06

3K 420 66
                                    

Aeri melepas apron dan menggantungnya di dekat wastafel. Ia sudah siap menyiapkan sarapan pagi seperti biasa untuk suaminya, Jimin. Beberapa hari ini, mereka ada sedikit perubahan, lebih banyak bercakap-cakap, walaupun masih ada jarak yang tak terlihat.

Ia duduk berhadapan dengan Jiminㅡyang kini pria itu sudah menyuap makanannya ke mulutnya. Aeri tak fokus, ia memandangi Jimin terus menerus. Pikirannya berkelana, bertanya-tanya mengapa Jimin mempunyai sindrom itu?

"Kau memandangiku seakan kau ingin memakanku, Aeri-ya."

Aeri tidak merasa malu sedikitpun. Memang begitu adanya. Ia mencoba tersenyum. Hanya saja, pikirannya akan sindrom yang diderita Jimin terus berkeliling dalam memorinya. Ia merasa sedikit terbebani.

"Aku baru menyadari jika kau lebih tampan sekarang."

"Kau memang harus mengakui itu," ujar Jimin salah tingkah. Ia tak pandai bermain kata, jadi ia hanya diam-diam tersenyum. Aeri tak melanjutkan juga, ia hanya terdiam dan fokus memakan sarapan buatannya. Mungkin perkataan Yoongi tempo hari tentang memberi sedikit celah pada Jimin memang benar, ia sepertinya harus mengerti tentang apa yang ingin Jimin jelaskan.

"Jimin, ayo ambil cutimu."

Jimin tersedak karena terkejut, Aeri tiba-tiba membicarakan cutinya. Padahal ia bisa cuti sebanyak yang ia mau tapi Aeri tak pernah membicarakannya, bahkan ketika mereka menjadi pengantin baru. Gadis itu langsung memberinya air putih, merasa bersalah. Memang terdengar dadakan, tapi Aeri ingin memberikan kesempatan kedua untuk Jimin memilikinya.

"Untuk apa?"

Aeri menjawab dengan cepat. "Berlibur."

Kata itu sedikit nyaman di benak Aeri untuk tidak menyatakannya secara terang-terangan. Jimin terlihat tidak percaya akan pintanya.

"Berlibur ... kemana?"

"Maldives."

"Bukankah kau ingin ke Paris dulu?"

Aeri bersemu padam, itu kan keinginan terdahulunya saat mereka masih menjadi kekasih? Masihkah Jimin masih mengenang semua kenangan mereka? Ia saja tidak ingat kenapa mereka membahas Paris. Karena segala sesuatu tentang Jimin, ia sudah berusaha melupakannya waktu itu, tanpa Jimin tahu bahwa butuh waktu lama untuk melupakannya.

"Aku sudah berganti selera," kilah Aeri. Dia menggigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan. "Yang kau kenal dulu, sekarang sudah berbeda Jimin."

Jimin terkekeh, lebih tepatnya miris. "Tapi, aku masih mengenalmu seperti yang dulu, Aeri. Kau, dan aku ... hanya berselisih paham saja. Aku tidak bisa memahamimu dengan caraku, tapi kau juga salah mengartikan bagaimana memahamiku."

Aeri meletakkan sendoknya, ia memandang Jimin, memberikan kesempatan mendengarkan penjelasan dari Jimin, walaupun ia tahu akan mendengar kesakitan yang lain pada dirinya.

"Kalau begitu, jelaskan padaku. Aku akan memberimu waktu untuk mendengarnya."

***

"Ini terlalu dekat, mengapa berbicara saja harus seperti ini?"

Bukan hanya terlalu dekat lagi, mereka bahkan sangat intim. Jimin memangku Aeri di sofa ruang TV, setelah mereka menyelesaikan sarapan mereka.

"Aku hanya ingin berbicara, sambil memanjakan istriku." Jimin tersenyum pedih, "aku takut kau langsung menjauh sebelum aku mengatakan lebih banyak."

Aeri menatap netra suaminya, mereka sama-sama saling bertatap. "Itu resikomu karena aku memberimu sedikit waktu untuk menjelaskannya."

"Aku tahu."

Fake LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang