Alena beranjak dari tempat duduk, berjalan ke arah jendela yang menampakkan ke indahan semesta alam raya ini. Melihat sekitar membuat dirinya terbawa suasana, memori lama kini berputar lagi di benaknya. Semenjak kepergian ibunya, hidup Alena menjadi amat sangat berubah. Satu kata yang terlintas di benaknya, Hancur. Hari-hari Alena menjadi sangat hampa, sekarang Alena tidak tau akan menjalani hidup seperti apa.
Sudah 2 bulan tepat kepergian ibunya, Alena hanya mengurung diri di kamar, tidak ada minat untuk pergi keluar rumah mencari udara segar. Kecuali, untuk pergi ke sekolah. Walau kadang Alena sering merasa jenuh karena keadaannya yang mulai berantakan, tetapi dirinya tidak sanggup untuk berpergian keluar rumah, apalagi jika nanti melihat sosok anak yang bermanja-manja dengan orang tua nya.
Setiap ingin berangkat ke sekolah Alena selalu melihat orang lain berpamitan dengan kedua orang tua nya. Perasaannya melihat itu seperti di tusuk berkali-kali, sesak di dada semakin tidak tertahan. Namun, Alena mencoba untuk biasa saja tanpa terpengaruh dengan apa yang sedang di lihat. Walau kenyataannya sungguh menyakitkan.
Kini Alena duduk di bangku SMA kelas 12. Sebentar lagi ia akan lulus dan mencari universitas terbaik, agar bisa membanggakan dirinya sendiri pastinya.
Sebenarnya, Alena masih memiliki orang tua. Yaitu, ayahnya. Namun, ayahnya pergi meninggalkan Alena beberapa minggu setelah kepergian ibu. Dia memilih menikah lagi dengan perempuan yang menurutnya terbaik. Sejujurnya Alena merasa berat hati ketika ayahnya memilih untuk menikah lagi. Namun, apa boleh buat Alena tidak boleh egois dan memikirkan diri sendiri, ayahnya juga butuh pendamping dan kebahagiaan.
Alena memilih hidup sendiri dan tidak mau tinggal bersama ayah. Otaknya memikirkan betapa kejam ibu tiri yang Alena baca di buku cerita, Alena tidak mau sampai hal itu terjadi dalam hidupnya. Cukup hancur setengah hidupnya atas kepergian ibu, jangan sampai hal lain menghancurkan setengah hidupnya juga.
Dengan keadaan seperti ini Alena masih bersyukur, karena hidupnya sangat berkecukupan dan ayahnya masih bertanggung jawab atas kebutuhan Alena. Jadi Alena tidak akan merasa sangat gila memikirkan hidup akan seperti apa nantinya bila ia tidak mempunyai apa-apa.
Sudah beberapa menit Alena melamun sambil melihat pemandangan sekitar, lalu dirinya beranjak dan kembali ke kamar. Udara kamar yang sangat dingin membuat tubuhnya sedikit menggigil. Alena mencari remot Ac dan mematikan Ac itu agar suhu tubuhnya menjadi normal.
Alena tinggal di sebuah perumahan, di temani oleh sepupu jauhnya yang selalu siap menemaninya sepanjang hari. pasalnya umur mereka tidak jauh beda. Jadi Alena merasa sangat dekat dengannya. Alena juga merasa kehadiran sepupunya disini menggantikan sosok seorang ibu.
Seseorang mengetuk pintu kamar, dirinya menebak pasti itu sepupunya. Alena beranjak dari kasur berjalan ke arah pintu untuk membukakan pintu.
"Kamu udah empat hari ga makan nasi, tubuh semakin kurus. Kamu pengen mati?" Ucap sepupunya itu dengan wajah frustasi.
"Aku lagi ga pengen makan nasi."
"Kamu nanti sakit Alena, jangan nyiksa diri sendiri kaya gini."
Alena membuang nafas kasar.
"Iya aku nyerah, nanti malam aku makan, kamu temenin aku pas makan." Pinta Alena.
"Ah, syukurlah." Lega Ayu, sepupu Alena yang amat sangat sabar dengan kelakuan keras kepala Alena. Lalu ia kembali ke ruangannya dan Alena berjalan menuju kasur.
"Sampai kapan lo gini terus len? Besok udah mulai masuk sekolah, jangan tampilkan wajah kacau lo di depan semua orang." Batinnya dalam hati.
Besok adalah hari pertama Alena masuk sekolah. Setelah kenaikan kelas, Alena memutuskan untuk pindah sekolah. Karena jarak rumah barunya yang sangat jauh dari sekolahan lama. Dengan terpaksa Alena harus pindah.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L E N A
Teen FictionBukan hal mudah bagi Alena Khandra, seorang anak tunggal perempuan yang harus hidup sebatang kara seorang diri. Menjalani hari hari yang penuh dengan duka dan kehampaan. Hingga suatu ketika semuanya berubah. Jiwa yang hampir mati itu seketika bangk...