Ekacakra

5K 25 0
                                    

Beberapa saat sebelumnya...

"Matilah kau!" prajurit itu berteriak keras.

Yasa berputar ke kanan menghindari serangan tombak. Lawannya melihat gerakan Yasa dan mengayunkan tombaknya sekuat tenaga ke kanan.

BUGH! pinggang Yasa terpukul ayunan tombak.

"Uhhhh.." Tegar dan Naga Petir tersentak seakan merasakan hempasan tombak pada tubuh Yasa.

Tubuh Yasa terpental dan berguling-guling. Yasa bangkit terduduk, darah segar keluar dari mulutnya.

"Celaka! Pemuda itu akan mati," seru Tegar pada Naga Petir.

Prajurit berbadan besar tidak menunggu lama, segera dilemparnya tombak menuju leher Yasa. Tombak bermata tajam meluncur deras ke arah Yasa, pemuda itu tak mampu bergerak menghindar.

"Puhh!" Tegar meniup biji jambu di mulutnya dengan kencang.

TANG! biji jambu yang ditiup Tegar beradu dengan mata tombak, tepat sejengkal di depan leher Yasa.

Biji jambu air itu hancur berkeping-keping namun dapat mementalkan tombak prajurit kesamping. Yasa yang mengira dirinya akan mati, diam tak bergeming. Jantungnya masih berdegup kencang, otaknya mencerna perbedaan tipis hidup dan mati.

"Bangsat! Siapa itu?!" prajurit itu melihat sekelilingnya, mencari orang yang menghentikan serangan tombaknya.

Tegar melesat dari atas pohon meluncur ke arah Yasa. Begitu cepat sampai mata prajurit itu hanya melihat sekelebat. Tegar mengambil tubuh Yasa menjauh dari medan laga dan meletakan tubuh Yasa yang berlumuran darah di dekat orang tuanya. Sekar dan ibunya menangis histeris melihat kondisi Yasa yang hampir sekarat.

"Siapa kau bajingan?!" Prajurit besar itu berteriak pada seorang pemuda dengan pakaian hitam-hitam yang tak lain adalah Tegar.

Alih-alih memperdulikan teriakan prajurit itu, Tegar malah menyalurkan tenaga dalamnya pada tubuh Yasa. Tangan kiri Tegar terbalut cahaya putih, menempel pada dada Yasa. Energi hangat dirasakan Yasa merambat dari dadanya ke seluruh tubuh. Darah berwarna hitam dimuntahkan Yasa. Sungguh ajaib, tubuhnya yang hampir sekarat, seketika terasa segar kembali. Luka di pundaknya pun telah mengering walaupun masih terasa ngilu.

Merasa diacuhkan, prajurit besar itu marah. Diambilnya tombak yang tergeletak di dekatnya dan dilempar pada Tegar. Dengan tenang Tegar mengibaskan tangan kanannya, membuat gelombang angin yang mementalkan tombak lemparan prajurit.

Yasa yang merasa tubuhnya pulih, bangkit untuk kembali bertarung. Tegar menahannya.

"Biar aku saja, bahumu masih belum sembuh," kata Tegar menepuk pundak Yasa.

Tegar berdiri menghadap prajurit besar itu. Tiba-tiba dua buah pisau terbang meluncur ke arahnya. Tubuh Tegar miring ke kiri menghindari satu pisau dan menangkap pisau yang lain dengan tangan kanannya. Pisau yang dihindari Tegar melesat kebelakang dan menancap dalam pada tiang penyangga rumah.

Tegar melempar balik pisau terbang tadi ke arah pemiliknya. Pisau itu meluncur dua kali lebih cepat mencari kepala pemiliknya. Prajurit besar itu memiringkan kepalanyake kanan, namun terlambat, darah mengucur dari telinga kirinya yang robek tersambar pisau tajam.

"Dasar anak kurang ajar! Beraninya kau melukai Ekacakra, kepala prajurit Jala Pati!" prajurit besar itu berteriak saat meraba kupingnya yang berlumuran darah.

Tegar tak bergeming, matanya fokus pada musuhnya.

Merasa musuhnya bukan orang sembarangan, Ekacakra menyiapkan senjata pusakanya. Tangan kanan Ekacakra mengambil gagang senjata yang terselip di kain pinggangnya. Sebuah keris ber-luk sembilan dikeluarkan Ekacakra dari sarungnya.

Pendekar Pedang PetirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang