Aula Teater 2

12 1 0
                                    

Dingin malam ini kian menusuk tulang, menembus melewati pori-pori kulit. Viola, Adrian, Zahara, Danu, dan Alex tetap terjaga di depan klinik kampus tempat Dewi dirawat, meskipun mereka juga harus pulang. Hanya mereka mahasiswa yang tersisa di sini, karena sekarang tepat pukul sepuluh malam. Lapar, letih, bosan, dan dingin mereka rasakan.

Seperti memikul perasaan bersalah, pundak mereka terasa begitu berat. Tak ada kata, tanpa suara, hanya diam dalam naungan rembulan. Viola duduk memeluk kakinya sendiri, tepat di depan pintu klinik. Alex masih terus meraba tengkuknya. Danu tertidur dengan bersandar di bangku taman, sedangkan kepala Zahara berada di pangkuannya. Hanya Adrian yang masih setia melihat Dewi dari balik kaca jendela. Sejak kejadian tadi siang Dewi masih dalam lelapnya, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan sadar.

"Vi, maafkan aku". Adrian berbisik pelan.

"Ini semua salahku, Dri". Viola menjawab dengan air mata.

"Pulanglah, orang tuamu pasti khawatir". Alex menambahkan.

Viola hanya menggeleng tanpa mengangkat kepalanya. Tanpa sadar, Danu sudah tiba di hadapan mereka bertiga.

"Hei, kalian. Maafkan aku". Sambil menyodorkan tangan untuk Adrian.

"Aku juga minta maaf, mungkin hal ini tidak akan terjadi bila kita bicara baik-baik. Aku Adrian, ini sahabatku Alex, Viola, dan yang sedang terbaring di dalam adalah Dewi". Adrian menyambut hangat tangan Danu.

"Aku Danu, dan itu kekasihku. Zahara". Ucap Danu sambil menunjuk Zahara yang sedang tidur di bangku.

"Apa yang membuat semua ini menjadi kacau?" Tanya Danu.

"Aku juga tidak terlalu mengerti, Viola hanya menjawab buku usang milik Dewi. Selebihnya ia tidak tahu banyak".

"Ada misteri pada buku itu". Sontak mereka dikagetkan suara Pak Darmawan yang sudah dekat.

"Awalnya saya melihat Dewi sedang ditemani sosok yang masih samar bayangnya, semakin hari sosok itu semakin kuat. Puncaknya adalah ketika Dewi merasa ketakutan, pada saat itu bayangan yang terus mengikutinya dapat masuk ke dalam raga". Tutur dari Pak Darmawan.

"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" Pertanyaan dari Zahara yang sudah sadar dari tidurnya.

"Tunggu hingga besok pagi. Jika situasinya belum juga membaik, akan saya hubungi seseorang yang paham spiritual. Jagalah Dewi dan diri kalian baik-baik, saya pamit pulang. Malam ini Pak Hendra dan Pak Yanto bertugas, jika butuh bantuan hubungi mereka di pos. Saya permisi".

Setelah kepergian Pak Darmawan mereka hanya bisa diam. Diam dalam keheningan. Keheningan malam yang akan sangat panjang mereka lewati. Masih terjaga di luar klinik kampus, perlahan mereka mencoba memejamkan mata.

"Kalian mendengarnya?". Tiba-tiba Alex mengagetkan. Sisanya mencoba menegaskan.

Lirih. Lirih sekali suara yang mereka dengar. Tapi terasa sangat dekat. Seperti...

"Dri...! Dewi hilang...! Dewi hilang...!" Viola teriak ketakutan.

Semua kaget. Padahal satu-satunya jalan keluar adalah pintu klinik yang mereka jaga ini. Tidak mungkin Dewi pergi tanpa melewatinya. Kemana harus mencari? Mereka hanya berlima, ditambah petugas keamanan menjadi tujuh, mencari Dewi di area kampus seluas delapan hektar adalah hal yang pasti memakan waktu lama. Kamera pengawas? Kalian bercanda. Hanya di area vital dipasangi kamera pengawas.

"Guys, did you see that?" Tunjuk Zahara.

Terlihat Dewi sedang berjalan tanpa alas kaki, dengan baju pasien operasi warna hijau. Rambut panjangnya terurai, kepalanya menunduk kebawah. Seperti tidak sadar bahwa dia sedang berjalan. Berjalan perlahan hampir mendekati gedung yang bersebelahan dengan bangunan utama kampus. Tanpa pikir panjang mereka mengejar Dewi, hanya butuh beberapa langkah besar untuk mencapai aula teater. Tapi apa yang mereka lihat adalah sangat tidak mungkin.

Dewi sudah berada tepat di tengah panggung, duduk bersimpuh menggunakan pakaian ala penari jawa. Bukan hanya Dewi yang berada di atas panggung sekarang, pemain alat musik itu, sinden itu, siapa mereka? Sejak kapan mereka hadir di sana? Dewi menari dengan anggun nan gemulai, meskipun dirinya menari dengan mata tertutup. Menari sambil tersenyum, senyum manis yang sangat Viola rindukan.

Sinten sinambat ing wewangi iki
Amung siro yekti
Esemme kang manis madu
Duh wong bagus

Trisno lir tirto gumanti dahono
Awit siro marang roso
Endah rumembyak rekmamu
Dadyo angenku saben dalu

Wengi kadyo setro
Kagowo lungane baskoro
Peteng tanpo condro
Tanpo kartiko

Alunan musik itu, nyanyian sinden itu, Alex sudah mendengarnya sejak masih di klinik.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mereka Yang Kusebut Hantu 2 (Sekuel) (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang