Terdengar bunyi lonceng saat pintu kafe dibuka. Sosok yang baru saja datang segera menghampiri sosok lain yang melambaikan tangan padanya.
"Lagi ngapain?" tanya Natasha yang baru saja datang. Kael menunjuk buku paranada yang ada di depannya.
"Bikin lagu?" Natasha memastikan. Dia mengambil buku coretannya dan membuka halaman baru. Kael mengangguk menjawab pertanyaan Natasha.
"Buat apa? Kan recital lo udah selesai?" tanya Natasha lagi. Kael yang mendengar Natasha banyak bertanya justru terkekeh pelan.
"Tumben kepo banget, Cha," ungkap Kael. Natasha yang sedang mengeluarkan kotak pensilnya langsung terdiam. Lagi-lagi Kael terkekeh.
"Gue seneng lo udah mulai banyak tanya-tanya, nggak harus gue duluan yang mulai," kata Kael memperjelas. Dia mengusak kepala Natasha. Natasha balas mencibir dan melanjutkan aktivitasnya.
"Ini buat pengen-pengen aja sih. Lo mau ikutan? Bikin liriknya mungkin?" tanya Kael. Natasha terlihat berpikir sejenak.
"Hmmm, boleh. Liat dong lagunya," pinta Natasha. Kael menyerahkan bukunya untuk dibaca oleh Natasha.
Dia memperhatikan Natasha dalam diam. Rasa bersalah mulai menggelayuti dirinya.
Beberapa minggu belakangan, Kael mulai menyadari bahwa jam kehidupannya melambat ketika dia berada di sekitar Natasha. Kael juga tak mengerti apa alasannya. Secara tidak sadar, Kael jadi sering mengajak Natasha keluar, semata-mata untuk memperpanjang waktu hidupnya.
Memang tak bisa dipungkiri, Kael juga nyaman berada di dekat Natasha. Setiap bertemu, Kael selalu ingin mengenal Natasha lebih jauh. Dan hari ini Kael sadar.
Mungkin dia memang memanfaatkan Natasha untuk dirinya sendiri. Tapi, jauh di dalam hatinya, Kael tahu bahwa ada perasaan yang mulai tumbuh. Perasaan yang tak diundang.
"Mikael Putra Pandega," panggil Natasha saat Kael tak kunjung menjawab. Kael tersentak pelan dan beralih menatap Natasha.
"Kenapa, Cha? Kata Kael kepada Natasha yang sudah mengerucutkan mulutnya.
"Lo nggak denger-denger pas gue panggil," rajuk Natasha. Kael terkekeh pelan dan mencubit pipi Natasha gemas. Natasha menepis tangan Kael sambil menggerutu.
"Iya, maaf, tadi gue lagi ngelamun," aku Kael. Natasha hanya mengangguk singkat.
"Jadi gimana, udah kepikiran liriknya?" tanya Kael. Natasha mengetukkan pensil yang digenggamnya ke dagu.
"Ada sih, dikit," jawab Natasha. Dia meraih bukunya dan menulis pelan.
Hanya senyum dan tatap
Hanya diam dan rasa
Dua insan saling menyapa
Tentang aku, kamu, dan kitaNatasha menyodorkan buku coretannya. Kael menerimanya dan membaca kalimat yang ditulis Natasha beberapa saat yang lalu.
"Kenapa lo langsung memikirkan tentang pertemuan?" tanya Kael penasaran. Natasha mengendikkan bahunya.
"Kepikiran aja. Keinget pertama kita ketemu," jawab Natasha. Kael tersenyum tipis.
"Jadi lagu ini tentang kita berdua?" tanya Kael lagi. Natasha memiringkan kepalanya.
"Nggak juga. Gue kepikiran sama alasan lo memilih tema recital lo kemarin," jelas Natasha. Kael menjawab dengan diam, mempersilahkan Natasha untuk melanjutkan.
"Lo bilang kalo bagi lo, musik adalah hidup. Lo juga bilang kalo lo ingin menceritakan ke orang-orang tentang makna kehidupan berdasarkan perspektif orang banyak. Jadi, gue ingin menceritakan makna hidup berdasarkan alur yang nantinya kita alami," kata Natasha menjelaskan.
Kael masih terdiam. Seandainya Natasha tahu bahwa sisa hidupnya hanya tinggal 55 hari lagi, apakah mereka akan seperti sekarang?
"Kael? Aneh ya?" tanya Natasha ragu. Kael tersenyum dan menggeleng. Dia mengulurkan tangannya. Natasha menatapnya bingung.
"Gue suka. Mohon kerjasamanya," kata Kael sambil menggoyangkan telapak tangannya, menunggu balasan dari Natasha. Natasha terdiam sejenak sebelum akhirnya bersuara.
"Gue mau bilang sesuatu sama lo. Tapi ini aneh dan gue sangat paham kalo lo nggak percaya," kata Natasha tiba-tiba. Kael menarik tangannya dan mendengarkan.
"Gue bisa lihat masa depan orang lain kalo gue menyentuh telapak tangan mereka. Itulah kenapa gue nggak pernah mau terima uluran tangan lo, bahkan sejak pertama kita ketemu kalo lo inget," jawab Natasha sambil tertunduk. Kael termenung. Takdir apalagi ini?
Melihat Kael tak kunjung bersuara, Natasha mendongak dan menatap Kael.
"Kedengeran halu ya? Tapi-"
"Gue percaya kok," jawab Kael mantap.
"Gue percaya kalo ada orang-orang tertentu, yang entah lo anggap mereka beruntung atau sial, yang dapet anugerah khusus dari Tuhan," kata Kael. Natasha tertegun.
"Jadi, menurut gue itu bukan sesuatu yang aneh. Dan harusnya lo bilang dari awal, Cha. Biar gue nggak mikir yang nggak-nggak," kata Kael sambil terkekeh. Natasha tersenyum kecil.
"Makasih," cicit Natasha. Kael menatap Natasha bingung.
"Makasih karena udah percaya gue," kata Natasha. Bukannya menjawab, Kael justru memasukkan bukunya dan mengisyaratkan Natasha untuk melakukan hal yang sama.
Kael bangkit dan mendekati Natasha. Natasha ikut bangkit dan menggendong tasnya. Natasha tersentak kaget saat Kael tiba-tiba merangkulnya. Ia menolehkan kepalanya dan seketika menyesali keputusannya karena kini wajah mereka hanya berjarak satu jengkal tangan. Kael tersenyum manis.
"Lo nggak bisa gandengan kan? Kalo gitu, kita jalan gini aja," kata Kael gamblang. Natasha yang belum pulih sepenuhnya hanya mengangguk dan mengikuti Kael keluar kafe dengan jantung yang masih berdetak cepat.
---To be Continue---
KAMU SEDANG MEMBACA
67 Days
Teen FictionKael dan Acha. Dua insan yang sama-sama mendapatkan anugerah yang lebih daripada orang lain. Entah apa alasan takdir mempertemukan mereka. Entah apa alasan takdir mempermainkan mereka, walau dalam waktu yang singkat. Sebuah kisah tentang bagaimana t...