Zang Xia Lu

4K 23 0
                                    

Di dalam rumah keluarga Karta lima orang duduk di atas tikar, mengelilingi hidangan yang telah dimasak oleh nyonya rumah dan anak perempuannya yang cantik. Karta, istrinya dan anak perempuan mereka tertegun melihat dua orang pemuda yang makan begitu lahap mendekati rakus. 

“Ayo nak Tegar, tambah lagi nasinya.” Sutini menyodorkan sepiring nasi yang diambil oleh Tegar sambil mengangguk hormat.

“Mas Yasa juga mau nambah?” tanya Sekar saat hendak menyendok nasi.

“He’em he’em…” Yasa mengangguk dengan mulut penuh makanan.

Kedua pendekar itu makan bagai orang kesurupan. Yasa yang bajunya masih berwarna merah pada pundak bekas terluka saat bertarung tadi dan Tegar yang tangannya masih kebiruan akibat mengadu ilmu dengan Ekacarka, seakan lupa dengan luka-lukanya.

“Apa semua pendekar itu makannya kaya gini ya pak?” Sekar bertanya pada Karta.

“Hahahahhaa... pendekar itu ya memang begini.. makan banyak untuk mengisi tenaga lagi,” jawab Karta bercanda.

“Ya... kalo Mas Tegar sih tidak apa-apa, lah ini Mas Yasa kan tadi kalah.”

Yasa mendelik dan mengangkat tinjunya pada Sekar yang langsung bersembunyi dibalik punggung bapaknya. Sutini menggeleng melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti anak kecil.

“Tadi Yasa kan terluka, jadi wajar kalau makannya juga banyak.” Bela Tegar.

Yasa mengangguk sambil menyuap nasi.

“Bapak dan ibu tidak makan? Makanannya enak lho.” Tegar dengan polosnya berbalik menawari tuan rumah.

“Nak Tegar makan saja dulu, kami belakangan saja,” jawab Karta.

“Kalau begitu, Sekar saja yang menemani mereka makan ya pak?”.

“Iya, kamu temani mereka nak.”




“APA?! Bagaimana kau bisa gagal?!” teriakan seorang laki-laki berambut panjang lurus duduk di kursi besar berlapis emas menggema ke seluruh balairung. Di sebelah kanannya berdiri seorang wanita berkacak pinggang menatap dengan sombong, sementara di sebelah kirinya seorang laki-laki berkulit putih dengan mata agak sipit melipat lengannya di depan dada. Mereka bertiga adalah Jalapati dan dua orang kepercayaannya.

“Maaf tuanku, hamba bertemu dengan pendekar yang berilmu tinggi, pasukan kita tak mampu menandinginya.” Ekacakra menunduk berlutut memegang perutnya yang lebam kehitaman.

Gadis yang tadinya berdiri disamping Jalapati tiba-tiba meloncat maju dan menampar Ekacakra hingga berguling dan tersungkur. Darah mengalir di sudut bibir Ekacakra. 

Wanita bangsat!, Ekacakra yang tersungkur mengutuk dalam hati

“Kau memalukan! Tidak ada pasukan Pangeran Jalapati yang bisa dikalahkan dengan mudah! Kau tidak pantas hidup di dunia ini!” wanita itu mengangkat pedang dengan permata berwarna biru di ujung gagangnya, dan mengayunkannya menebas leher Ekacakra.

“Tahan!” laki-laki yang duduk di kursi berdiri dengan tangan teracung ke depan, “jangan gegabah Wulandari.”

“Tapi tuan…” alis Wulandari menyatu.

“Kau lihat perutnya, itu bukan luka biasa. Tidak sembarang orang yang dapat membuat luka dalam pada tubuhnya.. dan juga, tidak semua orang yang bisa mematahkan Keris Kala Munyeng.”

Ekacakra mengangguk menyetujui pembelaan Jalapati.

Jalapati berjalan mendekati Ekacakra dan berkata lebih lembut, “coba kau sebutkan ciri-ciri pendekar yang membuatmu babak belur begini.”

“Baik tuan, rambutnya panjang, wajahnya rupawan, cukup tinggi dan kekar tapi badannya tidak begitu besar, tidak sebesar saya tuan. Dia mengenakan pakaian hitam-hitam tanpa ikat kepala dan juga...”

“Juga apa?”

“Sepertinya umurnya masih sangat muda..”

“Jadi, kau dikalahkan anak kemarin sore?!” mata Jalapati mendelik, nada suaranya kembali meninggi.

“I-iya tuan.”
“Wulandari!” Jalapati memandang pada Wulandari, tangan kanannya, sesaat kemudian mengangguk.

Wulandari pun mengangguk dan mengangkat pedangnya.

“Tu-tuan... t-tunggu dulu…” tangan Ekacakra terangkat seakan meminta perlindungan pada Jalapati.

Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Ekacakra, dalam hitungan detik kepalanya menggelinding terpisah dari tubuhnya.

“Wulandari... kau sudah mendengar ciri-ciri pendekar itu, besok kau cari dan bunuh dia.”

“Baik tuan.” Wulandari mengangguk dan membungkukkan tubuhnya.



Seorang gadis duduk di beranda rumah memandang langit yang dipenuhi bintang. Terkadang dia tersenyum beberapa saat kemudian kembali bibirnya mengerucut dan alisnya mengkerut, begitu berulang-ulang. Gadis itu melamun, entah apa yang dilamunkannya, hingga tak menyadari seseorang mendatanginya dari dalam rumah.

“Hei!” Tegar menepuk pundak gadis itu, “tidak baik anak gadis malam-malam diluar rumah.”.

“Eh, Mas Tegar...”.

“Tadi Sekar mikirin apa? Sampai senyum-senyum sendiri begitu.”

“Ahh… endak kok,ndak mikir apa-apa.”

“Bohong... pasti mikirin aku ya.” Tegar bertanya asal.

Rona wajah Sekar memerah dan berdiri masuk ke rumahnya.

“Baru ditanya begitu saja sudah kabur, dasar perempuan...” Tegar menggeleng heran.

Kini, posisi Sekar digantikan Tegar. Pemuda itu memandang langit dan memikirkan melanjutkan perjalanannya esok menjelang matahari terbit. Entah kemana dia akan melangkah, dirinya pun tidak tahu. Tiba-tiba pinggangnya bergetar, teringat akan pedang pusakanya, Tegar mengambil Naga Petir.

“Ada apa?” Tegar bertanya.
“Tidak, aku hanya ingin melihat langit lebih jelas.”

“Ohh... kau ini Naga, pasti rumahmu di langit sana.”

“Ya… sudah belasan tahun aku turun ke bumi…”

“Aku juga rindu pada keluargaku…” kata Tegar menggaruk kepalanya, “tapi aku tak ingat jalan pulang...”

Tiba-tiba Naga petir diam seribu bahasa. Tegar menoleh kebelekang, dilihatnya Yasa berjalan dari dalam rumah. Cepat-cepat disimpannya gagang Pedang Petir di kain pinggangnya.

“Kisanak..” kata Yasa duduk di sebelah Tegar, “terimakasih kau sudah menyelamatkan nyawaku dan keluargaku.”

“Ahh.. itu bukan apa-apa.. kita hidup di dunia harus saling membantu.”

“Benar, tapi hari ini aku berhutang budi padamu. Jika suatu saat kau mengalami kesulitan, katakanlah padaku... pasti aku akan membalas budi baik kisanak.”

“Ahh… tidak usah sungkan, aku hanya menjalankan kewajibanku sebagai manusia yang harus saling tolong-menolong.”

“Kisanak ini, sungguh pendekar yang berbudi luhur dan rendah hati.”

Tegar tersenyum dan berkata, “esok hari… aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Mengapa kisanak tidak tinggal lebih lama? Pintu rumah ini akan selalu terbuka untuk kisanak.”

“Maaf.. tapi aku benar-benar harus melanjutkan perjalanan.. ada suatu hal yang harus ku kerjakan..”

“Jika boleh aku tahu.. kemana tujuan kisanak?”

“Aku tidak bisa mengatakannya padamu... tapi besok, pagi-pagi sekali aku sudah harus pergi.”

“Baiklah jika itu kehendak kisanak.. tapi kapanpun kisanak datang, pintu rumah ini selalu terbuka.”

“Terimakasih Yasa.”



“Tok tok tok.”

Wulandari yang sedang duduk di ranjangnya, berdiri menuju ke arah pintu, “siapa?”

“Ini aku… A Lu,” jawab orang yang mengetuk pintu.

“Ada apa malam-malam kemari?” Wulandari membuka pintu dan melihat seorang laki-laki berkulit putih bermata sipit dengan rambut terikat kebelakang.

“Aku hanya ingin mengajakmu minum cha,” jawab laki-laki itu menunjukan poci keramik Cina lengkap dengan cangkirnya. (cha : teh)

“Minum cha?” Wulandari heran.

“Ohh… aku lupa… di tempat asalku, kami biasa minum teh untuk mengusir udara dingin.”

Alis Wulandari terangkat sebelah menunjukan pandangan curiga pada Zhang Xia Lu.

“Tenang saja, tidak beracun…”

“Baiklah... mari masuk,” undang Wulandari.

“Tidak tidak... lebih enak minum teh di luar.”

“Baiklah...” Wulandari keluar dari kamarnya dan menutup pintu, “kita mau kemana?”.

“Kemari…” Zhang Xia Lu mengamit tangan Wulandari dan berdua meloncat ke atas atap.

“Di sini?”

“Iya.. di sini kita bisa melihat bintang dengan jelas,” jawab A Lu mantap.

Zhang Xia Lu menuangkan teh dan menyodorkannya pada Wulandari.

“Silahkan ini untukmu…”

“Terimakasih.” Wulandari mencoba meminum cha yang diberikan A Lu, “hmph! pahit…”

“Hahahhahaha.” Zhang Xia Lu tergelak melihat Wulan menjulurkan lidahnya, ”memang agak pahit, tapi bagus untuk kesehatan.”

“Aku tidak suka minum ini.” Wulandari menyerahkan cangkirnya pada A Lu.

“Tambahkan gula aren agar lebih manis.” A Lu mengeluarkan gula aren yang dipotong kecil-kecil dari balik bajunya dan menaburkan ke dalam cangkir yang dipegang Wulandari, “coba kau minum lagi.”.

“Hmm...” Wulandari mengangguk, “rasanya menjadi lebih enak.”

Zhang Xia Lu tersenyum melihat Wulandari menikmati minumannya.

“Apa tadi nama minuman ini?” tanya Wulandari.

“Namanya cha... aku membawanya dari Manchuria.”

Wulandari mengangguk mendengar penjelasan A Lu.

“Sebenarnya… aku tadi membicarakannya dengan pangeran... terlalu berbahaya untukmu mencari pendekar sakti itu tapi pangeran mau kau yang pergi… aku khawatir, akan terjadi apa-apa padamu.”

“Tenang, A Lu… aku bisa menjaga diri, kau tak perlu khawatir begitu.” Wulandari menepuk pundak A Lu menenangkan kawannya.

Zhang Xia Lu mengangguk, tatapannya lurus menerawang.

Bersambung...

Pendekar Pedang PetirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang