"Apa kalian merasa ada seseorang yang mengikuti kalian akhir-akhir ini?"
"Selain Iblis itu, enggak ada."
"Gue juga."
"Ayolah Nic, kita baru keluar dari rumah Paman Haris lima menit yang lalu dan lo udah bahas hal itu?"
"Terus lo mau nya kapan, nunggu tu Iblis berhasil bunuh kita? Lo denger sendiri kan, apa kata Paman Haris, semakin lama Iblis itu ada di sekitar kita, semakin banyak juga energi kita yang ia ambil dan membuatnya semakin kuat."
"Bener apa kata Nic, kita gak tau kapan Iblis itu bergerak. Ia bisa kapan saja membunuh kita."
"Bagaimana caranya kita bisa tahu, ia bergerak melalui perantara apa?" ucap Agnes bergumam.
"Dia berada dekat dengan kita, memantulkan apa yang ada di diri kita. Indah tajam, namun juga tumpul. Mudah dihancurkan dan mudah menghancurkan." Saras bergumam mengucapkan ulang perkataan Om Haris yang beliau ucapkan kemarin sore kepada mereka. Haris tidak bisa mengatakan lebih banyak dari itu, karena ia sendiri pun tidak tahu benda apa itu. Ia hanya 'diperlihatkan' apa yang ia ucapkan, tidak lebih.
"Apa maksudnya ya?"
"berada dekat dengan kita..., benda apa yang selalu ada didekat kita?"
"Baju?"Sharon memutar bola matanya, mendengar ucapan Raka.
"Gue rasa Iblis gak suka berdiam di baju."
"cincin?" kali ini Agnes yang berucap.
"Tapi gue gak make cincin." sahut Randu.
"Lagi pula cincin gak tajam, Nes."
"Oiya bener." Agnes mengangguk, ia hanya sekedar mengucapkan apa yang ada di pikirannya, bukan berdasarkan apa yang diucapkan Paman Haris.
"Kalung?"
Lagi-lagi Sharon memutar bola matanya.
"Tajam." tekannya.
Suasana menjadi hening, sibuk memikirkan benda apa yang dimaksud. Sedangkan Rais yang sibuk menyetir tidak berniat membuka suara.
"Memantulkan yang ada di diri kita, bayangan?" gumam Randu.
"Atau pantulan diri kita seperti dicermin?" sahut Sharon.
"Bayangan, cermin, tajam namun juga tumpul dan mudah dihancurkan. Cermin kalau dihancurkan, pecahan nya akan menjadi tajam." Agnes berseru, hampir teriak.
"Wah, iya bener juga! Sejak kapan lo pintar Nes." tangan Saras bergerak menepuk nepuk pelan kepala Agnes.
"Gue udah pintar dari lahir kali, lo nya aja yang baru nyadar."
"Tapi, bagaimana caranya kita tahu cermin yang mana ia tempati?"
"Hancurkan saja semuanya." ucap Nic, membuat semua orang menatapnya.
"Kenapa? Apa ada cara lain selain itu?"
"Kalau seperti itu, gue khawatir kita di kira gila." ucap Randu yang diangguki semua orang.
"Tapi kita gak ada cara lain, kecuali menghancurkan semuanya."
"Em, guys. Tapi yang memantulkan bayangan, tajam bila dipecahkan, enggak cuma cermin, kaca biasa juga bisa." ucapan Raka, membuat semangat mereka redup seketika.
"Lalu apa?" Agnes menyandarkan tubuhnya, suaranya terdengar lemas.
"Bentar, kita urutin satu persatu." Sharon menggigiti bibir bawah dan atasnya bergantian, kebiasaannya ketika sedang berpikir.
"Berada di dekat kita, mungkin maksudnya benda itu ada di dekat salah satu dari kita."
"Memantulkan apa yang ada di diri kita...., bayangan? Sifat?" gumam Raka.
"Emm, mungkin, benda itu terletak di tempat yang akan kalian sukai atau yang sering kalian datangi. Tempat yang mewakili sifat lo atau apa yang lo suka. Hingga jika kalian membayangkan orang itu, maka tempat itu ada di bayangan kalian juga. Contohnya, seperti lo yang suka dengan buku, Randu. Perpustakaan tempat yang pertama kali gue pikirkan ketika mengingat lo." Rais berucap dengan mata yang fokus pada jalanan yang di sekelilingi pohon-pohon tinggi.
Randu mengangguk, apa yang di ucapkan Rais masuk akal. "indah tajam namun tumpul, perhiasan? Berlian? Atau sesuatu yang memiliki dua ujung yang tajam dan juga tumpul?"
"Bisa jadi. Mungkin maksudnya benda itu mempunyai jarum dan permata yang menghiasinya." Agnes berucap, kala mengingat bros yang terbuat dari emas putih milik ibunya. Berbentuk bundar namun memiliki jarum yang tertempel di sisi belakangnya.
"Mudah dihancurkan dan menghancurkan. Kita bisa menghancurkan nya jika kita memaafkan masa lalu kita, tapi jika kita gak bisa memaafkan masa lalu kita. Maka, kita yang di hancurkan." Sharon berucap, menopang dagunya, berpikir. Raut wajahnya terlihat lebih serius dari biasanya.
Randu mengangguk cepat membenarkan pendapat Sharon, ucapan Sharon yang paling masuk akal. "Bagus, sepulang dari sini segera cari benda itu . Setelah ketemu, kita hancurkan bersama."
"Tapi Ran, kita harus sudah bisa memaafkan masa lalu kita." Agnes berucap pelan. Memaafkan, mungkin terdengar mudah, tapi sulit bila dilakukan.
"Kita harus bisa. Kita cuma ada dua pilihan, memaafkan atau mati. Gue yakin, kalian gak akan mau mengambil opsi ke dua.”*****
Prang!
Saras meringis pelan, tangannya tidak sengaja menyenggol vas yang ada di atas meja hingga vas dan isinya berserakan mengotori lantai.
Sesampai di rumah ia segera menuju ke ruang belajar tempat dimana ia sering membuat konten untuk akun sosmed nya, mencari benda yang indah berbentuk tajam namun juga tumpul. Sudah dua jam ia meobrak abrik tempat itu, hingga ruangan itu sekarang menjadi seperti ruangan yang sudah lama tidak berpenghuni, namun benda yang di cari tidak juga ditemukan.
Saras merebahkan dirinya di lantai yang penuh dengan barang-barang yang berserakan. Ia menghela nafas lelah.
"Apa benda itu gak ada di ruangan ini? Tapi ini tempat yang paling sering ku datangi." gumamnya menatap langit-langit.
Jarum jam menunjuk ke angka tujuh. Saras ingin sekali memejamkan matanya dan terbuai ke alam mimpi. Namun mengingat apa yang akan dilakukan Iblis itu kala ia tidur, membuat ia urung. Bukannya rasa lelah hilang, yang ia dapat malah sebaliknya. Saras menatap langit-langit, tempat yang mencerminkan dirinya, tempat yang ia sukai, gadis itu memukul mukul kepalanya pelan. Tunggu, tempat yang ia sukai?
"Ah, bukan ini tempatnya!" Saras berdiri, menyambar ponsel yang terletak di atas meja dan berlari keluar.
*****Angin berembus membuat helaian rambut Saras beterbangan. Seperti biasa tidak ada bintang yang menyinari langit malam ini, bulan hanya bersinar sendiri di atas sana. Terlihat kesepian, sepertinya.
Saras berdiri di besi penyangga, menatap ke bawah dari ketinggian sepuluh lantai di atas gedung rumah sakit. Bukan hal sulit meminta kunci atap gedung pada petugas yang bekerja, bagi Saras yang notabenenya putri pemilik rumah sakit tempat ia berdiri sekarang.
Bagaimana Saras bisa lupa, bahwa inilah dirinya. Gadis remaja tujuh belas tahun yang senang menatap langit malam yang gelap dan menikmati embusan angin dari atas gedung rumah sakit, tempat adiknya dulu di rawat. Sambil menatap ke bawah dari batas besi penyangga, dan memikirkan untuk jatuh dari atas sini berkali-kali namun urung, kala mengingat penyebab perginya adik satu-satunya. Setidaknya ia harus menerima hukuman dengan hidup dipenuhi rasa bersalah seperti ini.
Saras memukul mukul pelan pipinya. Tujuannya ke sini bukan untuk mengingat sang adik, namun untuk memutus tali takdir.
Saras menatap sekitar dengan bantuan cahaya ponselnya. Matanya menelisik di setiap tempat dan sudut, namun nihil, tidak ada apa pun di tempat itu.
Saras berjalan gontai, mungkin benda itu memang tidak ada dengannya, pikir Saras. Tubuhnya benar-benar lelah saat ini, ia memutuskan untuk pulang.
"Kyaaa" Saras terpekik tertahan, kakinya tersandung membuat ia tersungkur dengan lengan lebam akibat tertimpa vas bunga saat ia mencari pegangan untuk menopang tubuhnya, yang sengaja di letakkan di tempat itu.
"Akh!" Saras meringis pelan. Jarinya tertusuk benda tajam saat ia meraba mencari ponselnya di kegelapan.
"Apa itu?" gumam Saras, matanya menangkap suatu yang berkilap saat sinar ponsel tidak sengaja mengenai benda tersebut.
Deg! Jantung Saras berpacu cepat tangannya gemetar meraih benda yang menusuknya tadi. Indah tajam dan tumpul, apa ini bendanya? Sungguh? Sebuah planchette yang telah patah sebagian sisinya membuat sisi yang lainnya menjadi berbentuk runcing. Tunggu sebentar, Saras mengenal planchette ini! Itu miliknya! Ia yakin, ia mengenal baik benda miliknya. Planchette itu kembali padanya, padahal Saras sudah meninggalkannya di villa. Karena kesal Saras melempar planchette bersama papannya ke dinding kamarnya, hingga planchette itu patah sebagian. Lalu ia membakarnya. Tapi, bagaimana bisa, planchette itu ada di sini?*****
Suara langkah kaki sekelompok orang yang berlari, bersahutan terdengar nyaring di lorong rumah sakit yang sepi. Berulang kali mereka mendapat teguran dari pekerja di rumah sakit tersebut, namun tak mereka hiraukan.
Brak!
Belum sempat Raka membuka pintu di depannya, pintu terbuka begitu saja oleh tubuh Saras yang terhempas ke arah mereka.
"Saras!" mereka terpekik.
Dengan wajah yang berlumuran darah, tangan Saras terulur menyerahkan Planchette berbentuk oval dengan lubang berbentuk lingkaran di atasnya, berwarna coklat tua, dengan ukiran bulan dan matahari bersisian, dan ujung planchette yang berbentuk runcing akibat patah.
"La-lari." ucapnya tersengal.
Randu yang pertama kali tersadar dari kaget, dengan cepat membaca situasi. Ia berlari sekuat tenaga setelah mengambil planchette dari tangan Saras. Sementara temannya di belakang berusaha menghadang sang Iblis, Randu mencari tempat untuk menghancurkan perantara Iblis itu dengan dunia mereka. Sebelum Iblis itu semakin kuat, dan berhasil merebut jiwa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity
HorrorPROSES TERBIT (Part masih lengkap) Tidak! Cermin itu pecah. Lalu bagaimana sekarang? Bagaimana cara mereka kembali? Bagaimana caranya memutus benang takdir yang mengikat mereka? Apa mereka akan terkurung selamanya di dunia tengah dan mati perlahan? ...