Kael membuka mata dan menatap langit-langit kamarnya. Dia tersenyum dan mendudukkan dirinya. Bukan, dia bukan tersenyum tanpa alasan. Pagi ini, dia tersenyum karena sosok yang kemarin bertemu dengannya, hadir di mimpinya. Entahlah, Kael juga tak tahu alasannya.
Menyadari waktu tetap berjalan, Kael segera bangkit dan menuju ke kamar mandi untuk bersiap kuliah.
Dia meraih handuknya dengan mata setengah terpejam lalu berdiri di depan wastafel. Dia mengambil sikat gigi dan pasta gigi untuk memulai rutinitasnya.
Ketika melihat pergelangan tangannya, mata yang tadinya setengah terpejam tiba-tiba terbelalak.
Kael meletakkan sikat giginya kembali dan memandang pergelangan tangannya tak percaya. Dia mengusap-usap pergelangan tangannya. Karena tanda itu tak kunjung hilang, dia menyalakan kran air dan berusaha mencucinya, menggosok hingga tangannya memerah.
Menyadari bahwa usahanya tidak mendapatkan hasil, Kael berhenti dan menatap wajahnya di cermin. Takdir apalagi yang semesta mainkan?
Ya, yang Kael lihat di pergelangan tangannya adalah jam kehidupannya. Sebenarnya bukan masalah jika Kael bisa melihat jam kehidupan miliknya, justru dia akan senang. Masalahnya adalah jam kehidupannya menunjukkan angka "67 hari, 11 jam, 24 menit". Ya, masa hidup Kael hanya tinggal 67 hari lagi. Kael tak tahu harus bersikap bagaimana. Menangis pun tak ada gunanya.
Setelah terdiam selama beberapa menit, akhirnya Kael memutuskan untuk tersenyum dan kembali melakukan rutinitas paginya sebelum dia terlambat masuk kelas.
---
"Grace, nggak mau ah, gue makan di kantin jurusan gue aja," kata Natasha yang sedang meronta dari genggaman tangan Grace. Cengkraman lebih tepatnya.
"Diem deh lo, bacot banget. Biarin temen-temen fakultas gue cuci mata bentar lah," jawab Grace sambil tetap menarik Natasha masuk ke kantin. Natasha membelalakkan matanya tak percaya.
"Heh, lo pikir gue pajangan apa? Enak aja buat cuci mata," cecar Natasha tak terima. Grace memutar matanya malas.
"Becanda doang, Nat. Udah ah, sekarang lo duduk sini, nggak usah pake bacot. Lo mau pesen apa? Gue pesenin," kata Grace sambil menekan bahu Natasha untuk duduk di salah satu kursi kosong di kantin. Natasha masih menggerutu.
"Terserah lo, gue nggak tau di sini ada apa aja," jawab Natasha. Grace mengangguk dan meninggalkan Natasha.
"Sahabat satu aja nyusahin bener," gumam Natasha saat Grace pergi meninggalkannya. Dia menghela nafas bosan dan mengeluarkan buku coretannya.
"Biarkan semesta menyakitimu. Rasakan perihnya, resapi sakitnya, sehingga ketika besok kamu tersakiti, kamu sudah tahu seperti apa rasanya," Natasha menoleh kaget dan terdiam saat melihat wajah Kael kini hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya. Natasha segera mengalihkan wajahnya dan berdeham canggung.
"Sedih banget sih kata-katanya," kata Kael yang sudah mendudukkan diri di sebelah Natasha. Natasha mengendikkan bahunya dan menutup buku coretannya.
"Lo ngapain di sini?" tanya Natasha. Kael memandang Natasha tak percaya kemudian tertawa kecil.
"Lo yakin nggak kebalik? Harusnya gue yang tanya sama lo, lo ngapain di sini," kata Kael geli. Ya, pasalnya kini mereka sedang berada di kantin Fakultas seni yang mana merupakan tempat Kael menuntut ilmu. Natasha juga baru menyadari kalau Grace satu fakultas dengan Kael.
"Ah, gue nemuin temen gue tadi, terus ditarik ke sini sama tuh bocah," cibir Natasha. Kael tertawa.
"Temen lo yang bos lo juga itu?" tanya Kael lagi. Natasha mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
67 Days
Teen FictionKael dan Acha. Dua insan yang sama-sama mendapatkan anugerah yang lebih daripada orang lain. Entah apa alasan takdir mempertemukan mereka. Entah apa alasan takdir mempermainkan mereka, walau dalam waktu yang singkat. Sebuah kisah tentang bagaimana t...