Bab 3: Agnes

24 9 0
                                    

flashback

Hari masih gelap, matahari belum keluar dari tempat persembunyiannya. Udara pagi terasa sangat dingin.

Agnes melangkahkan kaki nya beranjak dari kasur, rasa dingin lantai membuatnya bergidik. Ia meraih jam weker di atas meja, samping kasur. Jarum jam menunjuk angka dua, tepat.

Tidak biasanya Agnes terbangun sepagi ini. Jika saja bukan karena ia mendengar bunyi piano nya yang berdenting sendiri, membuat ia terpaksa membuka matanya yang masih ingin terpejam. Kalau saja ada pencuri bodoh yang iseng memainkan pianonya.

Mata tajam Agnes menyusuri kamar yang gelap, mencari sumber suara. Lampu kamar tetap ia matikan, namun matanya masih bisa melihat dengan jelas karena sudah terbiasa dengan gelap, walau semua berwarna hitam.

Tidak ada apapun.
Mungkin tadi ia hanya sedang bermimpi, pikirnya.

Agnes memilih melanjutkan tidurnya. Menarik selimutnya sampai leher, memiringkan tubuhnya ke arah dinding.

Baru saja Agnes memejamkan mata. Ia merasakan hembusan nafas di tengkuknya, Agnes berbalik. Kosong, tidak ada siapapun. Agnes menatap sekitar, ia merasa heran dengan dirinya.

Agnes kembali terpejam. Belum lama ia menutup mata, tiba-tiba saja ia merasa tertarik ke bawah, ada yang menarik kakinya.

Agnes mendongak, menatap ke arah kakinya. Ia menyingkap selimut, tangannya bergerak mencari sesuatu yang bisa di jadikan senjata.

Ia mencabut kabel dari lampu tidur yang terbuat dari kaca. Tubuhnya berangsur turun, namun ia masih belum beranjak dari kasurnya. Ia takut apabila pencuri itu membawa senjata tajam. Agnes tidak berniat untuk melawan penjahat, ia yakin ia akan kalah telak. Ia hanya ingin mengambil ponselnya yang terletak di atas meja belajar dekat pintu kamar mandi lalu menelfon nomor darurat kedua orangtuanya, agar menolongnya, kalau bisa ia ingin segera berlari mencapai gagang pintu kamar dan keluar mencari orang tuanya, tapi ia ragu bagaimana jika pencuri itu sudah mengunci pintu kamarnya?

Agnes menimbang keputusan apa yang akan ia ambil, lari keluar dari kamar dengan resiko mati tertangkap tanpa sempat mencari pertolongan, atau mengambil ponselnya dengan resiko mati tertangkap tapi berhasil menghubungi nomer darurat? Apapun keputusannya tetap saja ia akan mati, begitu pikir Agnes.

Dengan ragu-ragu Agnes bergerak ingin beranjak dari kasurnya. Namun sepertinya ia mustahil kabur tanpa tertangkap, karena Agnes melihat tangan keluar dari bawah kasurnya, Agnes duga itu tangan penjahat yang menerobos masuk ke rumahnya.

Agnes bersiap ingin berteriak, meminta tolong. Tapi tidak ada suara yang keluar. Tubuhnya membeku seiring dengan nafasnya yang tercekat.

Cukup lama Agnes membeku, terdiam.
Tangan itu masih ada di tempat yang sama, diam. Agnes menjadi ragu, apakah benar yang ia lihat, atau itu hanya imajinasi nya yang sedang bermain di kegelapan.

Takut-takut Agnes mendekati bayangan hitam berbentuk tangan di bawah kasurnya, dengan tangan yang memegang lampu tidurnya erat, hingga kuku tangannya memutih.

Tangan itu menghilang.
Agnes menghembuskan nafasnya lega.
"kayaknya gue terlalu paranoid deh, sampe ngebayangin yang aneh-aneh" gumamnya.

Agnes turun dari kasur, berjalan cepat ke meja belajar mengambil ponselnya. Walaupun sudah lega, tetap saja ia cemas jika saja mengingat seseorang menarik kakinya.

Setelah mendapatkan ponselnya, Agnes berniat menghidupkan sakelar lampu kamar yang berada di samping pintu kamarnya. Belum saja ia melangkah.

Serendipity Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang