03

3.7K 471 57
                                    

Pagi yang cerah, matahari kini sudah begitu tinggi karena sudah hampir siang. Sinarnya yang mengintip melalui celah jendela kamar begitu mengusik gadis yang kini masih dalam pelukan sang suami.

Aeri kini membuka matanya perlahan, mengerjap, tapi tak lama ia terkejut bukan main saat menemukan pria yang sudah delapan bulan menikahinya kini sedang memeluknya, begitu erat. Pertama kalinya, setelah sekian lama.

"Jimin." Aeri dengan suara serak khas bangun tidurnya membangunkan Jimin dengan gusar.

Jimin membuka matanya, karena terusik dengan suara Aeri mengalun indah masuk ke dalam rungunya. Berikutnya ia merunduk, mengetahui Aeri sudah terbangun. Ia mengucek matanya. "Sudah siang, ya?"

Aeri menatap Jimin datar dan menjauhkan badannya dari Jimin, kendati ia sedikit suka, ia tak ingin berlama-lama. Taksi pada tubuh Jimin sangat menenangkan bagi siapapun yang menciumnya. "Apa yang terjadi? Mengapa kita bisa saling berpelukan disini?"

Pertanyaan to the point Aeri terlontar dan itu membuat Jimin tersenyum. Sudah menduga bahwa Aeri tak akan luput menanyakan hal ini padanya. "Aku bahkan tak percaya kau menarikku dan membawaku memelukmu."

Jimin kini terlihat serius, tapi matanya menyiratkan sendu. Hanya sekedar pelukan, Jimin pun sangat rindu. "Aeri, bisakah seperti ini seperti dulu?"

Aeri lebih memilih bangun dan menggelung rambutnya, tanpa menjawab pertanyaan Jimin. Jimin pun bangun, tangannya menggapai pinggang Aeri, kepalanya merunduk guna menghirup raksi badan sang istri.

"Biarkan dulu seperti ini." Jimin bergumam pelan.

Aeri hanya diam dan masih merapikan rambutnya, dan membiarkan bibir Jimin mencium ceruk bahunya yang terbuka, untuk pertama kalinya, lagi. Jangan menyangka, bahwa Aeri yang jahat di sini. Karena, kendati ia membenci masa lalu Jimin, ia masih menerimanya walaupun ia bersikap sedemikian rupa.

"Lepaskan pelukannya. Aku ingin kuliah. Dan aku belum membuatkanmu sarapan." Setelah beberapa menit berlalu, Jimin tak beranjak. Aeri sudah tidak tahan untuk tidak segera pergi dari sana.

Jimin malah mengeratkan pelukannya, kepalanya mendongak. Menatap wajah Aeri dari samping. Matanya meneliti lekukan wajah sang istri, begitu bersyukurnya dia bisa mendapatkannya walaupun belum sepenuhnya. Ya, hatinya. Karena hatinya masih belum siap menerima Jimin sepenuhnya karena masa lalunya.

"Jimin."

"Baiklah." Jimin mengalah, yang ada nanti Aeri takkan sama seperti ini. Hanya mengalah, dan itu semua akan beres. Ia mengendurkan pelukannya dan beranjak dari sana.

"Aku tahu kau melakukan ini karena ibu, tapi setelah ibu tidak disini, kuharap keadaan menjadi seperti semula seperti biasa."

Jimin tersenyum pilu. Inikah cara pandang Aeri terhadap dirinya? Tapi, ingin menjelaskan pun Aeri tak ingin mendengarnya. Gadis itu sudah tersakiti oleh Jimin, mana mungkin Aeri akan memandangnya seperti dulu? Jimin kemudian memandang sendu punggung Aeri yang masih membelakanginya, ia kemudian berjalan ke pintu untuk keluar. Bukannya ia lemah, tapi ia membendung perasaannya agar tak semakin sakit. Sebelum benar-benar keluar, ia mengatakan.

"Aeri, kendati benakmu percaya kau menganggapku seperti itu, maka aku hanya mengatakan dengan hatiku sepenuhnya bahwa aku melakukan hal ini hanya untukmu."

❤❤❤


Seperti kertas kosong yang tertoreh pena, sama halnya juga hati yang tertoreh luka, tidak akan sama lagi, tak akan lagi utuh. Begitu luka yang ditorehkan terlalu dalam, seberapa bencinya seseorang, hatinya terbesit rindu walau sudah dikecewakan.

Fake LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang