Perempuan itu ibarat pakaian untuk laki-laki, menghangatkan ketika hujan, menyejukkan ketika kemarau.
Syafa
Aku duduk lemas di ruang tamu, seminggu belakangan aku memang sering merasa pusing. Dan sekarang aku sudah benar-benar menjadi ibu rumah tangga yang hanya memiliki pekerjaan mengurus rumah, suami dan anak-anak.
Ya, sejak 2 minggu yang lalu suami tampanku itu sudah mengirimkan surat pengunduran diriku. Terkadang rasa bosan sering menghampiriku di kala aku hanya benar-benar sendiri di rumah besar kami, seperti sekarang ke tiga anakku malah memilih tinggal di rumah Umi, padahal aku sempat berharap masa liburan mereka akan di habiskan bersamaku.
Dan yang membuatku cemberut saat itu adalah, saat aku mengusulkan untuk ikut bersama mereka ke rumah Umi. Dan putra sulungku dengan lantangnya mengatakan.
"Bunda di rumah saja, Bunda sama Ayah kan belum sempat bulan madu. Jadi anggap saja kita bertiga memberi waktu buat Ayah dan Bunda untuk berbulan madu. Dan jangan lupa ya Bun, adik buat kita saat kita pulang nanti," Ujarnya saat itu.
Huh, tetap saja suamiku sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Inisih bukan bulan madu, tapi bulan sibuk. Apa yang bisa kulakukan dirumah sebesar ini sendirian? Membuat kue siapa yang akan memakan? Suamiku tentu saja kurang menyukai yang manis-manis. Jadilah aku hanya duduk sambil menatap televisi yang tengah menayangkan acara kuliner.
Mataku berbinar saat melihat makanan khas daerah sumatera sana. Dan tiba-tiba saja aku menginginkannya, mungkin meminta suamiku untuk membeli tidak masalah. Segera kuraih benda pipih di sampingku. Ku tekan nama di sana.
"Assalamualaikum sayang, ada apa?" Tanyanya dari sebrang telphone. Aku tersenyum.
"Waalaikumsalam mas, mas boleh minta tolong?" Tanyaku langsung.
"Memangnya istriku ingin minta tolong apa?" Tanya nya lagi.
"Tapi mas harus janji akan mendapatkannya dan mencarikannya untukku, sampai dapat." Ujarku tegas.
"Aku usahakan sayang, katakan ingin apa?" Tanyanya. Aku tersenyum, makin cinta aku sama suamiku ini.
"Mau Bika Ambon," Ujarku dengan senang.
"Yasudah nanti aku carikan. Sekarang aku ada meeting, telphonenya sudah dulu ya." Aku mengangguk, astagfirullah bagaimana bisa suamiku melihat aku hanya mengangguk.
"Assalamualaikum, love you," langsung kutekan tombol akhiri. Maaf mas aku tidak menunggu balesan salammu, karena aku bisa malu jika aku menunggu.
**
Aku menatap semua hidangan yang sudah dari tadi aku siapkan, sebentar lagi mas Hilman akan pulang dan semoga saja pesananku ada. Aku berjalan kearah ruang tamu, bersiap untuk menyambut mas Hilman. Jangan sampai dia pulang tidak ada yang menyambutnya, bisa-bisa dia akan marah seperti waktu itu. Aku bergegas menuju pintu saat aku mendengar suara mesin mobil dimatikan."Assalamualiakum," Ujarnya dari luar.
"Waalaikumsalam mas." Aku langsung meraih tas kantornya dan mengecup punggung tangannya dengan takzim.
"Mana pesananku?" Tanyaku setelah tas dan jasnya berpindah ke tanganku. Mas Hilman menatapku mengernyit.
"Suami baru pulang itu harusnya di cium sayang, bukan langsung meminta pesanan." Ujarnya.
"Mas," ujarku tidak mau kalah.
"Yasudah," Dia menyerahkan bika ambon pesananku. Tanpa melihat mas Hilman lagi, aku segera beranjak. Entah kenapa semenjak anak-anak menginap di rumah Umi, aku males berdekatan dengan mas Hilman. Aku tahu aku tidak seharusnya begitu, namun belakangan ini aku merasakan biasa saja saat melihat mas Hilman. Tetapi saat dia tidak di rumah rasanya rindu itu tidak bisa kutahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pria Terakhir
SpiritualJika dulu aku berharap memiliki suami yang bisa membimbingku dan seorang yang sendiri akan datang melamarku, maka sekarang semuanya berbeda. Seorang pria yg masih gagah di umurnya yang mungkin telah berkisar 34th datang dan memintaku menjadi istri...