Anak Takdir

6K 58 7
                                    

Suara gamelan menambah kemeriahan perayaan panen pagi itu. Desa Alas Batu mengadakan perayaan panen sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat Yang Esa karena hasil panen di desa ini melimpah. Berbagai tarian khas juga dipertontonkan. Penduduk desa Alas Batu juga membuat semacam "tumpeng" dari berbagai hasil panen seperti padi, lobak, kacang, terong dan berbagai macam hasil bumi dari kebun dan sawah milik penduduk. Tumpukan hasil bumi ini nantinya di arak keliling desa, diikuti oleh para penari dan penabuh gamelan.

Setelah arak-arakan perayaan panen, pak Suwiryo, kepala desa Alas Batu mengundang seluruh penduduk desa untuk makan bersama di rumahnya. Istri pak Suwiryo telah membuat berbagai macam hidangan. Halaman rumah kepala desa penuh dengan penduduk yang duduk di atas tikar-tikar anyaman daun kelapa, melingkari makanan yang ada di tengah tiap-tiap tikar. Seusai mengucapkan kata sambutan, acara makan bersama pun dimulai.

Saat penduduk asik berpesta, datanglah seorang pertapa tua yang kebetulan lewat di depan rumah kepala desa. Pertapa dengan rambut panjang, brewok lebat dan bertampang kumal, mengenakan kain putih yang sudah lusuh dan kotor itu masuk ke dalam rumah kepala desa untuk meminta makanan. Pak Suwiryo yang melihat pertapa itu masuk segera mendatangi nya.

"Salam wahai pertapa.. apakah yang bisa saya bantu untuk anda?" kepala desa itu menyambut sang pertapa tua.

"Salam tuan.. adakah sedikit makanan untuk pertapa pengelana yang sudah tua ini?" jawab sang pertapa dengan suara khas orang tua.

Pak Suwiryo adalah orang yang tahu adat dan tradisi, tak boleh mengacuhkan seorang pertapa, guru, pengemis, orang papa, anak tanpa ayah, janda dan orang tua yang meminta sesuatu.

"Silahkan masuklah dulu wahai tuan pertapa, ke rumah hamba yang hina ini" pak Suwiryo mengundang pertapa itu masuk.

"Terimakasih tuan.. aku tidak enak masuk ke rumah tuan, sedangkan banyak orang sedang berpesta.. bisa rusak selera makan mereka tubuhku yang kotor ini.." jawab pertapa lagi.

"Tidak.. tidak.. bagaikan mendapat sinar terang begitu pertapa yang mulia masuk ke dalam rumahku," kata pak Suwiryo.

"Bila itu kehendakmu.. maka terjadilah..", jawab sang pertapa masuk ke dalam rumah mengikuti kepala desa.

Pak Suwiryo dan pertapa itu berjalan beriringan membelah puluhan penduduk desa yang asik dengan makanannya. Tak seorangpun yang menghiraukan mereka.

"Lastri.. Lastri.. siapkan makanan yang terbaik.. ada tamu agung yang datang.." kata pak Suwiryo kepada istrinya.

Pada zaman itu, seorang pertapa dan seorang guru amat sangat di hormati, bahkan lebih di hormati dari pada seorang raja sekalipun. Pak Suwiryo menyiapkan tikar anyaman sebagai alas duduk di tengah rumahnya dan mempersilahkan sang pertapa untuk duduk.

Tak berapa lama, datanglah istri dan anak dari kepala desa membawa makanan dan kendi tanah liat berisi air.

"Ini istri dan anak saya," kata pak Suwiryo memperkenalkan.

"Nama saya Sulastri..", kata istri kepala desa sambil menaruh makanan dan kendi tanah liat di tengah-tengah tikar.

Hanya sekilas pertapa itu melihat Sulastri, seorang wanita berkulit kuning langsat dan berwajah cukup cantik, istri pak kepala desa. Pertapa itu lebih tertarik dengan anak kepala desa yang berumur 9 tahun. Dipandangnya anak kecil itu dari atas kebawah dengan alis mengernyit dan ekspresi aneh.

Jangan-jangan.. inilah orangnya.., pertapa itu membathin.

"Tegar.. jangan hanya berdiri di sana.. perkenalkan dirimu pada tuan pertapa," kata pak Suwiryo kepada anaknya.

"Salam.. nama saya Tegar.." kata anak kecil itu pada pertapa.

"Salam.." jawab pertapa itu singkat.

Pendekar Pedang PetirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang