Telah berpulang

1.1K 88 0
                                    

Cafe bernuansa klasik elegant menjadi tujuan Braga saat ini. Setelah menghadiri pesta pernikahan mantan kekasihnya tadi, memang Braga menyanggupi ajakan para sahabatnya untuk bertemu di sebuah cafe.

Ekor matanya menyoroti setiap sudut cafe tersebut guna mencari keberadaan sahabat-sahabatnya yang telah tiba lebih dulu. Banyaknya pengunjung cafe malam ini sedikit menyulitkan Braga menemukan keberadaan orang yang tengah dicarinya itu.

Pandangan mata Braga berhenti di salah satu meja yang terletak di pojok kanan cafe tepat di sebelah jendela besar. Di sana  sudah berkumpul para sahabatnya dengan personil lengkap. Ada Ali, Rico dan Tommy tentunya.

"Lama amat loe, udah ditungguin juga dari tadi!" celetuk Tommy sesaat setelah Braga mendekat dan duduk di kursi yang berada di sebelahnya.

"Sorry, gue ada urusan sebentar tadi," jawab Braga menjelaskan.

"Urusan apalagi sih, Nyuk? Masih soal hati loe yang berantakan itu. Sudahlah lupain aja. Udah jadi hak milik cowok lain, udah haram buat loe," ucap Rico sembari mencomot kentang goreng di depannya.

"Ya nggak semudah itulah, Ko!" Braga menjawab sambil mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan cafe.

"Bukannya tadi di pesta loe pergi duluan ya, emang loe dari mana?" tanya Ali penasaran.

Belum sempat menjawab pertanyaan sahabatnya itu, seorang pelayan datang menghampiri meja mereka.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya sang pelayan dengan ramah.

"Moccachino nya satu ya Mbak, sama nasi goreng jawa tanpa cabe dan merica."

"Udah mas itu aja? Mohon ditunggu ya, Mas."

"Iya Mbak terima kasih," ucap Braga kepada sang pelayan.

"Gue tadi gak kemana-mana, cuma nenangin diri aja. Susah sayang sama orang sekalinya sayang salah orang." Braga melanjutkan kata-katanya.

"Mantan itu bukan jodoh karena kalo memang jodoh tidak akan jadi mantan. Jadi kalo belum ketemu jodoh ya lupakan mantan," bijak Rico.

"Sumpah gue gak nyangka banget. Mantan loe bakal nikah secepat ini, mana suaminya dewasa banget lagi. Padahal dulu gue berharapnya elo bisa nikung dia di sepertiga malam," cerocos Ali panjang lebar.

"Elo nyuruh si Braga jadi pebinor, Al? Wah kacau nie anak."

"Ngaco aja loe, emank gue cowok apaan!" jawab Braga tak terima.

"Mana ada, maksud gue dulu sebelom si Zahra nikah, dodol!" elak Ali.

"Lagian kalian ini ada-ada aja sih. Braga tuh gak ada tampang-tampang pebinor ya," bela Tommy kepada Braga hingga membuat dua sahabat itu bertozz ria. Ali dan Rico hanya mencebik melihat aksi kedua sahabatnya itu.

"Yang namanya khilaf pasti tanpa terukur dan terencana, ingat kejahatan bukan hanya dari niat pelaku tapi juga karena adanya kesempatan. Waspadalah waspadalah!"

"Anjayy!! Slogan dari mana tuh?" timpal Braga diiringi gelak tawa mereka berempat hingga menimbulkan kegaduhan yang membuat pengunjung lain mengalihkan pandangan ke arah mereka.

Tawa mereka terhenti saat seorang pelayan datang membawa makanan pesanan Braga tadi. Setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan cafe. Braga mulai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dengan lahap, sedari tadi perutnya sudah demo minta diisi karena waktu menghadiri pesta pernikahan sang mantan tadi Braga tidak berselera menyentuh hidangan yang disajikan di sana.

Bagaimana mau berselara hatinya saja masih berantakan sampai sekarang. Wkwkwkkkkkkk.....upss......

"Makan yang banyak, Nyuk. Karena pura-pura bahagia juga butuh tenaga," celetuk Rico sambil menepuk pundak sahabatnya itu.

"Sialan loe!"

Canda tawa mewarnai kebersamaan empat sekawan itu, hingga sedikit banyak membantu Braga sejenak melupakan segala kegundahan hatinya. Mereka banyak membahas tentang rencana apa yang akan diambil untuk masa depannya kelak. Karena sebentar lagi mereka akan memasuki dunia perkuliahan. Dengan pilihan kampus dan jurusan masing-masing sesuai dengan minat dan cita-citanya.

Walaupun mereka nanti tidak akan memasuki kampus yang sama tetapi mereka telah berjanji untuk tetap saling menjaga persahabatan, yang telah terjalin selama kurang lebih tiga tahun ini.

Tommy akan melanjutkan kuliahnya di luar negeri sesuai anjuran kedua orang tuanya, karena Tommy merupakan seorang putra tunggal dari orang nomer dua di kota Surabaya. Sedangkan Rico akan melanjutkan kuliah di Jakarta tempat ia dilahirkan karena Ayahnya juga bekerja di sana. Dulu dia pindah sekolah ke Surabaya sejak duduk di bangku SMP, waktu itu Ibunya baru saja meninggal sehingga dia sengaja dititipkan kepada Paman dan Bibinya karena sang Ayah sibuk bekerja.

Hanya Braga dan Ali yang akan tetap melanjutkan kuliah di kota ini, karena Braga hanya tinggal berdua dengan sang Nenek jadi tidak memungkinkan untuk Braga meninggalkan Neneknya seorang diri. Sementara Ali akan kuliah jurusan teknik, dia berencana kuliah sambil bekerja karena tidak mungkin baginya untuk membebankan lagi biaya kuliah kepada orang tuanya yang hanya seorang buruh pabrik. Dari keempatnya memang Ali sendiri yang berasal dari keluarga sederhana.

Braga merasakan getaran benda pipih yang berada di saku kemejanya, menandakan ada sebuah panggilan masuk.

"Kalian diem dulu, gue ada telepon!"

Nama sopir pribadi sang Nenek muncul di layar ponselnya. Segera dia menggeser icon warna hijau dan mulai berbicara.

"Halo Pak Slamet, ada apa?"

"............"

"Apa? Nenek masuk rumah sakit! Rumah sakit mana?" Wajah Braga terlihat panik dan cemas.

"............."

"Baik saya ke sana secepatnya." Panggilan pun diakhiri tut tut....

"Telpon dari siapa, Ga? Apa yang terjadi sama Nenek?" Raut kecemasan terlihat dari ketiga sahabatnya itu.

"Gue juga nggak tau, gue mau ke rumah sakit sekarang."

"Kita ikut!" seru ketiga sahabatnya yang dibalas Braga dengan anggukan kepala dan mereka berempat pun bergegas menuju rumah sakit tempat Nenek dirawat.

*****

Suara langkah kaki berlarian terdengar menggema di sepanjang koridor rumah sakit. Setelah tadi Braga sempat bertanya kepada resepsionis di mana letak kamar Neneknya dirawat.

Di depan ruang tunggu terdapat Bi Nur dan Pak Slamet sedang duduk di sederet kursi dengan gelisah menunggu kabar dari dokter yang sedang menangani majikannya. Mereka berdua adalah asisten rumah tangga dan sopir pribadi keluarga Braga.

Dari kejauhan terlihat beberapa anak muda berlarian mendekat.

"Nenek kenapa Bi?" tanya Braga berusaha mengatur nafasnya yang memburu akibat berlarian tadi, kepanikan terpancar jelas dari wajahnya. Begitu pun dengan ketiga sahabatnya.

"Nyonya besar sudah pingsan di kamarnya waktu Bibi masuk membawakan wedang jahe, Den! Bibi panggil-panggil tapi Nyonya gak nyaut lalu Bibi keluar panggil Pak Slamet dan langsung kita bawa ke sini. Bibi panik Den!"

"Sekarang gimana kondisi Nenek, Bi?"

"Masih diperiksa dokter di dalam, Den."

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya pintu ruangan terbuka. Semua orang sontak berdiri untuk menghampiri sang dokter yang telah menangani sang Nenek tadi.

"Dok, bagaimana keadaan Nenek saya?" cerca Braga tidak sabaran.

Dokter wanita berusia 40 tahunan itu menundukkan kepalanya sejenak setelah melepaskan masker yang menutupi wajahnya.

"Maaf kita tidak bisa menyelamatkan pasien," ucap sang dokter penuh penyesalan.




























Different Love [DREAME/INNOVEL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang