16

1.2K 131 46
                                    

Aeri mungkin tidak ingin tahu, tetapi mendengar suara wanita yang familier masuk ke dalam rungu saat mengangkat teleponnya agar tak mengganggu tidur Jimin, Aeri entah mengapa penasaran.

Tak tahu harus berekspresi apa, Aeri sempat mematung untuk jangka waktu yang lama. Sampai Aeri harus mengingat kembali kenangan buruk yang pernah ia lalui saat ia kini mencoba melupakannya.

"Jimin, kau berada di sana? Juhoon ingin kau bertemu dengannya lagi. Dia rindu denganmu."

Lagi, katanya? Jadi sebelumnya mereka sudah bertemu? Apakah Jimin benar-benar tulus kembali padanya, atau ingin membuatnya sakit kembali?

Pip. Aeri mematikan teleponnya. Aeri menggigit bibir, berusaha menahan emosi yang hampir keluar dari pelupuk matanya. Tangannya mengusut keningnya yang seketika pening. Ia hampir menabrak meja, ketika memundurkan badannya. Cobaan apa lagi ini? Setelah ia merasa sedikit senang, rasa sakit itu datang lagi menyerang. Tidak, Aeri tidak akan diam begitu saja.

Aeri mencoba tenangkan diri untuk bisa mengakhiri panggilan tersebut dengan cepat. Aeri mungkin ingin melupakan apa yang sudah terjadi dengan masa lalu, namun ia tak bisa begitu saja melupakan suara di balik telepon tersebut. Seungyeon. Wanita licik itu ternyata masih menghantui hubungan mereka. Bahkan, menggunakan anaknya. Aeri sudah terluka ketika Seungyeon mengandung darah daging Jimin, namun tak ada apa-apanya dibandingkan mengetahui Jimin masih berhubungan dengan wanita itu. Jimin sendiri mengatakan bahwa ia tak pernah berniat menghamili wanita licik itu. Namun, sekarang ia bahkan sepertinya mengakui keberadaan anak tersebut. Lagi-lagi Jimin membuatnya kecewa.

"Oh, shit. Seharusnya aku tidak menangis seperti ini."

Aeri mengusap air matanya yang merebak, meloloskan diri tanpa kesadarannya. Bukan tak lagi karna hatinya terlalu sesak. Bagaimana tidak jika ia masih mencintai Jimin kendati benci juga sama besarnya?

Hingga beberapa saat, Aeri lantas menyibukkan diri di balkon hanya sekedar menatap gedung-gedung dan menara eiffel yang terlihat menjulang tinggi sembari memikirkan cara untuk menghilangkan nama wanita yang membuat dirinya hancur berkeping-keping. Tentu ia takkan menegaskan hal itu pada Jimin, karena mereka sedang berbulan madu. Atau entah ini adalah rencana licik dari wanita itu untuk menggagalkan bulan madunya. Sungguh, ia masih menyimpan memori untuk mengenal Jimin lebih baik untuk tidak memakai emosi.

"Aeri, kau berada di sini ternyata."

Dua buah tangan mendekap perutnya setelah menggelincirkan kata-kata yang manis seperti ucapan selamat pagi dengan sedikit kecupan romantis di bahunya. Aeri tak menolak namun hanya tersenyum dengan tatapan yang melekat pada Jimin. Wajah pria ini yang membuat ia jadi merasakan sakit kembali. Harusnya, semenjak awal memang ia membencinya dengan penuh.

Namun, ia berbalik badan, lalu ulurkan tangan untuk mencapai leher. Mendekatkan wajah untuk mengecup semua sisi wajah yang ia benci sekaligus ia cintai, dan berakhir di bibir. "Sarapan pembuka yang nikmat."

Jimin terkekeh pelan. Lalu membawa kedua kaki untuk naik ke pinggulnya, menggendongnya seperti koala. Lalu memagut bibir Aeri kembali. "Terlalu pagi jika ingin diteruskan."

"Tak masalah." Seolah hati berkedut untuk tak menginginkan, Aeri mempersiapkan segala rencana apapun risikonya. Selepas bagaimanapun esok akan berjalan, ia masih tetap teguh pada hatinya sebagai kesungguhan.

"Tidak sekarang. Kita harus bersiap-siap."

"Jadi kau menolakku?" Aeri menyusuri dada Jimin dengan jemari lentiknya. Ia tak menatap Jimin, hanya memandang kosong lurus pada apa yang ia lakukan.

"Tidak. Kita harus sarapan lalu bersiap-siap untuk jalan-jalan menikmati kota ini, Sayang. Kita bisa melakukannya nanti."

Aeri mendongak, lalu menarik kerah piyama sang suami. Tak berekspresi namun kedua tangannya membuka kancing dengan lihai dan menggoda. Buat Jimin mematung dan menahan pergerakan Aeri yang terkesan agresif, penuh penolakan atas apa yang ia rencanakan pagi ini.

Fake LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang