. Lo memang butuh banyak waktu. Buat nerima gue, nerima diri Lo sendiri, dan nerima kita."

Renjun mengangguk paham, berinisiatif untuk membawa kepalanya bersandar pada bahu Jeno. Yang membawa tangan Jeno melingkari pinggangnya. Menyalurkan rasa nyaman dan hangat yang selalu ia dapat. Hanya di Jeno. Dan hanya dari Jeno.

"Aku sekarang rasanya pengen banget puk-puk-in kepala kamu, Je.."

Jeno bergeser. Sedikit menjauhkan tubuhnya dari Renjun. Lalu kepalanya ia bawa menunduk. Memberi isyarat Renjun bahwa ia tidak keberatan dengan kalimat terakhir yang Renjun lontarkan.

"Silahkan..."

Renjun tertawa lepas. Selain tulus, Jeno juga lucu. Selalu berhasil menerbangkan kupu-kupu di perutnya.

"Jeje, kamu anak baik. I hope life is treating you better."

Jeno memejamkan mata, merasakan betapa lembutnya usapan tangan Renjun diatas kepalanya.

Satu kata yang tersemat di otaknya. Bahagia. Jeno sangat bahagia.

"Udah."

Ucap Renjun kemudian. Jeno lantas membuka matanya, menegakkan tubuh untuk kembali merengkuh  Renjun ke dalam dekapan hangat.

"Kok doanya gitu?"

"Loh? Emangnya kenapa? Gak boleh ya aku doain temen aku sendiri supaya hidup selalu kasih yang terbaik buat dia?"

"Hahahhahaa you're right, Re. We're friends after all...."

Sigh.

Yeah, Friends.

With deep feeling.

🌈🌈

Pelangi; NoRen ✓✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang