Soyeon— penyihir yang menguasai Brunhilde itu membawa kami melewati jembatan dan masuk ke dalam sebuah rumah kayu yang tampak hampir rubuh. Aku melihat ke sekeliling rumah, namun tidak ada satupun cermin didalamnya. Syukurlah aku membawa cermin yang dapat aku gunakan sebagai senjataku, karena yang aku dengar sebelum pergi kesini bahwa ia penyihir yang sangat takut dengan cermin.
"Ah, siapa pria tampan disampingmu ini?" ucapnya sambil mendekati Jeno, kulirik dirinya dengan tajam ketika ia berani mengelus wajah pemuda itu.
"Kesatriaku."
Lagi dan lagi aku melihat senyum licik itu terlukis pada wajahnya, "Oh, milikmu. Kurasa akan sangat bagus jika aku menukar dirinya dengan batu mulia yang ada di dalam sana."
Aku sontak tertawa meremehkannya, "Apa yang baru saja kau ucapkan terdengar sangat murahan untukku. Tapi itu tidak akan terjadi, aku akan membawa batu mulia dan dirinya bersamaku, nasib buruk juga menantimu di depan."
Aku tahu bahwa perjanjian yang ia ucapkan hanya untuk memancing amarahku, tapi nyatanya tidak. Justru semua kalimat yang keluar dari mulutku membuat emosinya meledak, ini saat yang aku tunggu untuk menghancurkannya.
Ia mendorongku dan mencekikku, nyeri rasanya ketika kuku panjang miliknya menusuk leherku, "Kau salah berurusan denganku, manis."
Aku hanya tersenyum sinis menanggapinya. Kulihat kalung dengan liontin hitam itu menyala, pertanda bahwa segala roh jahat yang ada di dalam sana akan segera keluar.
Aku takut, sangat takut. Aku kehabisan napas hingga tanganku bergetar kencang karena cekikannya.
"Kenapa kau mencekiknya? Kau setuju dengan semua kalimat yang keluar dari mulutnya, nona?"
Ia melepaskan cekikan mematikan itu dari leherku, namun ia berjalan ke arah Jeno dengan mengucapkan mantera hingga bayangan hitam keluar dari dirinya.
Dengan cekatan aku mengambil cermin yang sudah kusiapkan, aku berlari tanpa ragu ketika bayangan hitam itu mulai menghampiri Jeno. Aku berhasil menghadangnya, semua roh itu berbalik arah dan mulai menyerang Soyeon.
Ia berteriak ketakutan, aku tidak boleh lengah dalam situasi seperti ini. Meskipun berat rasanya memegang cermin ini, aku terus berjalan maju dengan kekuatanku. Ia terus berteriak hingga terjatuh.
Aku membungkuk di atas penyihir itu, tanganku rasanya ingin patah menahan cermin ini. Untung saja Jeno segera menghampiri dan membantuku menahan cermin ini. Tempat ini berguncang hebat ketika ia mulai kehabisan napas.
"Dekati batu mulia itu, Jeno! Ketika kaca itu pecah kau bisa mengambilnya dan kita bisa berlari pergi dari sini!"
Aku menginjak pundaknya seraya tertawa meremehkan dirinya yang sudah sekarat, "Kau pikir aku pergi kesini tanpa persiapan apapun? Aku tidak sebodoh yang kau kira."
Tepat setelah mengatakan itu, ia pingsan bersamaan dengan hilangnya bayangan hitam itu. Semua yang terdapat dalam rumah kayu inipun pecah, termasuk cermin yang aku pegang dan kaca yang melindungi batu mulia itu.
Jeno langsung mengambil batu yang kucari dan menarik tanganku untuk lari keluar bersamanya.
"Kamu hebat tadi, Siyeon," ucapnya sambil menepuk puncak kepalaku. Aku tersenyum lega, "Kupikir aku akan mati mengenaskan di dalam sana tadi."
"Ini batu terakhir milikmu, kita akan sampai disana tepat ketika kakakmu bertunangan, bukan?"
Aku mengangguk antusias, "Pasti ia berpikir kalau aku tidak akan kembali."
Aku menghampiri kudaku, menaikinya dan bergegas pergi menjauh dari rawa sebelum penyihir lemah itu muncul lagi.
"Ayo kita pulang!"
𓂃𖥔 𝕱𝖑𝖔seri𝖆𝖓𝖓𝖊, 1037.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daredevil.
FantasyMereka menatapku seolah aku tidak akan bisa menjadi ratu selanjutnya, namun kurasa mereka tidak mengenalku yang sesungguhnya, aku Park Siyeon, putri kedua dari Floserianne yang penuh ambisi.