Api dan Es

5K 52 16
                                    

Dhuar!!

Pintu gerbang istana Jalapati terlempar dari tempat asalnya, terbanting berkali-kali di tanah dan menimbulkan debu mengepul di gapura disusul kemunculan tiga orang pendekar dari luar istana. Mendengar keributan itu, para prajurit jalapati berlarian menuju gapura. Tak lama kemudian, belasan prajurit Jalapati yang menyadari apa yang terjadi. Hancurnya gerbang setinggi dua tombak dan kemunculan tiga orang asing yang nampak seperti pendekar.

"Siapa kalian?!" bentak salah satu prajurit Jalapati.

"Hahahahahahha!!" Wirasana tertawa menggelegar. Batang dan ranting pohon bergetar akibat suara tawanya. Wirasana menggunakan tenaga dalam untuk mengeraskan suaranya, hal ini membuat telinga para prajurit Jalapati bercucuran darah. Tidak sedikit diantara prajurit itu yang tidak sadarkan diri. Beberapa rajurit yang bertahan serempak melemparkan tombak dan pedang di tangannya pada Wirasana.

Tombak dan pedang tajam meluncur deras pada Wirasana. Dengan sekali kibasan tangannya, Wirasana menangkis pedang dan tombak yang mengancam nyawanya. Pada kibasan tangan kedua, semburan api muncul dari telapak tangannya dan menyapu prajurit yang tersisa. Seluruh prajurit yang masih berdiri terpental ke belakang dengan luka bakar di dada dan tangannya.

"Ayo kita maju," Wirasana mengajak Maharani dan Tegar yang masih kagum melihat kehebatan salah satu murid unggulan pertapa merah itu beraksi.

Belum sepuluh langkah jagoan kita berjalan memasuki istana Jalapati, belasan prajurit kembali muncul dan mengerubungi mereka.

"Kroco-kroco ini muncul lagi!! Wirasana membentak sambil merapalkan sebuah jurus yang membuat tangannya berubah merah menyala. Sesaat sebelum Wirasana bergerak, dari belakangnya meloncat seorang gadis dengan pedang yang juga merah menyala.

"Kali ini biar aku saja!!" Maharani itu berteriak sambil menyabetkan pedangnya kedepan. Angin hasil sabetan pedangnya menghantam tanah tepat di depan gerombolan prajurit yang menyerbu diiringi suara ledakan yang memekakkan telinga. Sepuluh orang prajurit terdepan terpental ke belakang. Tubuh mereka menghantam prajurit lain di belakangnya.

Para prajurit Jalapati mencoba bangkit dan menyerang sementara Maharani merapal jurus kedua. "Gelombang Naga Api!!" Maharani berteriak saat kepalannya memukul ke depan, ke arah para prajurit. Cahaya merah mirip kobaran api meliuk melingkar bagaikan ular naga keluar dari tangan Maharani, meluncur deras ke arah prajurit Jalapati diiringi suara menggeram menyeramkan bagaikan geraman Dewa Maut itu sendiri.

Empat langkah sebelum jurus maut Maharani menghantam gerombolan prajurit Jalapati yang telah pasrah akan umurnya, tiba-tiba muncul sosok pendekar hitam menyambut jurus Maharani dengan tangannya sendiri. Jurus Maharani beradu dengan tangan kosong pendekar hitam itu di udara. Bukan main keberanian pendekar itu yang telah mengadu anggota tubuhnya sendiri dengan jurus lawannya. Tangannya yang dilapisi bongkahan es ternyata mampu menjinakan jurus Maharani.

Begitu kakinya menjejak tanah, pendekar hitam langsung merapal sebuah jurus yang membuat tangannya dilapisi kabut kebiruan dan dengan teriakan lantang pendekar hitam itu dalam sekejap menyerang Maharani, "Jurus Telapak ES!!"

Maharani yang tidak siap menerima serangan yang begitu cepatnya, berusaha menahan serangan dengan melintangkan pedangnya di depan dada. Tak sempat merapal jurus membuat tubuh Maharani terpental jauh ke belakang begitu jurus pendekar hitam mengenai pedangnya. Beruntung Tegar dengan sigap menangkap tubuh Maharani sebelum membentur gapura istana Jalapati.

Pendekar hitam yang melihat korbannya diselamatkan, merasa tidak senang. Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, pendekar hitam dengan cepat berlari menyerang Maharani dengan jurus yang sama. Hanya tinggal beberapa langkah, pendekar hitam menghentikan gerakannya karena merasakan aura panas di sisi kirinya. Firasat pendekar hitam benar, gelombang api menerjang satu langkah di depannya dan mengenai pohon di sebelah kanan pendekar hitam hingga hangus terbakar. Dengan cept penekar hitam mengalihkan pandangannya ke arah penyerangnya. Dari sisi kiri Wirasan dengan ilmu meringankan tubuh meluncur ke arah pendekar hitam dan berteriak, "akulah lawanmu!!"

Sementara itu....

Seorang prajurit berlutut di balairung, di depan Jalapati yang duduk pada singasananya didampingi Wulandari dan melapor, "tuanku, telah terjadi kekacauan di gerbang selatan, hamba melihat tiga orang pendekar menerobos masuk dan menghancurkan gerbang. Salah satu dari ketiganya adalah Pendekar Ganteng Rusuh musir Pertapa Merah dari timur."

"Siapa yang berjaga disana?" tanya Jalapati.

"Saat ini puluhan prajurit menuju kesana untuk mengamankan gerbang selatan."

"Jangankan puluhan, ratusan prajurit pun tidak sebanding untuk menahan Pendekar Ganteng Rusuh," Wulandari berbisik pada tuannya.

"Sekuat itukah Pendekar Rusuh itu? dimana Xia Lu? Perintahkan dia melawan mereka."

"Tuan Xia Lu saat ini sedang bertarung melawan mereka bertiga," jawab prajurit yang berlutut.

"Wulandari, kuperintahkan kau pergi ke gerbang selatan dan membantu Xia Lu. Bunuh semua keparat yang membuat kekacauan di istanaku."

"Baik, Pangeran," jawab Wulandari memenuhi keinginan tuannya. Wulandari membawa bersamanya puluhan prajurit lainnya menuju gerbang selatan.

Pada saat yang sama di gerbang selatan...

Wirasana memandang lurus ke arah pendekar hitam yang hanya berjarak lima langkah darinya. Giginya mengatup erat. Bulir keringat mengalir membasahi pelipisnya. Sudah sepuluh jurus yang mereka peragakan namun belum ketahuan siapa yang akan menjadi pemenang. Api merah menyala masih berkobar di kepalan tangannya terlihat kontras dengan kabut kebiruan yang menyelubungi kepalan tangan pendekar hitam. Keduanya saling mengawasi dan siaga. Mengukur dan mencari kelemahan satu sama lain. Walaupun sepuluh jurus telah berlalu, tak satupun pukulan yang masuk mengenai satu sama lain.

Pendekar hitam mendengus sesaat sebelum bergerak maju. Kepalan tangannya meluncur menuju dada Wirasana. Hawa dingin yang terpancar dari pukulan maut pendekar hitam membuat Wirasana lebih awas. Wirasana mengumpulkan tenaga dalam pada lengannya yang membuat tangan dan lengannya memerah. Dengan sigap Wirasana membelokkan pukulan pendekar hitam ke samping kiri menjauhi tubuhnya dengan telapak tangan kiri sementara tangan kanannya mengepal berniat meninju perut pendekar hitam.

Pendekar hitam memutar badannya menghindari serangan balik Wirasana. Disaat yang sama sikunya mengarah pada kepala Wirasana yang memaksa pendekar berjuluk PGR menggunakan lengannya untuk melindungi kepala.

DUUGHH!!!

Siku pendekar hitam beradu dengan lengan Wirasana yang membuatnya mundur beberapa langkah. Lengan Wirasana yang tadinya berwarna merah menyala menjadi biru seketika. Hawa dingin menyengat dirasakannya menjalar dari titik benturan dengan siku pendekar hitam. Wirasana segera mengumpulkan tenaga dalam yang lebih besar pada lengan kirinya untuk mengusir hawa dingin. Bukannya menjadi takut, Wirasana malah semakin marah begitu mengetahui dirinya yang pertama terkena serangan berbahaya pada pertarungan kali itu.

Tangan kiri Wirasana memegang pergelangan tangan kanannya. Otot tangan kanannya menegang. Urat dan pembulh darahnya terpeta dengan jelas. "HAAAARGGGGHHH!!!" Wirasana berteriak saat mengerahkan tenaga dalam yang begitu besar sehingga bola api berbentuk kepala naga membungkus kepalan tangan kananya. "Aku Wirasana, dunia mengenalku dengan sebutan Pendekar Ganteng Rusuh, sebelum aku membunuhmu, sebutkan namamu wahai kisanak, agar nanti dunia tahu siapa pedekar hebat yang telah aku lawan," kata Wirasana berapi-api.

Merasa lawannya mengerahkan jurus pamungkas, pendekar hitam tidak berdiam diri. Kedua tangannya direntangkan melebar. Tiba-tiba udara dingin berkumpul pada kedua telapak tangannya. Perlahan kedua telapak tangannya berubah warna menjadi biru dan dilapisi bunga-bunga es yang tajam. Seolah menarik benda berat dari udara, pendekar hitam menempelkan kedua telapak tangan di depan dada dan berkata, "Orang memanggilku Pendekar Es Dari Utara dan bukan aku yang akan mati hari ini, karena Zhiang Xia Lu ini yng akan membunuhmu!!"

"Baiklah kalau begitu, terimalah jurus Naga Api Menyambut Badai-ku ini!!" Wirasana berlari menuju ke arah Zhiang Xia Lu dengan kecepatan luar biasa.

Bersambung


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pendekar Pedang PetirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang