Naga Petir

8.1K 32 0
                                    

Seorang pemuda berbadan kekar tidak memakai baju berjalan selangkah demi selangkah menuruni gunung. Keringat mengucur deras di seluruh badannya. Tangannya memeluk sebuah batu yang bukan main besarnya. Batu besar itu diangkat dan dibawanya berjalan. Di atas batu itu, duduk seorang berambut dan berjanggut putih panjang, badannya kurus berbalut kain putih, lehernya berkalung tasbih dengan biji besar-besar berwarna hitam. Orang tua yang duduk di atas batu dengan memejamkan matanya, sepintas mirip pertapa yang sedang bersemedi. 

“Uggghhh.. Guru.. ini sudah ketiga kalinya aku menuruni gunung.. berapa kali lagi?” tanya pemuda itu kepada orang tua yang dipanggilnya guru.

“Kau harus membawa aku naik ke atas lagi, baru kita beristirahat,” jawab sang guru dengan tenang.

Bicara memang mudah, apalagi sambil duduk di atas.. aku yang di bawah membawa batu ini berat.., pemuda itu membathin di antara perjuangannya.

Tak! Kepala pemuda itu mengangguk tiba-tiba, bagai dipukul seseorang yang tak terlihat dari belakang.

Uhh.. kenapa sih aku punya guru yang bisa membaca isi hatiku, rutuk pemuda itu.

“Memang takdir Yang Kuasa bahwa kau harus menjadi muridku,” kata sang guru datar.

Pemuda itu telah naik-turun gunung sambil membawa batu besar, sebesar pelukan tiga orang dewasa yang disatukan, dari sebelum matahari terbenam hingga matahari mulai condong ke barat. Pemandangan tidak lazim ini sering terlihat di sekitar pertapaan milik seorang yang dijuluki Pertapa Putih, karena pertapa itu berambut, janggut dan ber baju serba putih. 

Pertapa Putih memiliki seorang murid yang dilatihnya sejak kecil. Dengan didikan keras sang Pertapa Putih, muridnya yang pertama kali datang hanya seorang anak ingusan, berubah menjadi pemuda dengan wajah tampan, berbadan tinggi kekar dan memiliki kesaktian di atas rata-rata. Jarang ada orang yang mampu naik-turun gunung sambil membawa batu sebesar gajah ditambah orang duduk di atasnya.

“Guru… hah hah... aku, aku… sudah kelelahan... hah hah... aku sudah tidak.... tidak kuat lagi... kita selesai disini saja ya…” pemuda itu bicara dengan nafas tersengal-sengal.

“Pertapaan sudah dekat, dari sini kau harus berlari. Kalau tidak, kau tidak dapat makan malam,” kata sang guru.

Mendengar perkataan sang guru, pemuda itu berlari sekuat tenaga. Batu sebesar badan gajah yang sedang dipeluknya, bagaikan sekantung kapas, dibawanya berlari begitu saja. Sekali kakinya melangkah, beberapa meter dilewati. Anehnya, orang tua yang duduk di atas batu, tidak sedikitpun terguncang akibat laju lari pemuda itu. Bila orang yang melihat, pastilah pemuda itu disangka siluman, karena berlari bagaikan setan yang mengambang di atas tanah.

Pemuda itu berhenti tepat di luar halaman pertapaan. Pertapa Putih meloncat turun dari batu tempat duduknya. 

“Hari ini cukup sampai disini,” kata sang guru.

“Terimakasih guru.” pemuda itu menjawab dan meletakan batu itu di depan pertapaan.

Mereka berjalan bersama memasuki pertapaan yang tediri dari tiga buah bangunan pondok beratap jerami. Pondok yang tengah adalah tempat Pertapa Putih bersemedi dan beristirahat, yang sebelah kanan adalah dapur dan yang sebelah kiri adalah tempat muridnya
tinggal.

Guru dan murid ini duduk beristirahat di halaman pondok pertapaan. Muridnya mengipas-ngipas tubuhnya yang penuh keringat dengan bajunya. 

“Tegar… Besok, sudah saatnya kau meninggalkan pertapaan, sudah saatnya kau mengenal dunia ini... akupun akan pergi ke ke puncak gunung untuk melanjutkan pertapaanku,” kata Pertapa putih.

“Tapi guru… aku harus kemana? Aku tidak kenal siapa-siapa. Rumah orang tuaku pun aku tak tahu jalannya,“ jawab Tegar bimbang.

“Kau sudah kuajarkan hampir semua ilmuku.. ilmu yang kau miliki hanya setingkat di bawahku... walaupun aku bukan yang terhebat tapi aku yakin tidak ada orang di dunia persilatan yang dapat mengalahkanmu dengan mudah... ikutilah kemana langkah kakimu berjalan.” Pertapa Putih meyakinkan muridnya.

“Baik guru.” Tegar tak berani membantah walaupun kerisauan dan kebingungan melanda hatinya.

“Sudah saatnya aku menyerahkan apa yang seharusnya jadi milikmu,” kata Pertapa Putih saat mengeluarkan sebuah gagang tanpa pedang berwarna perak dari balik kain di pinggangnya.

Tegar mengingat kembali kejadian 9 tahun yang lalu. Dia mengingat ayah dan ibunya, serta pedang yang bersinar putih kebiruan saat dipegangnya. 

“Pedang Petir ini adalah pusaka langit yang jatuh kebumi menemani kelahiranmu.. pusaka ini sangatlah hebat. Hanya 3 pusaka lain yang dapat menandinginya, yaitu Pedang Langit, Pedang Api dan… Pedang kematian. maka berhat-hatilah menggunakannya.” sang guru menjelaskan.

Tegar hanya manggut-manggut menggaruk dagunya yang tak berjenggot.

“Aku juga akan memberikanmu sesuatu untuk perjalananmu.” sang guru kembali mengeluarkan bungkusan dari balik kain pinggangnya, “bukalah…”

Tegar membuka bungkusan yang diberikan gurunya. Ada seperangkat pakaian berwarna hitam, satu ikat uang kepeng dan sebuah batu pipih sebesar kepalan tangan berwarna putih. 

“Guru, ini benda apa?” kata Tegar memegang uang kepeng dan batu putih di tangannya.

“Yang di tangan kananmu dinamakan uang, itu untukmu membeli sesuatu di kota nanti. Yang di tangan kirimu adalah batu penyembuh yang dapat menyerap racun jenis apapun,“ jawab Pertapa Putih.

Tegar hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Sekarang ujian terakhirmu. Peganglah gagang pedang petir ini,” kata sang guru menyerahkan gagang pedang petir pada Tegar.

Tangan Tegar bergetar begitu mengambil pedang petir dari tangan gurunya. Tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita. Ada sebuah titik cahaya mendekatinya. Semakin lama cahaya itu semakin membesar hingga terlihat jelas wujud asli cahaya itu adalah seekor naga putih kebiruan dengan tubuh diselimuti petir berkilat-kilat.

Pendekar Pedang PetirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang